9. Moonlight

641 138 66
                                    

Malam itu, untuk pertama kalinya Wafda ingin mengalirkan sebuah cerita hidup pada seseorang yang baru ia kenal. Seperti keinginan Wafda, Chairil menjaga jarak di antara mereka sejauh lima meter.

Di dalam saung, gadis itu juga sempat menawarkan batang nikotin pada Chairil. Namun, Chairil menolak dengan halus. Laki-laki itu telah lama menjauhi diri dari barang tersebut. Ia juga tidak mempermasalahkan Wafda yang mengisap dan mengembuskan asap ditengah kegiatan berceritanya.

"Lancang gak kalo saya tanya sejak kapan kamu merokok?"

Wafda mengembuskan kepulan asap dari mulutnya, tertawa sekilas lalu menggeleng, "Gak kok, tapi udah ada setahunan lebih lah kayaknya."

"Kenapa?"

Wafda mematikan puntung rokok terakhirnya, menoleh pada Chairil yang duduk agak jauh darinya.

"Butuh pelampiasan." Jawab Wafda.

Kemudian, hening menyergap lagi. Wafda sudah tidak lagi menatap Chairil. Perempuan itu menatap lurus ke depan, pada hamparan sawah yang sebentar lagi akan panen.

"Ril.." gumam Wafda tanpa menoleh.

"Menurut lo, definisi sempurna itu apa?"

Chairil meluruskan kaki jenjangnya ke depan, kedua tangannya menahan beban tubuh dari belakang. Ia ikut menatap pemandangan di hadapan mereka. Ia mengambil napas sejenak sebelum menjawab.

"Definisi sempurna menurut saya itu, fana."

"Kenapa fana?"

"Sempurna cuma milik Tuhan, dan itu mutlak."

"Tapi, manusia 'kan juga ciptaan Tuhan?"

Chairil menoleh, mendapati netra cokelat perempuan itu tengah menatapnya dengan pandangan penuh tanya.

"Kita diciptakan dengan sempurna oleh Tuhan, dan terlahir suci ke dunia melalui rahim ibu. Seiring berjalannya waktu kita pasti bakal melakukan dosa, dan hal itu yang membuat kita gak lagi sempurna dan sesuci pas masih baru dilahirkan."

"Oke, gue paham maksud lo. Tapi gimana dengan makhluk bumi lainnya? Apa masih bisa sempurna selamanya? Sedangkan lo tau sendiri, mereka gak bisa berbuat dosa dan gak punya akal kayak manusia."

"Semua makhluk hidup bisa berbuat dosa, Waf. Tapi, memang cuma manusia yang diberi akal. Makanya, Tuhan menitipkan kita di bumi supaya kelak bisa merawat dan melestarikan makhluk bumi lain yang gak memiliki akal."

"Gue masih gak ngerti.." cicit perempuan itu.

"Begini, saya dan kamu diciptakan oleh Tuhan, benar?"

"Iya, bener."

"Tuhan itu menitipkan akal pada kita itu dengan tujuan agar kita bisa menggunakannya dengan baik. Contoh kecil, kalo kamu ngeliat batu yang menghalangi jalan orang kira-kira bakal disingkirin gak?"

"Ya disingkirin lah, kalo gak gitu orang lain bisa kesandung." Dengus Wafda.

"Batu 'kan juga makhluk bumi, dia punya akal gak?" Wafda menggeleng. "Bisa kamu simpulin sendiri?" Lanjut Chairil.

"Tuhan menitipkan akal pada kita, supaya kita bisa menggunakannya untuk hal-hal yang baik bagi kehidupan makhluk lain, begitu?"

"Nah, akhirnya kamu bisa nangkep maksud saya."

Wafda kembali mendengus, "Lo-nya aja yang terlalu berbelit."

"Saya 'kan cuma ngasih umpama, tapi yang versi ribet." Ujar Chairil setengah tertawa.

Wafda terdiam, tidak menanggapi tawa berat Chairil. Ia menatap lurus ke depan dengan hening, hanya ada suara jangkrik serta penghuni sawah lainnya yang menemani mereka berdua.

AbditoryWhere stories live. Discover now