3. Silent Heaven

807 152 44
                                    

Wafda tidak bisa tidur.

Malam kedua di sini tanpa kehadiran orang tuanya serasa lebih mencekam. Telinganya terus menangkap suara-suara dari binatang hutan yang berkeliaran di malam hari. Ketenangannya juga tidak kunjung hadir karena kehadiran nyamuk yang kerap menganggu.

Wafda berdecak kesal. Ia bangkit. Mengambil barang dari tas yang seharian kemarin sama sekali tidak tersentuh olehnya.

Gadis itu membuka pintu, dengan pandangan menelisik sekitar. Sepertinya Abi dan Umi sudah tidur. Sedangkan Ben, sepupunya itu bilang ia ada rapat direksi bersama teman-temannya.

Bicaranya sih rapat direksi, tapi begitu keluar rumah ia hanya mengenakan sarung dengan tangan yang membawa senter dan juga alat penjaganya, bedog. Ben juga bilang kalau ia tidak akan pulang malam ini, jadi Wafda rasa ia akan aman.

Dengan langkah kaki kecil, ia berjalan perlahan menuju halaman belakang rumah. Penerangan di halaman belakang rumah Ben hanya ada lampu kuning yang bersinar redup. Tapi hal itu tidak membuat Wafda takut.

Wafda tidak takut dengan hantu, tapi ia percaya bahwa keberadaan makhluk ghaib itu ada. Tapi toh, ia tidak akan berbuat macam-macam, hanya ingin mengobati hasrat asam di mulutnya saja.

Di dekat empang lele milik Abi, terdapat sebuah saung kecil di sampingnya. Di sanalah Wafda terduduk seorang diri. Termenung sembari memandangi hamparan sawah.

Em, jadi bayangan denah sekitar rumah Ben itu seperti ini: di depan rumahnya ada hutan pohon jati-yang sebelumnya Wafda kira adalah hutan belantara, dan ada jalan berbatu yang hanya dapat dilewati oleh satu mobil saja.

Lalu, di belakang rumah Ben terdapat kebun, dan sungai kecil sebagai pembatas antara empang dan juga sawah yang membentang luas setelahnya.

Jika kalian tidak terbayang bagaimana situasi dan kondisinya, kalian bisa langsung datang ke Kp. Cirumbay No.06 RT008/ RW004 Ds. Sukaikhlas Kec. Canjodoh Kab. Bogor Jawa Barat.

Kalau sudah sampai, kalian bisa bertanya ke penduduk sekitar tentang titik letak rumah Ben. Tenang, kalian tidak akan tersasar karena hampir semua orang di sana mengenal Ben, putra tunggal H. Hendri Tjoel Arthur.

Di sebelah kanan rumah Ben, terdapat rumah yang berjarak agak jauh. Tidak jauh dari rumah Ben juga terdapat warung serta masjid yang selalu ramai oleh pemuda.

Awalnya, Wafda sempat heran kenapa setiap rumah memberi jarak yang besar terhadap tetangganya. Tapi, sepertinya penduduk di kampung memang tidak terlalu menyukai kepadatan.

Berbeda dengan rumah Wafda di Jakarta. Meski berada pinggir Ibukota, tapi kepadatan rumah di daerahnya hampir setara dengan kepadatan di pusat. Kepadatan itu mengganggu, apalagi di daerahnya banyak sekali kehadiran para bigos (re: biang gosip) yang hobi sekali bergibah ria.

Apapun yang bisa mereka bicarakan, pasti akan terus dibahas seolah mereka adalah manusia paling suci di dunia ini. Kalau kata Jae, manusia yang seperti itu otaknya sudah dijual karena sudah tidak terpakai.

Wafda adalah salah satu dari sekian banyak subjek yang dibicarakan di pemukimannya. Alasannya, karena Wafda sering pulang pagi, terkadang juga membawa Jae ke rumah walau sebenarnya ia dan Jae tidak berbuat macam-macam, dan yang paling mengganggu, kata mereka Wafda adalah gadis pembawa pengaruh buruk karena pergaulannya yang terlalu bebas.

Saat Wafda bercerita tentang hal seperti itu pada Jae, laki-laki itu pasti akan selalu menenangkannya. Lalu berucap kata andalannya dengan suara cepat,

"Kan gue bilang orang yang begitu otaknya udah diloakin. Mereka iri karena ga bisa kayak lu, diemin aja."

Lalu Jae akan memasangkan dua airpodsnya di telinga Wafda, memutar lagu yang menggambarkan para bigos itu.

AbditoryWo Geschichten leben. Entdecke jetzt