4. You Better Know

654 137 62
                                    

"Waf, bangun.."

Suara lembut perempuan itu kembali terdengar sangat pelan memanggilnya. Wafda juga dapat merasakan usapan lembut yang bergerak teratur di kepalanya.

Begitu menenangkan. Rasanya sudah lama sekali ia tidak dibangunkan dengan lembut seperti sekarang ini.

Bulu mata lentik gadis bergerak perlahan seiring dengan bias cahaya lampu yang menyambut. Wafda memicingkan mata, melihat ke arah jam dinding yang berdiri tegak di sana. Lalu beralih menatap perempuan paruh baya yang membangukannya di pagi buta ini, Umi.

"Ada apa, Mi?"

"Shalat subuh dulu, yuk? Kemarin haid kamu udah selesai 'kan?"

Wafda mengangguk, kembali menyandarkan kepalanya pada bantal. Memeluk erat pinggang Umi yang masih mengenakan mukenah berwarna putih.

"Kenapa?" Tanya Umi, terheran.

"Lima menit ya Mi, aku ngumpulin nyawa dulu."

Umi terkekeh mendengar penuturan polos Wafda. Gadis itu selalu saja memiliki jawaban dengan kata-kata ajaibnya.

Lima menit berlalu, dan Wafda menepati janjinya. Ia beranjak dengan pandangan mata yang lebih segar menatap sekitar. Lalu berhenti pada Umi, kembali memeluk Ibu kandung Ben itu dengam senyum sendu.

"Ibuku ga pernah bangunin aku buat subuhan kayak gini." Keluh Wafda.

Umi yang mendengar hal itu tersenyum masam. Yang ia bisa lakukan hanya mengusap surai panjang keponakannya itu dengan penuh sayang.

"Kan di sini ada Umi yang bisa bangunin kamu."

Wafda mengulurkan jarak, kembali mengeluh dengan bibir yang mencuat maju. "Iya, tapi aku 'kan butuh seseorang yang bisa bangunin aku juga kalo di Jakarta."

Melihat hal itu, Umi tertawa sekilas. Menjawil hidung mancung Wafda yang tengah menunjukkan wajah lucunya. "Di ponselmu 'kan ada fitur alarmnya, Sayang."

"Umi tinggal di Jakarta aja yuk? Sama aku."

"Kaga ada! Kaga ada!" Potong sebias suara laki-laki yang kini sedang berdiri di daun pintu, Ben. Ia sudah mengenakan pakaian shalat yang serba rapi.

Wafda mendengus, "Umi, apa ga capek punya anak kayak Ben?"

"Apa-apaan lu?!"

"Stop! Wafda, kamu sekarang ambil wudhu. Ben, kamu sama Abi tunggu di teras, nanti kita berangkat sama-sama." Sahut Umi, menyudahi perdebatan antara Ben dan Wafda.

Wafda menjulurkan lidahnya pada Ben dengan acuh, lalu segera beranjak dari kasur menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu.

Beberapa menit kemudian, mereka berempat berjalan menuju Surau yang tak jauh dari sana. Wafda dan Ben akhirnya bisa terdiam karena tadi Abi menceramahi mereka berdua.

"Kalian tuh udah gede loh nak. Yang satu tinggal ngelola warisan terus bikin cucu, yang satunya lagi tinggal nyelesain kuliah terus kerja."

"Ih, si Abi. Aa 'kan udah bilang kalo Aa pengin jadi insekyur aja biar bisa bikin emoll di tengah sawah, pokoknya Aa teh ga mau ngelola warisan." Sahut Ben, menepuk lengan Abi dengan cengiran kudanya.

"Insekyur ngapa anjir muka lu udah mulus begitu, insinyur kaliiii." Celetuk Wafda, antara heran dan juga rasanya ingin tertawa sampai terjungkal.

Ben bertepuk tangan dengan heboh, menunjuk tepat di wajah Wafda. "Tah! Eta maksudna!"
(Nah! Itu maksudnya!)

"Lah, emangnya bisa? Kamu 'kan kemarin kuliah ngambilnya jurusan manajemen, bukan arsitektur."

"Nya kuliah deui ge hajeun atuh."
(Ya kuliah lagi juga gapapa.)

AbditoryDonde viven las historias. Descúbrelo ahora