Spesial Chapter : Candy

877 134 57
                                    

"Kemarin sekilo masih 140, sekarang mah udah 150, Neng."

Jiwa keibuan Wafda kembali muncul saat penjualnya menyebutkan nominal harga daging perkilo yang sudah melonjak naik sehari menjelang lebaran. Perempuan itu memutuskan untuk ikut serta turun ke lapangan karena takut Chairil tidak bisa menawar.

"Saya beli dua kilo 250, ya?" Tawar Wafda.

"Waduh! Belum dapet segitu mah neng, 295 saya kasih deh."

Wafda mencebikkan bibirnya kesal, "Masa dituruninnya cuma goceng?!" Protes Wafda sebal, "255, ya?"

Penjual tersebut menghela napas panjang, kesabarannya saat berpuasa kini sedang diuji oleh wanita muda yang menawar harga dengan potongan yang tak kira-kira.

"Sayanya rugi neng, udah motong sapinya teh susah, baju lebaran anak belum juga kebeli. Kalo gini caranya mah, keluarga saya gak bisa ikut lebaran atuh." Curhat penjual tersebut dengan wajah memelas.

"Lah kok jadi curhat ke saya?!"

"Hadeuh, meni ku hese ngajelaskeun nanaon ka awewe teh." (Susah banget ngejelasin apa-apa ke perempuan.)

Penjual tadi melirik ke arah Chairil di belakang Wafda, laki-laki itu mengangguk seolah memberi kode agar memberi harga segitu.

"Bere wae geus sakitu, mang. Engke ku urang ditambihkeun sesana." (Kasih aja udah segitu, bang. Entar sisanya ditambahin sama saya) Ujar Chairil membuat Wafda langsung menoleh padanya.

"Kamu ngomong apa ke penjualnya?" Tanya Wafda penuh selidik. Pasalnya ia sama sekali tidak mengerti apa yang Chairil ucapkan. Walau ia sudah lama tinggal di sini, nyatanya Wafda belum juga lancar berbahasa sunda. Sepertinya ia harus meminta bantuan pada Ben agar mengajarkannya nanti.

"Aku bilang kasih aja segitu, kasih diskon buat bumil kayak kamu." Ujar Chairil sembari mengusap kepala Wafda pelan. Wafda tersenyum lebar, ia benar-benar malu jika Chairil sudah menyebutnya dengan sebutan bumil.

Wafda melirik lagi penjual tadi, "255 ya, bang?"

Penjual tadi mengangguk tanpa ragu. "Yaudah saya kasih deh, semoga berkah selalu menghampiri kalian dan calon anaknya, ya."

Penjual itu kemudian memotong daging yang menggantung, kemudian menimbangnya. Tak berhenti di sana, Wafda masih mengoceh perihal daging yang dipilihkan oleh si penjual.

"Jangan banyakin lemaknya, ya? Soalnya lemak kita berdua juga udah tebel!" Peringat Wafda sembari memperhatikan gerak-gerik si penjual.

Chairil dan penjual itu lantas tertawa dengan penuturan Wafda. Tak lama kemudian sekantong plastik daging segar yang ia tawar mati-matian itu berhasil Wafda genggam dengan selamat.

Senyuman Wafda tak kunjung meluntur, membuat Chairil yang melirik dari samping itu lantas mengusap kepala Wafda yang terbalut oleh khimar krem. Wafda menoleh.

"Mau beli apa lagi?" Tanya Chairil.

"Masih banyak yang harus dibeli sih, kamu sanggup gak nemenin akunya?"

Chairil tertawa, lalu mengangguk. "Sanggup kok sanggup, yaudah yuk?"

-

Pukul empat sore.

Kediaman Wafda dan Chairil sudah wangi oleh berbagai hidangan khas lebaran yang sudah tersaji. Semua menu dan kue-kue yang tersedia di sana murni dibuat oleh tangan kecil Wafda, dan juga dengan bantuan Chairil tentunya.

Saat pasangan itu masih sibuk berkutat di dapur, mereka tak menyadari kalau ada yang mengetuk pintu di depan sana. Sedangkan orang yang mengetuk pintunya mulai jengah karena tak kunjung dibuka.

AbditoryWhere stories live. Discover now