12. Like a Flowing Wind

623 132 39
                                    

Jakarta dan kemacetan adalah dua kata yang selalu berdampingan satu sama lain. Tidak heran jika malam itu mobil sedan hitam yang dikendarai oleh Ayah Wafda ikut terjebak di Cibubur bersama para pengendara lain.

Wafda tidak pernah mempermasalahan perihal menghabiskan waktu di tengah kemacetan. Baginya, itu jeda sesaat agar para pengemudi bisa istirahat sejenak.

Pikiran perempuan itu sedang tidak karuan. Ragu, antara ingin menyalakan ponselnya atau tidak usah.

Jika ia menyalakannya, pasti akan ada banyak pesan yang masuk. Dan itu menganggu. Tapi jika tidak dinyalakan, ia rasa hal itu bukan tindakan yang salah mengingat dalam waktu dekat juga ia akan bertemu dengan para pengirim pesan.

Wafda memilih untuk tidak menyalakan ponselnya.

"Yah, Bu, makan malemnya di luar aja ya?"

Ayah melirik Wafda melalui kaca di dekatnya, "Kamu mau makan apa?"

"Apa aja, aku ikut kalian."

Wafda kembali memandangi kemacetan di sampingnya. Menarik dan mengembuskan napasnya yang kian terasa sesak. Wafda bahkan heran, kenapa ia malah tidak excited untuk kembali ke Jakarta saat ini.

Padahal, seharusnya Wafda bahagia.

Padahal, seharusnya Wafda antusias karena bisa kembali pulang ke Jakarta. Tapi, kenapa yang ia rasakan kini justru bertolak belakang?!

Malam menjelang tidurnya, Wafda dibuat gelisah hebat. Hal yang ia pernah rasakan seperti malam kedua di rumah Ben saat itu.

Jika dulu Wafda menanganinya dengan membakar paru-paru, kali ini Wafda tidak akan melakukan hal serupa lagi. Ia telah berjanji pada dirinya sendiri untuk berhenti menjadi penghisap nikotin.

Perempuan itu berguling, menutup seluruh tubuhnya dengan selimut, kemudian bangkit duduk lagi.

Wafda menghela napas jengah. Ia kemudian beranjak menuju meja belajarnya, mengambil salah satu buku yang ia bawa dari rumah Umi untuk ia baca. Sembari membaca, Wafda menyempatkan diri untuk membuat susu coklat hangat. Berharap dengan melakukan hal tersebut ia bisa menjemput kantuk.

Dan berharap, esok hari yang akan tiba bisa ia tangani.

-

"LAH WAFDA?!"

Laki-laki perawakan jangkung itu dengan cepat menghampiri Wafda di koridor yang ramai. Wafda bisa merasakan beberapa tatapan mata melihatnya karena teriakan laki-laki tadi begitu menggema.

Dan saat lelaki itu sudah ada di sampingnya, Wafda segera memberikan hadiah berupa jitakan telak.

"Berisik banget congor lo, Wir." Dengus Wafda sebal.

Dia Wira, rekan satu jurusannya dan juga merupakan keyboardist band-nya Jae.

Wira masih menatap tidak bahwa gadis di hadapannya ini benar-benar Wafda. Beberapa kali, Wira mengucek matanya untuk kembali meyakinkan bahwa itu benar Wafda.

Dan setelah menurutnya wujud itu benar, ia segera memeluk Wafda erat, di tengah koridor yang ramai oleh para mahasiswa. Wafda yang mendapat perlakuan seperti itu tentunya terkejut bukan main. Mata wanita itu membulat sempurna.

"Lo kemana aja, anjeng!" Ujar Wira setelah melepas pelukan singkatnya, ikut memberikan jitakan pelan di kepala Wafda.

Bibir Wafda mengerucut sembari mengusap kepalanya, "Ih sakit tau!"

"Gue ada kok." Lanjut Wafda berupa gumaman.

Wafda baru saja menyelesaikan konsultasinya dengan dosen pembimbing. Ia telah mengajukan beberapa contoh judul skripsi yang akan segera ia garap setelah ini. Wafda hanya ingin segera menyelesaikan kuliahnya. Kemudian pergi jauh tanpa tujuan.

AbditoryWhere stories live. Discover now