Epilog : Happily Ever After

953 135 78
                                    

"Nanti jangan gugup!"

"Jangan tremor!"

"Jangan malu-maluin besan Cirumbay siah!"

"IYA! BACOT BANGET SI BABI HUTAN INI!"

"HEH, JANGAN SONGONG! GUE CALON ABANG IPAR LO!"

Perdebatan sengit dua manusia itu harus terhenti saat dua manusia masuk ke ruangan tersebut. Ada Juna atau yang akrab disapa Juned. Ia baru saja datang bersama bang Umin untuk ikut serta menghadiri acara akad nikah sahabat karib mereka, Chairil.

"Congor lo berdua kedengeran sampe luar, malu-maluin aja." Ujar Juna agak nyelekit.

Ben dan Chairil langsung terdiam. Mereka semakin menyepikan diri lantaran yang duduk di belakang mereka adalah Juna dan juga bang Umin. Dua orang yang paling mereka segani. Padahal, sejak tadi mereka beradu umpatan ada Abah, tapi mereka sama sekali tidak ada takut-takutnya.

"Apalin tuh ijab yang bener." Ujar bang Umin yang langsung diangguki oleh Chairil.

"Saya terima--"

"Qabiltu akang Chairil, Qabiltu!"

Chairil memejamkan matanya sesaat. Kemudian mencoba mengingat dengan baik kalimat ijab qabul dalam bahasa arab tersebut.

"Qabiltu nikahaha wa tazwijaha linafsi bi mahril madzkur haalan, ala manhaji kitabillah wa sunnati Rasulillah!" (Saya terima nikah dan kawin dia (Wafda Aruni Sonaya binti Sony Al-Fulan) untuk diriku dengan mahar yang telah disebut tadi kontan, di atas manhaj kitab Allah dan sunnah Rasulullah!)

Ben berdecak kagum dengan iringan tepuk tangan yang heboh. Kepalanya terus bergeleng, tanda bahwa ia sangat kagum dengan pelafalan Chairil yang begitu tegas saat mengumandangkan janji suci di hadapan Tuhan dan orang lain.

"Sekarang sih lancar, gak tau kalo nanti." Cibir Abah yang sejak tadi ada di dalam ruangan yang sama, menemani putra bungsunya.

"Ya, di doain biar lancar makanya. Aamiin!"

Semua yang ada di ruangan tersebut terbahak. Mata mereka dapat melihat jelas bagaimana wujud tinggi besar Chairil yang terlihat menyeramkan itu, sedang gemetaran karena gugup menunggu waktu akad nikah tiba.

Jika ia sampai gagal 3 kali ucap, maka penundaan adalah jalan terakhirnya. Tapi, Chairil memastikan bahwa ia akan mengucap janji seumur hidupnya itu dalam sekali ucapan tegas. Karena, jika harus menunda lagi maka perjuangan mereka selama ini akan sia-sia.

Tidak mudah untuk mencapai berada di titik ini. Banyak waktu yang mereka korbankan--terutama dari pihak Chairil yang harus bersabar menunggu kepastian dari Wafda saat itu. Chairil dan Wafda tentunya tidak ingin usaha mereka gagal di tengah jalan.

Jadi, setelah mendengar kalimat ijab qabul itu terucap dengan suara tegas di luar sana. Lantunan tahmid dan takbir dari ruang tunggu tempat Wafda berada itu menggema. Membuat siapa saja yang mendengarnya, akan merasa bersyukur dan terharu.

Chairil benar-benar menepatinya, ia berhasil mengucapkan ijab qabil dalam satu kali tarikan napas dengan suara yang tegas.

"Neng, sekarang udah boleh keluar. Yuk?" Itu suara Umi, sosok ibu dari sepupunya yang paling banyak memberi dukungan disaat Wafda dilanda badai keraguan.

Wafda tersenyum, lalu mengangguk. "Iya, Mi."

Dengan kedua tangan yang diapit oleh Ambu--Ibu Chairil, dan juga Ibu kandung Wafda. Mereka berjalan ke lantai bawah, tempat di mana akad nikah tersebut sudah berlangsung dengan lancar.

Saat dirinya sudah menuruni tangga, Wafda bisa merasakan banyak pasang mata yang memandanginya tanpa malu. Menatapnya terang-terangan dengan pandangan telanjang.

AbditoryWhere stories live. Discover now