2. Peek-A-BooM

963 173 43
                                    

"Lu siapa?! Ayah sama ibu gue mana?!"

Wafda masih enggan keluar dari mobil, ia tidak mengenali siapa laki-laki yang mengajaknya keluar ini.

Pikirannya bercabang. Ke mana ayah dan juga ibunya? Dan siapa laki-laki ini? Kenapa ia memaksa Wafda untuk keluar dari mobil?

"Gandeng sungut sia teh gandeng!"
(Berisik, mulut lu itu berisik

Wafda terdiam. Tidak mengerti dan ada rasa ingin tertawa karena wajah laki-laki itu terlihat frustasi saat mengucapkan kata-kata yang ia lontarkan.

Dia ngomong apaan sih?

"Sia bener teu wawuh aing saha?"
(Lu bener kaga tau siapa gue?)

Laki-laki berwajah mulus tanpa jerawat itu kembali bertanya pada Wafda, dan dijawab dengan jawaban yang sama pula seperti tadi, gelengan.

"Jahat, masa gue dilupain." Desisnya.

"Lu siapa si anjir? Bonyok gue di mana?!" Tanya Wafda mulai kesal karena pembicaraan mereka tidak kunjung menemukan titik kebermanfaatannya.

"Makanya keluar dulu!"

Wafda akhirnya mengalah. Daripada tensi darahnya naik karena perdebatan tadi, ia memilih keluar dari mobil. Semilir angin dan gemerisik suara daun yang saling bertubrukan itu terdengar. Membuat bulu kuduk Wafda meremang seketika.

Saat kakinya sudah berdiri di belakang mobil, mendadak pancaran sinar dari lampu-lampu rumah sekitar menyala terang. Wafda dapat melihat ternyata ada banyak rumah penduduk walau jaraknya tidak sedekat di Jakarta.

"Ari sia teh edan make baju kos kitu?!"
(Lu gila make baju kaya gitu?!)

Lelaki itu mendecak heran setelah melihat penampilan Wafda. Celana jins pendek, tanktop hitam, dan kardigan berwarna krem itu nampak menampilkan setiap lekuk tubuh Wafda yang mulus. Penampilan perempuan yang tak pernah ia lihat selama ia tinggal di sini.

Wafda yang sedang memeluk dirinya sendiri sembari mengusap tangan itu berdecak sebal, "Ngomong apaan si lu."

"Eh, Ben? Senah rieun tadi teu milu ngaos di Masigit?"
(Eh, Ben? Tumben tadi ga ikut ngaji di Masjid?)

Laki-laki yang disebut dengan nama Ben itu menoleh ke belakang tubuh Wafda. Wafda lantas beringsut, menjajarkan dirinya dengan Ben. Setelah melihat siapa yang datang, mata Ben lantas membelalak lebar.

Ke delapan rekannya baru saja pulang dari masjid, mereka masih mengenakan koko, sarung, dan peci.

Menyadari hal tersebut, dengan gerakan cepat Ben menutupi siluet Wafda dengan tubuhnya yang agak lebih tinggi agar aurat Wafda tidak terlalu terpampang.

"E-eh, aing tadi tos ngabantuan umi nyieun cimplung."
(E-eh, gue tadi abis ngebantuin umi bikin cimplung.)

Ben berdalih sembari mencuri pandang ke arah Wafda, sambil menggerak-gerakan tangannya bermaksud menyuruh Wafda pergi lebih dulu.

Ben menatap Wafda dengan pandangan putus asa, bibir itu bergumam,

"Mangkat tiheula nam."
(Pergi duluan gih.)

Wafda berdecak kesal kemudian berdesis dengan suara yang keras, "Ngomong apaan si anjir!"

"Pergi!"

Wafda dengan cepat menggeleng, "Ih, gak mau, entar kalo gue diculik gimana?"

Ben menghela napas jengah.

"Saha maneh eta, Ben? Ning geulis."
(Itu siapa lu, Ben? Kok cantik.)

AbditoryWhere stories live. Discover now