"WOY, BANGUN NGGAK LO! Udah jam enem, lu nggak sekolah?"

"Wey sante bang! Kan masih jam enem!"

"LO NGGAK MAU IKUT UJIAN? HA?" Vira mengerjapkan matanya pelan. Dia menatap bingung Bryan di depannya.

"Emang sekarang tanggal berapa?"

"Tiga puluh!" Vira membulatkan matanya. Ia lupa hari ini ada ulangan. Bahkan dia belum belajar dari semalam.

"Bangsat! Gua belum mandi!" Vira melempar ponsel Bryan sembarangan hingga jatuh ke lantai. Bryan menatap nanar benda pipih kepunyaannya yang sudah terbelah menjadi dua.

"HANDPHONE GUE ...."

***

Vira cemberut. Hari pertama ujiannya tidak berjalan lancar. Ia keluar dari ruang ujiannya dengan menundukkan wajah. Bibirnya melengkung ke bawah. Ia menghentakan kakinya beberapa kali ke lantai.

"Makanya ... belajar!"

"Gua lupa Anjing! Lu juga kagak bilang sama gua!"

"Udah! Udah, lagian papa sama mama nggak bakal marah ini!"

"Ya, tapi kan ...." Vira menghentakan kakinya lagi. Ia menjambak rambutnya sendiri, hingga kusut. "Kasian mana masih muda!"

Vira menjambak rambut Bryan sangat keras hingga beberapa helai rambut Bryan rontok di tangan Vira. "Awas, nanti jatuh cinta ...."

Mereka berdua kompak menatap tajam Vero. Vero terkekeh. Mereka berdua persis seperti dirinya dan Deana, yang berakhir menjadi sepasang kekasih.

"Ver!" Vero menolehkan kepalanya ke arah orang yang memanggilnya. Ia tersenyum manis melihat tambatan hatinya. Ia merangkul pinggang ramping Deana.

"De, gua nggak nyangka lu mau sama abang gue. Dia, kan ..." Vira mengamati Vero dari atas hingga bawah. Vira menggeleng pelan.

"Ganteng, kan?"

"Kek tapir!" Vero menampar pelan mulut Vira. Enak saja ganteng begini disamakan dengan tapir.

"Ver!"

"Hmm?"

"Gantiin handphone gua!"

"Lah emang handphone lu kenapa?"

"Dibanting nenek lampir ampe belah dua." Vira menatap tajam Bryan dengan wajahnya yang sedikit mengangkat karena Bryan yang lebih tinggi darinya. Vira berkacak pinggang di hadapan Bryan.

"Aku yakin nanti pasti sama kayak kita." Deana membisiki Vero. Vero tersenyum dan mengangguk, membenarkan ucapan Deana barusan.

***

"Mama! Papa! Vero pulang bawa mantu ...." Deana mencubit keras perut Vero. Mereka berdua sepakat main ke rumah orang tua Vero setelah selesai ujian.

"Vero, kalo masuk rumah salam dulu! Nggak usah teriak-teriak!"

"Hehe ... ya udah. Assalamualaikum!"

"Waalaikumsalam!" jawab serentak kedua orang tua Vero. Vero mengedarkan pandangannya. Ia tak dapat menemukan Vira dan Bryan.

"Vira sama Bryan kemana Mah?"

"Kayaknya di kamar."

"Sayang kamu di sini temenin Mama sama Papa aku ya, aku mo liat tu orang dua di mana." Deana mengangguk. Vero meninggalkan ruang tamu dan berjalan ke atas menuju kamar Vira dan Bryan.

Vero membuka pintu kamar Vira. Aneh, tak biasanya kamarnya gelap. Dia tahu sekali Vira tidak suka kegelapan. Vero menekan saklar kamar Vira. Nihil. Tidak ada Vira di dalam kamarnya.

Dia berjalan menuju kamarnya. Ah, ternyata dia rindu kamar lamanya. Tapi niatnya ia urungkan saat mendengar suara keras orang berteriak.

Vero berjalan dengan perlahan agar tidak menimbulkan suara. Ia yakin, suara teriakan barusan itu milik adiknya. Saat berada di depan kamar Bryan yang pintunya sedikit terbuka, Vero melihat adegan yang sangat tak biasa.

Bryan dan Vira sedang asik menonton film horor. Vira ketakutan dan posisinya dipeluk oleh Bryan. Mereka sampai tak menyadari kedatangan Vero di depan kamar mereka. Vero mendapatkan ide untuk menjahili Vira.

Vero berjalan masuk ke kamar Bryan, mendekati saklar lampu yang tak jauh dari pintu. Vero tak habis pikir, padahal dirinya sudah sepenuhnya terlihat, tapi mereka berdua masih asik menonton film horor itu.

Vero mengatur nafasnya agar tak tertawa. Setelah tenang, ia segera mematikan lampu kamar Bryan dan menyoroti mukanya dengan senter ponselnya dari bawah. Mukanya ia buat sedatar mungkin.

"Wa! Lampunya kok mati?" teriak Vira. Karena kaget, Vira refleks memeluk erat tubuh Bryan. Vira dan Bryan mengedarkan pandangannya ke arah saklar lampu. "Wa! Setan! Bryan, Bryan, SETAN!"

Vira terus mendesak kepalanya di dada bidang Bryan. Ia ketakutan melihat wajah Vero yang disoroti senter. Vero sudah tak kuat. Ia menyalakan lampunya dan tertawa terpingkal-pingkal.

"Bhahahaha! Bah, HAHAHAHAHA!" Vero tertawa sambil memegangi perutnya. Vira cemberut menatap Vero yang berhasil menjahilinya. Vero masih tertawa pelan sambil menghapus air mata di sudut kedua matanya.

"Abang! Jahat!" Vero tertawa kecil. Sudah cukup dirinya tertawa hari ini.

"Ya lagian lu berdua gua masuk pada ngga ngeh. Ya jadinya ide-ide cemerlang dari otak gua ngalir sempurna. Mana posisinya ekhem ekhem lagi."

Vira gelagapan lalu menjauhkan diri dari Bryan. Vero menatap aneh Vira. Bibirnya mengukir senyum penuh arti. Kedua alisnya terlihat naik turun menggoda kedua insan itu.

"Ya, kan, gua takut makanya refleks aja gitu ...."

"Halah!" Vero menatap lama Vira. Vira tau isi otak saudaranya itu. Vero berlari cepat meninggalkan kamar Bryan. "MAMA ... PAPA ... anak cewek kalian udah gede!"

Vira mengejar Vero di belakang. "Mah, Mah! Liat ini!" Vero memperlihatkan foto Bryan dan Vira yang sedang pelukan ke mamanya. Rupanya sebelum masuk tadi, Vero memfoto mereka berdua.

"Apa ini Vira?" tanya Iva. Lidah Vira kelu. Ia takut mamanya marah melihat foto itu. "Kamu suka sama Bryan?"

"Nggak, Mah!"

"Tapi ini?" Iva menunjukkan foto itu ke hadapan Vira. Keringat dingin mengucur deras di dahinya. "T-tapi ... itu, tadi kita cuma nonton film horor kok!"

"Kalo suka beneran nggak papa kok. Papa dukung!"

"Pah ...."

"Cie ... anak mama udah gede!"

"Apaan sih, Mah?"

"Udah, ngaku aja nggak papa kok, Vir! Kalo sama Bryan mama setuju!" Iva tersenyum menggoda Vira. Vira semakin kesal. Ia kira orang tuanya bakal marah tau dia berduaan dengan Bryan di kamar, eh, ujung-ujungnya sama saja seperti kembarannya.

Vira berbalik, berjalan menuju kemarnya. Ia menghentakan kakinya hingga tubuhnya tak terlihat lagi. "Ver, Deana suaranya bagus lho! Tadi mama dengerin dia nyanyi."

"Bener?" Deana mengangguk menjawab pertanyaan Vero. Vero tersenyum dan mengelus sayang kepala Deana.

"Deana, Vero nggak nakal, kan sama kamu? Kalo nakal putusin, sama om aja!" Iva mencubit keras pinggang Deon. Suaminya ini tidak ingat umur.

"Inget umur, Pah! Udah tua!"

"Gini gini, Mama juga masih cinta, kan sama papa?"

"Hih!" Iva berjengit kaget. Suaminya ini tingkat percaya dirinya sudah di atas rata-rata. "Vero sama Deana tidur sini aja ya. Udah lama rumah nggak ada kamu, Ver!"

"Iya, Mah!"

"Mama ke kamar duluan ya! Papa nggak usah ke kamar, tidur di ruang tamu aja!"

"Ih! Mama!" Deon merengek sambil kakinya melangkah mengikuti langkah kecil milik istrinya. Vero terkekeh. Ternyata sifat Vero yang sekarang itu bawaan tubuh barunya. Padahal dirinya dulu anti sekali dengan yang namanya manja dengan perempuan.

***

Transmigration of Bad BoyWhere stories live. Discover now