Dua Puluh Satu : Alvas

9.3K 1.5K 75
                                    

"Saya juga nggak terlalu akur sama kakak tiri saya, Kila."

Suara Loka memecah keheningan yang tercipta semenjak Kila berkisah tentang hubungannya dengan Mila.

Langit malam yang terlihat terang dengan lampu perkotaan di bawah mereka menjadi pusat fokus mereka berdua, sembari bertukar cerita satu sama lain. Entah darimana Loka menemukan tempat yang mereka duduki sekarang, tapi Kila merasa sesak di dadanya sedikit berkurang. Kafe dengan konsep rooftop outdoor ini terasa sepi dan tenang, dengan pengunjung yang hanya bisa dihitung dengan jari.

Kila duduk bersisian dengan Loka di atas bangku panjang dan meja kecil di depan mereka, menghadap pemandangan kota Jakarta yang tetap terang meskipun malam.

"Mungkin kalau kamu bertemu mereka nanti, jangan bayangkan mereka akan sebaik saya."

Kali ini Kila tersenyum kecil mendengar kelakar Loka, jelas laki-laki itu berusaha mengubah mood yang tadi terasa sendu saat dia bercerita soal Mila.

"Serius, Kil. Mereka itu lebih jahat daripada kakak tirinya Cinderella," Loka masih meneruskan candaannya, dengan nada yang dibuat-buat.

"Bapak nggak pantes jadi Cinderella-nya," sindir Kila jujur.

Loka tertawa renyah. Matanya menengadah menatap langit yang lebih suram daripada pemandangan lampu-lampu kota. Karena tak ada satupun bintang di sana.

Dia menurunkan kepalanya lalu menoleh ke samping, menemukan wajah polos Kila yang menerawang ke depan.

Kila yang membuka diri padanya dengan menceritakan masalah keluarganya, masalah pekerjaannya, dan hal-hal remeh lainnya, benar-benar membuat Loka bisa menatap Kila dengan sisi yang baru. Bahwa perempuan itu ternyata lebih tegar daripada dugaannya.

Tadi, Kila menceritakan kegelisahannya beberapa hari ini yang khawatir akan bertemu Mila, kakak perempuannya. Loka bahkan tak tau kalau Kila memiliki masalah dengan Mila sampai detik ini. Dari sana pula dia berhasil memahami mengapa Kila memilih mengabaikan asmara selama ini.

Karena dari kakaknya dia belajar untuk tak menyerahkan hidupnya kepada laki-laki, sampai dia sudah bisa berdiri tegak di atas kaki sendiri. Sampai cita-citanya benar-benar sudah digapai sebagai wanita mandiri.

Hal ini menyadarkan Loka akan satu hal.

"Karena kamu di sini sama saya, artinya kamu sudah berhasil dengan cita-cita kamu, kan, Kila?" Tanya Loka, masih tak bisa melepaskan pandangannya dari Kila malam ini.

Kila menoleh, balas menatap Loka yang lekat memandangnya, lalu mengangguk. Dia membuang tatapannya kembali ke gemerlap lampu Jakarta yang menerangi gedung-gedung pencakar langit. Benaknya bertualang tanpa arah.

Sementara Loka tersenyum puas. Rasanya beberapa hari ini dia tak bisa mengendalikan dirinya untuk terus mendekat ke Kila. Respon baik dari perempuan itu juga membuat hatinya membuncah bahagia seperti laki-laki yang baru pertama kali pacaran.

Mereka mengobrol sampai pukul 9 malam, sebelum Loka mengajak Kila pulang. Jadwal kencan singkat mereka setiap malam memang tak melebihi pukul 9 malam. Kila yang mengajukan permintaan itu. Walaupun bertolak belakang dengan gaya hidup Loka yang selalu main hingga tengah malam bahkan dini hari, tapi laki-laki itu puas karena Kila semakin membuka diri padanya. Walaupun sifat juteknya masih ada.

Apalagi saat menolak diantar sampai depan kamar apartemennya.

"Udah, Pak. Sampe sini aja. Kenapa sih, ngeyel banget?!"

Loka melawan tangan Kila yang berusaha mendorongnya kembali ke mobil. Padahal dia sudah berharap Kila akan menerimanya mengantarnya hingga kamar apartemennya di lantai 4.

Morning, KilaWhere stories live. Discover now