Dua Belas : Membosankan

9.8K 1.6K 94
                                    

"Buka hati lo, Kil. Jangan terlalu keras ke diri sendiri."

Kila memotong omongan Vira yang terasa tak masuk akal, "Kenapa gue harus buka hati? Bahkan Pak Loka juga belum tentu naksir gue. Dia cuma doyan bikin gue malu aja."

Vira tertawa sumbang, diikuti senyum maklum Gladys.

"Itu karena lo yang nggak peka. Jomblo abadi mana tau ada cowok lagi pedekate sama dia?"

"Maksudnya?" Kila mengangkat salah satu alisnya.

"Jelasin, Dys. Gue capek teriak-teriak dari tadi," perintah Vira.

Gladys tersenyum sekali lagi, menyadari kalau atmosfir pertengkaran mereka sudah berubah menjadi sesi konseling.

"Jadi, gue sama Vira beberapa hari ini lagi observasi, nih. Bikin teori-teori kecil gitu lah. Lo gelisah mulu tiap abis ketemu atau papasan sama Pak Loka. Jadi kita pikir wah, gila, nih, akhirnya lo merasakan jatuh cinta juga--"

"Jatuh cinta yang aneh. Nggak heran, seorang manusia galak kayak Kila gitu, loh," celetuk Vira memotong penjelasan Gladys.

"Sama Pak Loka. Yah, meskipun kita yakin lo pasti berusaha denial mati-matian," Gladys tersenyum menangkap wajah salah tingkah Kila, "Nah, terus kita juga analisis nih perilaku Pak Loka ke elo. Dari awal dia udah menunjukkan gejala peduli sama lo, nggak cuma suka becandain lo doang---"

"Baik loh, Pak Loka itu. Bukan karena ganteng doang," potong Vira, menyindir ucapan Kila tadi.

"Dia dulu bantuin lo waktu jatuh, nungguin di klinik sampe sore. Nganterin lo pulang abis dari rumah Pak Awan, kan aneh banget, padahal dia orang sibuk tapi mau remeh remeh ngurusin karyawannya. Habis itu, kita sering banget dapetin dia mampir ke ruangan kita dan selalu ngelirik ke kubikel lo."

Vira berbinar-binar, "Dan hari ini kita dapet bukti paling valid kalo perasaan kalian tuh mutual."

Kila menatap kedua temannya dengan mata menyipit.

Jangan-jangan..

"Waktu gue mau ambil air di pantry tadi pagi, gue--"

"Stop!" Pekik Kila, meloncat ke depan untuk membekap mulut Vira.

Tapi percuma, Gladys dengan sekuat tenaga berusaha berteriak.

"Vira liat lo sama Pak Loka lagi pandang-pandangan romantis!"

"Sialan kalian berdua!"

Kila berteriak sekencang-kencangnya untuk menutupi rasa malu yang menjalar sampai wajahnya memerah. Sementara dua sohibnya itu tertawa ngakak melihat reaksi lucu Kila yang ternyata bisa bertekuk lutut karena cinta.

Hei, mungkin masih terlalu dini. Tapi sepanjang makan malam mereka di warung bebek penyet, Kila tak bisa mengusir ucapan-ucapan Gladys dan Vira yang menuturkan analisis sikap Loka padanya.

Dia bukan anak kecil, bukan anak remaja SMA yang harus diajari soal peka terhadap pendekatan laki-laki. Tapi dia baru sadar kalau tingkahnya sangat amatir sekali untuk urusan asmara, bahkan kalah dari anak SMA jaman sekarang yang lebih pintar.

Malam itu dia bertekad untuk membuka hati seperti kata Vira dan Gladys. Dia udah dewasa, jadi yakinlah kalau memang Loka benar-benar menaruh rasa padanya, dia tak akan menolak.

***

"Morning, Kila."

Kila hampir terlonjak saat sosok Loka menyapanya dari belakang. Tepat saat dia sedang menunggu lift untuk membawanya naik ke lantai ruangannya.

Masih pagi. Baru juga pukul 07.00. Dan hari Kamis, hari terakhir mereka di kantor untuk menyelesaikan pekerjaan menumpuk sebelum esok hari semua karyawan kantor Portabello terbang ke Yogyakarta bersama-sama.

Morning, KilaWhere stories live. Discover now