Sembilan belas : Welcome to relationship

10.6K 1.6K 129
                                    

"Soal tadi, nggak masalah, kan?"

Untuk kesekian kalinya, Loka melontarkan pertanyaan yang sama.

Bahkan saat mereka sudah pamit dari rumah budhenya, dan berjalan kaki di sepanjang pantai. Sebuah destinasi yang tak berencana untuk dia kunjungi, namun karena desakan Budhenya untuk mengajak Loka ke pantai terdekat dari pusat kota itu, membuatnya hanya bisa menurut. Apalagi setelah jantungnya tak bisa berhenti berdebar tiap kali menatap Loka, teringat kejadian tadi, membuatnya harus menyingkir dari rumah budhenya atau kejadian itu akan disaksikan oleh keluarganya.

"Kila," panggil Loka mengingatkannya untuk menjawab pertanyaannya.

"Saya udah jawab hampir lima kali pak."

Loka tertawa, menyedekapkan tangannya di depan dada lalu ikut berjalan pelan dengan Kila menyusuri bibir pantai.

"Saya sangsi sama jawaban kamu. Karena dari tadi kamu hindarin saya."

"Siapa bilang?"

Loka meliriknya sambil tersenyum, "Tuh, nada suaranya aja kesel."

Kila memutar bola matanya, "Kayak bapak nggak kenal saya aja."

Merasa tak puas dengan jawaban Kila, Loka menguraikan tangannya lalu menarik tangan Kila agar menghadapnya.

"Serius," matanya menatap lekat, "Sampai batas mana hubungan asmara kamu?"

Wajah Kila memerah. Bahkan ayah ibunya tak pernah menanyakan hal itu padanya. Tapi Loka bertanya seolah dia lupa dengan pengakuan statusnya sebelum akhirnya dia menerima Loka.

"Bapak serius lupa atau pura-pura lupa?"

Loka berpikir sejenak, "Yah, meskipun kamu bilang kamu belum pernah pacaran, tapi barangkali kamu pernah dekat dengan laki-laki. Saya mau tau gaya pacaran seperti apa yang kamu harapkan. Saya nggak mau salah bersikap."

Debur ombak yang tenang seperti mengiringi suara lembut Loka yang penuh pengertian. Suara burung camar yang berbunyi bersahutan juga ikut menambah kesan sejuk dan tenang di pantai.

Kila menarik nafas, tak tau harus menjawab seperti apa.

"Kamu harus jujur sama saya, Kila."

"Well," Kila meneguk ludahnya, "Saya benar-benar belum pernah dekat dengan laki-laki. Bisa dibilang, amatir parah. Selama ini saya menghindari mengedit novel atau cerita trilogi dengan tema romance, karena saya tau saya nggak akan pernah bisa memberikan kontribusi di sana. Orientasi hidup saya selama ini juga tak pernah melibatkan romansa. Mungkin bapak bingung karena saya yang benar-benar nggak tau apa-apa ini. Saya yakin pengalaman bapak juga banyak dengan perempuan. Jadi kalau bapak tanya apa yang harus bapak lakukan, saya nggak bisa jawab."

Pengakuan yang jujur dari Kila entah mengapa melegakan bagi Loka. Separuh hatinya merasa kesal memikirkan perempuan se-menarik Kila tak pernah mencoba menyenangkan dirinya sendiri, tapi separuh hatinya juga bersorak kegirangan karena berarti dia yang pertama bagi Kila. Egonya sebagai laki-laki berada di puncak.

Loka memiringkan wajahnya untuk melihat Kila lebih dekat.

"Kalau soal tadi, apa yang kamu rasain?"

Refleks Kila memukul dada Loka.

"Masa saya harus menggambarkannya, sih, Pak?"

"Bukan ciuman saya," Loka tertawa geli.

Kila memejamkan mata, kesal, malu.

"Tapi bagaimana kalau saya benar-benar minta kamu untuk lebih sering tersenyum ke saya? Sabar ke saya, mau menerima apa adanya saya yang malu-maluin sekalipun. Dan menerima perhatian-perhatian saya tanpa banyak menghindar. Kamu keberatan?"

Morning, KilaWhere stories live. Discover now