Delapan : Perdebatan

13.1K 1.8K 120
                                    

Sebelumnya, maaf banget yg belum kebales komen2 di bab sebelumnya yaa. Tapi aku baca satu2 kok komen kalian yg bikin semangat lanjutin nulis Loka-Kila kesayangan kalian ini💞💞

Oiya, stay safe yaa kalian dimanapun berada😘 Lagi musim ujan dan nonton berita banyak daerah yg sampai banjir parah😭 rumahku tiap sore-malem hujan, moga2 ngga sampai banjir juga, aamiin

Let's go the the story 🌵

***

Kila bukan tipe perempuan yang sering keluar bareng laki-laki. Bahkan diantara teman sekantornya, tak ada seorangpun yang pernah mengantarnya pulang. Mobil Vira ataupun Gladys menjadi kendaraan abadi yang pernah mengantar Kila kemana-mana selama dua tahun bekerja di Portabello.

Makanya suatu pemandangan aneh ketika dia berada di dalam mobil seorang laki-laki yang sekarang sedang menyetir dengan santai di sampingnya. Siaran radio terdengar pelan mengisi keheningan antara mereka berdua.

Kila sibuk mempertanyakan kepada dirinya sendiri, mengapa dia memilih mengangguk tadi. Membuatnya harus terjebak bersama atasan yang bukan dari departemennya tersebut.

Sial. Dia bahkan baru mengenal laki-laki itu kurang dari dua minggu, tapi dia sudah berani membiarkan dirinya diantar pulang oleh Loka. Dua kali, kalau dia harus menegaskan.

Untungnya kali ini dia tak harus memegangi bagian belakang jok motor Loka seperti orang bodoh, dan menahan tubuhnya mati-matian saat motor direm di lampu merah. Memikirkan tingkah tak masuk akal-nya kemarin malam saja sudah membuatnya begidik ngeri.

"Kenapa, Kil?"

Suara Loka menyentak lamunannya.

"Nggak kenapa-kenapa," jawabnya tenang, walaupun dalam hati jantungnya berdetak kencang. Dia takut Loka menyadari penyesalannya telah setuju pulang dengannya seperti orang bodoh.

Nggak, dia nggak boleh jadi cewek cupu. Lagian, cuma pulang bareng. Nggak ada masalah, kan?

Kalau dia gelisah, justru menandakan dia peduli dengan laki-laki di sampingnya itu.

Dengan satu tarikan nafas panjang, Kila mencoba rileks.

"Saya kira bapak lembur," ucapnya sambil memikirkan cara untuk mengalihkan tatapan curiga dari Loka yang sedari tadi melihatnya gelisah.

"Nggak usah nggak enakan gitu kamu. Saya nebengin kamu pulang karena rumah saya searah sama kosan kamu," tutur Loka dengan tawa kecil setelahnya.

Kila melirik tajam, "Siapa juga yang nggak enak, Pak? Saya mah enak-enak aja daripada harus naik bis, kan."

"Nah, itu tau. Makanya, nggak usah gelisah gitu. Saya nggak bakal macem-macemin kamu, kok." Mata Loka mengerling jenaka.

Wajah Kila memerah tanpa bisa ditahan.

Bisa-bisanya dia memutar balikkan fakta. Dih, siapa juga yang kegeeran disini??

"Sepertinya bapak yang terlalu overthinking. Saya biasa aja kok sama bapak," elak Kila sambil berpura-pura mengecek pantulan wajahnya di kaca depan.

"Oh, gitu? Bagus deh. Soalnya selama ini kan kamu suka judes sama saya, seolah saya ini ganggu kamu," jelas Loka.

Kila hampir tertawa sumbang, "Duh, mohon maaf sebelumnya kalau saya judes. Udah bawaan. Sama yang lain juga gitu. Nggak usah dibawa ke hati."

Loka hanya mengangguk-angguk. Dalam hatinya dia ingin tertawa melihat sikap santai Kila yang jelas dibuat-buat. Pasti perempuan itu berusaha setengah mati agar tak terlihat lemah di hadapannya. Apalagi dengan insiden mati lampu tadi di ruangan redaksi. Kila pasti memikirkan seribu cara untuk menutupi rasa malunya di depannya. Termasuk dengan menerima tawarannya untuk pulang bareng.

Morning, KilaWhere stories live. Discover now