Tiga Belas : Ketertarikan Loka

11.2K 1.8K 118
                                    

Mendengar alasan Loka yang tak logis dan terkesan mengada-ada, Kila menurunkan jarinya dan memandang kesal laki-laki itu.

"Saking membosankannya, kamu juga terus hindarin saya, nggak mau ditemenin," Loka melanjutkan, "Padahal kalau kamu rileks dan nggak terlalu overthinking, kamu bisa anggap saya sebagai teman yang baik. Masa bodoh sama harga diri atau pandangan orang lain tentang kamu."

Kila membantah, "Tapi anak-anak kantor jadi suka becandain saya gara-gara Bapak. Sebelum bapak pindah ke Portabello, nggak ada tuh yang berani ngeledekin saya."

"Yaampun, Kil. Kamu seneng ya jadi orang galak? Nggak enak tau, temennya dikit, diomongin di belakang. Saya malah bantu kamu biar kamu lebih mudah didekati, jadi lebih manusiawi."

Mendengar kata manusiawi, Kila menoleh cepat ke arah Loka, "Memangnya kalau saya tegas, jadi keliatan nggak manusiawi ya, Pak? Kan itu profesional dalam bekerja. Image seperti itu yang seharusnya dimiliki karyawan."

Tak hanya sekali dia mendengar kata manusiawi. Vira dan Gladys selama ini sering menyinggungnya untuk lebih manusiawi. Kila tak pernah sadar apa yang mereka maksud.

Baginya, selama ini dia udah benar dalam bersikap kerja di kantor. Tegas, disiplin, tak bertele-tele.

Tapi rupanya hal ini mengusiknya begitu Loka menyebutnya demikian.

Selama ini dia se-dingin itu, kah?

Loka balas menatapnya, yang Kila sendiri tak paham bahasa kalbu di mata laki-laki itu. Hitam, pekat, terlalu gelap untuk dia baca.

Perlahan dirasakannya tangan kanan Loka terulur lalu mendarat di atas kepalanya.

"Nggak salah, kok. Banyakin senyumnya aja, ya."

Kalimat itu diucapkan Loka dengan lembut, seolah sedang menasehati anak lima tahun yang sehabis jatuh dan menangis. Dia tak habis pikir ternyata Kila memiliki sisi lugu yang membuatnya gemas dan menahan dirinya agar tak berbuat lebih jauh daripada sekedar mengusap kepala perempuan itu.

Dampaknya sungguh dahsyat. Kila tak bisa berkata-kata. Hanya bisa terpaku menatap Loka yang kini melepaskan telapak tangannya dari puncak kepalanya lalu tersenyum lembut kepadanya.

***

Tepat sebelum Kila hendak berpamitan ke Loka, seorang wanita menghampiri bangku dimana mereka berdua duduk.

Kila mengenali ibu Loka yang dua Minggu kemarin dia temui di parkiran restoran fast food. Wajah cantiknya berbalut hijab menampakkan kemiripannya dengan Loka. Bahkan Kila merasa makin diliat, wanita itu seperti kakak kandung Loka karena terlihat awet muda.

"Loh, ketemu lagi sama kamu, nak," sapa Arina, mami Loka, dengan mata berbinar-binar mendapati putranya beberapa saat tadi terlihat menunjukkan gerak-gerik mencurigakan terhadap perempuan di depannya ini.

Teman kantor, huh? Pikirnya dengan raut wajah curiga.

"Selamat malam, Tante," Kila mengangguk pelan sebagai gestur sapaan.

Dia merapikan penampilannya yang mungkin terlihat berantakan. Demi Tuhan, bahkan wajahnya terasa telanjang tanpa bedak tipis yang biasa membingkainya, atau olesan lip balm di bibirnya. Dia baru menyadari kalau setelah sholat Maghrib tadi, dia tak memakai riasan lagi. Dia tak terlalu peduli sebenarnya, tapi ketika berada di depan Mami Loka, mendadak dia merasa harus sedikit terlihat menarik.

"Malam. Ini janjian sama Loka?"

Loka menyentuh lengan Arina, "Enggak, Mam. Kebetulan tadi ketemu."

"Oalah," Arina mengangguk dan menyembunyikan senyum lebarnya, "Yaudah, sekalian aja makan malam sama kita."

Kila kaget, refleks mengangkat tangannya untuk menolak, "Nggak usah, Tante. Saya---"

Morning, KilaWhere stories live. Discover now