San Juu Ichi~31~Thirty One

589 59 14
                                    


☠️☠️☠️

"Jadi, bagaimana?" tanya Nami memulai percakapan rahasia ini. Keduanya benar-benar pergi ke lobby karena tidak ingin mengambil risiko dengan membicarakannya di luar unit Koala. Bisa saja bukan, Koala mendadak pergi keluar untuk membuang sampah lagi seperti tadi¿

"Bukankah kau yang tadi memperhatikan mereka saat Sabo~senpai baru tiba?" Robin balik bertanya. Akhir-akhir ini, gadis itu berbicara lebih banyak dari biasanya. Dirinya memang akan selalu begitu jika menyangkut masalah sahabatnya.

Nami memutar bola mata. "Aish. Yah, kau benar. Pokoknya, mereka terlihat sangat awkward. Begitu mengherankan. Aku sampai berpikir kalau mereka betul-betul bertengkar," ujar Nami mengatakan semua yang ia tahu.

"Mungkin asumsimu kemarin itu benar. Ada yang aneh. Pasti sesuatu terjadi saat Koala pergi ke rooftop dan itu melibatkan Sabo~senpai dengan … sesuatu?" imbuh Nami menganalisis. Robin mengangguk pelan. Pasti seperti itu. Hanya itu yang paling mungkin terjadi.

Nami mengusap dagunya, mencoba berpikir.

Gadis cantik yang berdiri di sampingnya, membuka suara. "Demo, apa Sabo~senpai berkemampuan untuk membuat Koala jadi seperti itu? Membuat dia menangis?"

Nami menoleh. "Menangis?"

"Ya. Seperti yang dikatakan Roronoa~kun kemarin," jawab Robin menjawab keheranan Nami. "H-hei, kau percaya itu benar?" Nami terlihat tidak percaya. Dia tidak bisa percaya begitu saja pada murid baru itu.

Robin mengiyakan.

Jika Robin percaya, Nami tak punya pilihan lain selain ikut memercayai hal itu. Tapi, kembali ke pertanyaan Robin tadi, bisakah Sabo membuat Koala jadi seperti itu? Hal itu rasanya tidak mungkin. Keduanya sudah lama bersama-sama, mereka juga tampak saling memercayai satu sama lain meski status mereka masih sebagai sahabat. Atau Sabo sudah menyakiti hati Koala? Itu pilihan yang paling masuk akal, mengingat Nami dan Robin hanya tahu perasaan Koala saja. Sementara perasaan Sabo, masih belum pasti selama lelaki itu belum mengutarakannya pada Koala.

"Itu mungkin saja terjadi,"

Nami mendongak, menatap Robin yang baru saja mengucapkan hal itu. Robin … baru saja menjawab pertanyaannya sendiri.

"Tapi … ini Sabo~senpai. Rasanya tidak mungkin," Nami mengutarakan kesangsiannya.

Robin tertawa hambar. Membuat Nami menatapnya penuh keheranan. Karena sejauh ini, gadis manis tersebut tidak pernah tertawa dengan nada seperti itu. Tawa yang sama sekali bukan Robin. Tawa yang didengar Nami dari mulut Robin itu terasa … kosong? "Tidak ada yang tidak mungkin. Laki-laki yang kutahu semua sama saja," katanya sambil menatap lantai yang bahkan tidak berbalik menatapnya.

"Ba-barusan kau bilang apa?" Nami bertanya, meminta kejelasan. Gadis itu terlihat kebingungan akan pernyataan gadis bersurai raven tersebut.

"Ah, lupakan."

Nami mengernyit dalam. Meski penasaran, dia tidak mungkin memaksa Robin mengatakannya. Barangkali hal tersebut terlalu privasi untuk gadis bermarga Nico itu.

Hening sejenak.

"Kurasa tidak semua laki-laki seperti itu," ucap Nami tanpa peduli dengan perintah Robin untuk melupakan secuil hal yang tadi mereka bicarakan. Ia merebahkan diri ke sofa di lobby dan bersedekap. Bisa dibilang, hunian Koala ini cukup elit karena interior dan setiap sudut gedung apartemen berdesain seperti hotel bintang lima.

Robin mengikuti jejak Nami dengan turut duduk di sofa. Ia menoleh sebentar pada gadis yang merupakan sahabatnya itu. "Fufufu, kau kini membela lelaki, Nami?" Robin tersenyum tipis. Ia sudah mengembalikan cara tertawanya. Tawa khas Robin.

One Piece Senior High School Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon