49. PERTENGKARAN-PERTENGKARAN KECIL

Почніть із самого початку
                                    

"Dulu, salad buatan daddy adalah makanan yang paling aku tunggu-tunggu di hari libur kayak gini. Tapi sekarang, aku benci salad. Aku benci daddy. Aku benci semuanya."

Oife terisak dengan kepala terbenam di lipatan tangannya. Rambut peraknya dibiarkan terurai berantakan. Suara tangisnya terdengar lirih. Akhir-akhir ini Oife yang terkenal kuat akan segala macam derita mulai menunjukkan kerapuhannya.

Tak peduli akan cacing-cacing di perutnya yang meminta jatah, Oife terus menangisi nasibnya. Oife ingin pulang ke Ibunya, tapi Oife sadar kalau Ibunya lagi tahap penyembuhan. Oife tidak mau Ibunya sampai melihat matanya dalam kondisi bengkak dan bertanya-tanya apa yang telah terjadi padanya. Bisa-bisa karena itu Ibunya stres lalu kembali menyalahkan dirinya sendiri.

"Mommy, Oife laper," gumamnya pelan sebelum kemudian matanya tertutup rapat. Oife tertidur dengan mata yang basah.

➖➖➖

Elusan di kepalanya begitu lembut terasa. Elusan yang sama seperti bagaimana Ibunya melakukan itu saat dirinya tiba di rumah. Setengah harian menjalani kewajibannya sebagai seorang pelajar dan sisa waktunya lagi dia habiskan untuk bermanja-manja bersama keluarga tercintanya.

Itu terjadi beberapa tahun lalu. Saat di mana keluarganya sedang harmonis-harmonisnya. Namun kini hanya angan-angan semata.

Kembali pada elusan yang kerap membuat rasa lelahnya sirna digantikan semangat ingin menerjang badai kehidupan. Elusan di puncak kepalanya semakin lama semakin menenangkan disusul suara serak yang mungkin akan menjadi candu untuknya.

"I'm here, baby."

Bisikan pelan itu membuat matanya lamat-lamat mengerjap. Oife mendongak dan mendapati Jenaro duduk di sebelahnya dengan satu tangan yang cowok itu turunkan untuk beralih membenahi rambutnya. Mengambil dan menyelipkan anak rambut yang menempel di pipi yang sedikit basah ke belakang telinganya.

Rasa ingin menangis begitu besar saat tatapan teduh Jenaro menelisiknya beserta dua tangan kokoh membingkai wajahnya yang kemungkinan sangat kusam. Perlahan, kedua ibu jari cowok itu bergerak, mengusap sisa air mata di pipinya.

"Sayang jangan nangis."

Jenaro terlambat mengatakannya. Cairan bening itu lagi-lagi menetes. Jenaro dengan sigap memeluk gadisnya. Membiarkannya menangisi sesuatu yang dia ketahui apa penyebabnya.

Jenaro paham bagaimana perasaan gadisnya.

Jenaro sangat tahu bila Oife membutuhkan rumah untuknya berkeluh kesah, untuknya berisitirahat sejenak.

Maka dari itu dia datang dan benar dugaannya. Gadisnya sedang tidak baik-baik saja.

"Gapapa sayang. Kamu masih punya aku."

Oife kian terisak.

Jenaro memilih bungkam. Usapan di punggung rapuhnya yang mampu dia berikan untuk sang pacar daripada mengucapkan kata-kata yang pasti bukan membuatnya berhenti menangis malah nantinya semakin meraung-raung.

Sepuluh menit berlalu, tangis Oife mereda. Pelukannya pun terlepas, Oife menatap melas Jenaro yang tersenyum tipis ke arahnya.

"Aku laper."

"Sayangnya Naro mau makan apa hm?"

"Pingin bubur ayam."

Jenaro langsung berdiri dan menggandeng tangannya, "Yauda yuk."

Bibir Oife manyun seketika, "Pagi-pagi gini belum ada yang buka tau."

"Siapa yang bilang?"

"Kan barusan aku yang bilang," greget Oife.

JENARO Where stories live. Discover now