Mereka bilang, mereka datang sebelum masuk, tak mungkin jika mereka yang melakukannya. Oh iya? Mereka masuk duluan. Pasti melihat siapa yang menaruh ember itu. Mereka tahu dan bersekongkol.

Tenaga yang sempat terbelengu kini kembali ke dalam diriku. Aku merebut kasar tas mereka satu per satu. Apa? Tak ada tepung? Lantas, siapa yang berani membuatku terpenuhi tepung?

"Sabar, kondisiin emosi lo, Lan," tegur Salsa di kursi paling belakang. Aku menarik hembuskan nafas, berat, menetralisir kan marahku yang sempat meledak.

"Maaf, saya telat," tutur seorang cewek menerobos masuk kelas. Posturnya di atas rata-rata tinggi wanita keturunan asia, rambut panjang tergerai ke satu sisi ciri khasnya.

Aku melipatkan kedua tangan di depan dada sambil melangkah maju.

Sekarang aku tahu siapa orang yang harus ku tuduh. Bisa saja cewek itu berlagak seperti kebanyakan murid kesiangan padahal dia sendiri dalangnya.

"Shania oh Shania. Pura-pura telat tapi faktanya lo sendiri dalang dari insiden tepung ini. Sekarang gue tanya, emang segininya lo benci sama gue sampe lo rela buat jebakan. Untung kena gue, kalau kena orang lain atau bahkan guru? Baiknya lo mikir kalau mau bertindak," sarkasku kian berapi-api.

Shania terlihat bingung di tempatnya. Belum jelas juga penjelasan dariku? Baiklah jika itu maunya. Aku meraup tepung yang masih mengebul dan melemparkannya begitu saja ke muka Shania.

"Pfttt, apa-apaan lo? Belum cukup bagi lo buat ngerebut kepunyaan gue? Asal lo tahu aja, walaupun Beauty Rate lo naik, atensi semua orang bakalan jatuh ke gue. Inget itu baik-baik!" balas Shania tak mau kalah. Persetan. Aku tak perduli pada sistem Beauty Rate itu, yang sekarang aku permasalahkan, Shania menaruh jebakan persis di depan kelas. Bolehkan aku mencakar muka Shania sekali ini saja?

Terakhir, aku mengambil alih tas Shania tanpa balas kasih. Aku mengeluarkan sekantong keresek bening berisi bubuk putih di sana. Shania terbeliak kaget. Dia tak menyangka jika tepung itu bisa ada di tasnya? Jangan bersandiwara seolah tak tersangkut insiden tepung. Bukti sudah jelas, apa yang harus dia elak? Sengaja, aku menubrukkan bahunya dengan bahuku membuahkan Shania hampir tersungkur.

"Awas aja lo, Lana!" teriak Shania menudingku dengan telunjuknya. Aku tidak menerima recokkan apapun darinya. Misiku sekarang hanya satu, melenyapkan sistem Beauty Rate. Karena sistem tak masuk akal ini, ada saja orang yang rela berbohong karena iri dan dendam. Bahkan salah satu siswi mati bunuh diri karena kehidupan kelamnya yang berurusan dengan Beauty Rate-nya.

Aku tak akan tinggal diam. Aku akan mengungkapkan segalanya di depan kepala sekolah.

***

Tok.. Tok..

Aku mengetuk pintu ruang kepala sekolah, rasa emosiku masih belum hilang. Tak ada jawaban? Benar-benar kondisi sekarang membuat bara api amarahku semakin menjadi.

Terpaksalah aku membuka ruangan kepala sekolah sendiri. Biar saja apa kata orang. Tidak sopan? Aku tak menggubris penilaian orang terhadap kelakuanku yang berubah seratus delapan puluh derajat.

Apa? Bahkan ruangan ini kosong! Tiba-tiba mataku langsung tertuju pada tumpukkan berkas data siswa di meja kepala sekolah. Rasa penasaranku perlahan menjalar. Jadi, berita Wati bersekolah di sini benar adanya?

Aku membuka lembar demi lembar satu per satu. Hasilnya nihil. Tak ada berkas yang ku cari. Hendak mengangkat kaki dari ruangan tersebut, aku memandang kertas sobekkan yang sudah tercabut, terbengkalai begitu saja di tempat sampah berwarna biru ruangan kepala sekolah.

Foto itu kelihatannya sudah hangus. Entah ini sebuah keajaiban atau bagaimana, aku bisa menerawang siapa orang dibalik foto itu. Sudah dicoret mukanya juga, wajah asli seseorang di foto itu terlihat jelas di penglihatanku.

SCARY BEAUTY [END✔️]Where stories live. Discover now