Aku dan Kabin Kelabu di Manor Valley

12 8 17
                                    

Cahaya matahari yang terurai di bawah pepohonan itu layaknya bintang-bintang di langit hijau. Begitu tenang dan damai hanya memandangnya menyandar di batang pohon. Warna lain bertaburan setiap aku memiringkan kepalaku ke kanan dan kiri. Bercampur aduk tidak hanya putih. Biru, merah, hijau, ungu. Seperti kristal Kim ketika bermunculan menggeser tanah. Angin semiliwir menggoyangkan dedaunan. Beberapa daun jatuh disekitarku. Namun pandanganku terus menatap matahari. Menatapnya diantara pepohonan dapat menahan sinarnya yang begitu menyilaukan, tetapi keindahannya semakin indah.

Pertengahan bulan Mei. Musim semi akan segera berakhir. Dedaunan hijau yang segar di bawahku melayang bersama angin. Diikuti dengan kelopak bunga tulip dan dandelion. Mendarat di pai beri biru keluarga gadis kecil yang memakai rok merah polkadot. Ibunya mengibaskan daun dan bunga itu ke tanah. Bertemu dengan daun-daun semanggi di rerumputan.

Gadis kecil berambut cokelat madu itu menghampiriku. Dia mengulurkan tangannya dan memberikan padaku sebuah bungkusan kertas karton. Bahuku terangkat. Heran karena gadis ini tiba-tiba datang. Kaget karena dia menghampiriku dan akan memberikanku sesuatu. Aku melirik orangtua gadis itu yang sedang duduk di kain kotak-kotak, mereka tersenyum padaku.

Aku mengangkat tanganku dan menerima pemberian gadis itu. Gadis itu tersenyum dan langsung berlari dengan kedua tangannya direntangkan ke bawah. Orangtua dan kelarga lainnya tertawa. Mereka lalu kembali bercakap-cakap sembari menikmati makanan bekal mereka.

Dan seketika pemikiran itu membuatku beranjak berdiri;

Mereka pikir aku gelandangan?

Aku membuka bungkusan itu. Sebuah roti isi berisikan daging dan sayuran dan ...―apa ini? Biskuit? Permen? Atau jeli? Berbentuk beraneka macam―bintang, hati, planet, dan binatang aneh, ukurannya lumayan kecil dari biskuit, seperti permen. Mungkin cokelat. Dibungkus dengan kantung transparan bewarna biru salju. Dengan tali pengikatnya ada sebuah manik-manik berbentuk bintang. Entahlah.

Yang jelas membuang waktu disini dengan menatap matahari dibalik pohon dan memasang muka memelas sampai orang-orang disekitarmu memberi makanan piknik mereka jelas bukan gayaku. Dan aku tidak mau dikira gelandangan karena ditinggal oleh van Helsing.

Aku menggulung kembali kertas itu asal dan memasukkannya ke tas pinggangku.

Aku memandang sekitar. Berandai-andai dimana aku bisa menemukan tempat atau seseorang yang bisa membantuku. Sebenarnya tidak salahnya aku bertanya kepada orang-orang di taman ini. Hanya saja setelah perkataan van Helsing dan suasana disini (yang meskipun Kingsley selalu bilang padaku kalau keadaan kota suram dan kacau) begitu damai dan tentram meskipun hawa dari cuaca dan kota tua ini menyelimutinya dengan kelabu nan kelam. Yang bisa kalian lihat darri umur-umur gedung disekitarnya yang aku asumsikan angker.

Nah, sudahi dulu melihat-lihatnya.

Oh, aku lupa tentang bertanya pada orang-orang ini. Yah, mungkin mereka akan menjawab;

"Aku tidak tahu dimana psikiater tinggal, tetapi kau harus cepat untuk menemui mereka!"

Atau;

"Aku tidak tahu silsilah keluargamu, nak? Coba saja tanya ke kantor polisi."

Atau yang lebih parah lagi;

"Apa kau pasien rumah sakit jiwa? Karena kudengar mereka sedang mencari orang tidak waras minggu ini."

Yah, jadi untuk mempersingkat waktuku, aku pergi ke salah satu jalan berlorong di belakang pohon aku berteduh tadi.

Jalanannya menurun. Penuh tangga ke bawah. Kadang ada belokan. Pertigaan. Pererempatan. Namun aku lurus terus. Kota kelabu di bawahnya membuatku penasaran apa dibaliknya.

Scamatories: Kamose TheosWo Geschichten leben. Entdecke jetzt