13| ✨Tebakan✨

27 1 0
                                    

"Karena semua tentang perasaan, bukan fisik."

🟡🟡🟡

"Ren, ada Kak Juan." Itu suara Sonya, cewek itu tengah berdiri di ambang pintu, katanya sih tadi mau ke kantin dan bersuara lantaran melihat sosok Juan di depan kelasnya.

Kepala Firen masih terasa pusing, ia menumpu kepalanya di atas meja. Suara Sonya tidak terlalu ia pedulikan karena sakit di kepala yang terus menyerang.

"Masuk aja, Kak." Sayup-sayup Firen mendengar suara Sonya yang mengizinkan Juan masuk. Lalu terdengar derap langkah seseorang yang mendekat.

Jantung Firen berdetak lebih kencang, tapi ia masih tetep memejamkan mata. Tak lama, tangan seseorang terangkat mengusap rambutnya. Sontak Firen membuka mata dan menegakkan kepalanya.

"Kak Juan," gumam Firen. Juan tersenyum hangat.

"Masih pusing?" Firen mengangguk. Mata Firen beralih melihat sekitar, hanya ada beberapa murid di kelas, tapi mereka sibuk dengan urusannya masing-masing.

"Nih makan." Juan menyodorkan bungkusan makanan. Hal itu membuat mata Firen berbinar. Ah, Firen tidak bisa berbohong. Ia benar-benar mencintai makanan.

Melihat itu Juan mengangkat tangannya dan mengacak-acak rambut Firen.

"Kakak udah makan?" tanya Firen yang sedang menyantap makanannya.

"Udah." Juan masih fokus memandang gadis di sampingnya. Menyaksikan setiap gerak-geriknya yang terlihat menggemaskan di mata Juan.

"Nanti pulang sekolah aku antar ya," ujar Juan.

Firen awalnya ingin menyetujui itu, tapi ia kembali teringat ucapan mamanya kemaren malam. Firen harus menjauhi Juan.

Bukan, bukan Firen ingin menjauhi Juan. Tapi ia hanya berusaha menghindar. Jangan sampai mamanya melihat ia berduaan dengan Juan. Hanya itu.

"Nggak usah Kak, aku nanti ada urusan sebentar."

"Urusan apa? Biar sekalian aku antarin."

Firen gelagapan. "Eh, aku sendiri aja Kak. Kak Juan langsung pulang aja."

Juan menghembuskan nafasnya. "Bener nih?"

"Iya, Kak." Firen tersenyum manis, berusaha untuk tetap meyakinkan seseorang di sampingnya. Hingga akhirnya Juan mengalah.

"Ya udah, hati-hati," ucap Juan sambil kembali mengacak-acak rambut Firen.

🟡🟡🟡

"Perutku sakit banget," ringis Cindy. Kini, ia tengah duduk berdua di depan kelas Ghali dan tentunya ditemani cowok itu.

Ghali kebingungan, pasalnya Cindy dari tadi berulang kali ke kamar mandi dan terus mengeluh karna perutnya yang terasa sakit. Ia sebenarnya tidak tega melihat raut wajah kelelahan yang tercetak jelas di wajah Cindy.

"Kamu makan apa sih tadi?" tanya Ghali.

"Kayak biasa, makan bakso."

"Trus kenapa bisa jadi gini?"

Cindy memelas. "Ya mana aku tau!"

"Itu mungkin karma." Ucapan Ghali tersebut membuat Cindy menolehkan kepalanya dengan cepat ke arah Ghali.

"Maksud kamu apa?"

"Minta maaf sama Firen."

"Itu nggak ada sangkut pautnya!" Cindy masih bersikeras.

"Lagian salah sendiri pake pelet," sambung Cindy.

Ghali melipat dahinya. "Maksud kamu?"

"Iya, Firen itu tuh pake pelet!" ucap Cindy dengan percaya diri. "Kalau enggak, mana mau Juan sama cewek jelek, jerawatan kayak dia."

"Jadi bisa disimpulkan kalau Firen itu pake pelet!"

"Cindy!"

"Makanya kemaren aku kasih dia pelajaran, biar nggak sok-sokan."

"Cindy!" Kali ini Ghali menaikkan suaranya, membuat Cindy terlonjak kaget. Beberapa murid yang lewat pun juga melihat sekilas ke arahnya.

"Kamu kenapa sih?" tanya Cindy kesal.

"Kamu yang kenapa!"

"Itu urusan mereka berdua! Kamu nggak boleh ikut campur!" tekan Ghali dengan sorot tajamnya.

"Emang ada aturan kalau orang jelek nggak boleh pacaran sama orang ganteng?" Pertanyaan itu membuat Cindy terdiam.

"Iyaa enggak sih."

"Makanya, nggak perlu urusin orang!"

"Ashh." Cindy meringis sembari memegang perutnya.

"Kamu sih marah-marah, perut aku jadi sakit lagi." Cindy dengan cepat berlari menuju kamar mandi, tidak lagi memedulikan Ghali.

"Apa hubungannya?" gumam Ghali. Ia menghela nafasnya, menghadapi Cindy itu harus extra sabar. Cewek yang ia pacari setengah tahun yang lalu. Cewek yang berhasil menarik perhatiannya.

Entahlah, Ghali pun tidak tau. Kenapa ia bisa jatuh pada cewek seperti Cindy. Ghali paham betul bagaimana kelakuan Cindy, yang suka membully murid-murid, yang suka mengurus urusan orang lain, Ghali tau semua itu.

Tapi bagaimana pun juga, ia menyayangi Cindy.

"Woi, ngelamun aja." Bino memukul bahu Ghali yang membuat cowok itu tersadar dari lamunannya.

"Kenapa?"

"Lo yang kenapa," ucap Bino yang dibalas gelengan oleh Ghali.

"Cewek lo tadi kenapa?" tanya Bino yang kini telah duduk di samping Ghali, bekas tempat duduk Cindy tadi.

"Mules katanya."

"Karma kali," ledek Bino.

"Mungkin," balas Ghali santai.

"Eh buset, harusnya lo tuh marah ke gue karna gue bilang karma. Lah ini malah setuju aja," sambar Bino.

"Yang lo omongin bisa jadi bener, trus kenapa gue harus marah?"

Bino tertawa lalu menepuk pundak Ghali. "Ini baru sohib gue."

"Eh tapi Ghal, lo kepikiran nggak sih? Cewek lo mules kenapa?"

"Tadi dia makan bakso, kebanyakan cabe mungkin."

"Bukan itu maksud gue Bambang!" decak Bino.

"Lo ingat nggak waktu Kinan cari masalah sama Firen dan dia berakhir berantem dengan Sonya, temannya Firen. Nah bisa jadi kali ini kerjaan Sonya juga," jelas Bino dengan serius.

Ghali menoleh ke arah Bino. "Tumben lo pinter."

"Sorry bro, gue nggak bisa dipuji," ucap Bino dramatis.

"Tai!"

"Tapi bisa jadi sih," pikir Ghali. "Ah tapi nggak papa, biar sekali-kali Cindy dikasih pelajaran."

"Perlu gue bantu ngeruqiyah cewek lo nggak?" tawar Bino.

🟡🟡🟡

Secuil jejak kalian sangat berarti untukku;)

Tanggapan tentang part ini?

Share cerita ini ke teman-temannya yaa.

Thank you!✨

Salam hangat,
Fuji

Glow Up With YouWhere stories live. Discover now