04 |✨Di rumah ✨

51 9 1
                                    

"Tidak ada yang mau jika dirinya dibanding-bandingkan dengan orang lain."

🟡🟡🟡


"Bagus, jam segini baru pulang." Suara seseorang menyambut kedatangan Firen di rumahnya.

Jam menunjukkan pukul 16.00, itu berarti Firen sudah telat pulang beberapa jam. Ban motornya yang kempes tadi mengharuskannya membawa motor ke tambal ban. Alhasil sekarang ia pulang terlambat dan harus siap menerima segala konsekuensinya.

"Maaf Ma, tadi ban motor aku kempes," cicit Firen pelan. Ya, suara tadi bersumber dari Izza—mamanya Firen.

Seorang cewek cantik yang usianya tak terpaut jauh dengan Firen datang menghampiri. "Halah, jangan boong deh lo!"

"Beneran, Kak. Ban motor aku kempes."

Cewek yang bernama lengkap Kinan Gevanza itu melipat tangannya di depan dada, menatap Firen dengan sinis. Ia merupakan kakak Firen, tapi sikapnya ke Firen tidak mencerminkan sikap seorang kakak.

"Dia sengaja, Ma. Biar bisa ngehindar dari kerjaan rumah." Kinan berkata memberitahu mamanya.

Firen menggeleng cepat, baru saja ia ingin membuka suara untuk membela diri. Mamanya lebih dulu angkat suara.
"Kamu bener-bener anak nggak tau diri ya!"

"Sekarang beresin semua pekerjaan rumah! Kamu nggak akan dapat jatah makan kalau rumah belum bersih!" perintah Izza dengan muka memerah.

"Tapi, Ma. Aku belum makan siang," cicit Firen sambil memegang perutnya yang sudah keroncongan.

Izza berkacak pinggang. "Bersihin dulu rumah, baru bisa makan!"

Firen menghembuskan nafasnya pasrah, memegang sekilas perutnya yang rata. Lalu berjalan menunduk menuju kamar untuk berganti pakaian. Setelah itu, ia harus membersihkan rumah.

Sementara itu, cewek dengan rambut yang diikat kuda tersenyum puas. Lalu berjalan ke arah mamanya dan langsung memeluk wanita paruh baya itu.

"Mama emang terbaik deh," ucap Kinan yang masih mengeratkan pelukannya dengan sang mama.

"Iya dong, nggak mungkinlah mama biarin anak mama yang cantik ini kerja beresin rumah."

"Biarin aja tuh anak jelek itu yang ngerjain," lanjutnya.

Kinan lagi-lagi tersenyum puas di dalam pelukan. "Makin sayang deh sama Mama."

Di lain sisi, tidak jauh dari tempat ibu dan anak yang sedang berpelukan itu. Seorang cewek dengan surai panjangnya hanya bisa diam sembari menahan sesak di dadanya.

Ini bukan kali pertama ia menyaksikan pemandangan seperti itu. Tapi rasanya tetap sama, sesak di dadanya membuatnya tersiksa.

Dengan sekuat tenaga, Firen berusaha untuk tersenyum. Lalu meyakinkan dirinya bahwa semuanya akan baik-baik saja.

"Aku nggak boleh ngeluh," batin Firen.

🟡🟡🟡


"Kerja yang bener dong lo!"

Firen yang sedang membersihkan meja dekat ruang keluarga tersentak kaget. Ia pun menatap sekilas ke arah Kinan yang tengah duduk santai di sofa sambil menonton televisi.

Bukan, bukan itu yang jadi masalah. Tapi tingkah Kinan yang dengan sengajanya membuang kulit kacang ke sembarang arah. Hal itu membuat Firen harus membersihkannya berulang kali.

"Kak, kulit kacangnya dikumpulin. Jangan buang sembarangan gitu." Firen memberi tahu.

Kinan langsung menegakkan punggungnya. "Lo ngatur gue?"

Seketika Firen menunduk saat mata tajam itu menatapnya lekat. "Bukan gitu, Kak."

"Suka-suka gue dong. Lo tinggal kerja yang bener apa susahnya sih?"

"Atau mau gue kaduin ke mama?" ancam Kinan.

Dengan cepat Firen menggeleng. "Jangan, Kak."

Firen menghela nafasnya, mau tidak mau ia harus sabar memunguti kulit kacang yang berserakan di lantai. Sesekali ia menatap ke arah Kinan yang sedang asik menonton televisi dengan sesekali tertawa.

Jam sudah menunjukkan pukul 17.15 dan Firen belum juga makan. Perutnya sedari tadi sudah demo meminta untuk segera diberi makan.

Tangan Firen bergerak ke arah perutnya yang rata, lalu mengelusnya pelan. Berharap cacing di perutnya itu mau berhenti demo.

"ASTAGA FIREN!" Teriakan Kinan membuat Firen sadar dari lamunannya.

Betapa terkejutnya Firen saat baru menyadari bahwa ia tidak sengaja menumpahkan jus alpukat milik Kinan yang terletak di atas meja.

"Lo ikhlas nggak sih kerja?" tanya Kinan dengan nada tinggi.

"Kak, maaf. Aku nggak sengaja," cicit Firen pelan.

"Maaf-maaf, lo liat tuh jus gue jadi tumpah!"

Mata tajam Kinan lagi-lagi membuat nyali Firen ciut. "Udah berapa kali gue bilang, kerja tuh yang bener!"

"A-aku nggak sengaja."

"Kalau lo nggak suka sama gue bilang aja! Gue juga nggak suka sama lo!"

Lalu, seorang wanita paruh baya datang menghadap mereka karena suara ribut-ribut mengundangnya kemari.

"Ini ada apa sih ribut-ribut?"

"Firen tuh, Ma." Lagi, Kinan melancarkan jurusnya di depan sang mama.

Mamanya menatap nyalang ke arah Firen yang tengah terduduk di lantai.
"Kamu lagi! Berapa kali kamu buat masalah di sini?"

"Aku nggak sengaja, Ma."

"Bohong, Ma. Jelas-jelas dia sengaja tumpahin jus aku," adu Kinan.

Firen akhirnya pasrah, mau melakukan pembelaan pun ia tidak bisa. Bukannya tidak bisa, tapi tidak akan ada yang percaya.

"Malam ini kamu nggak dapat jatah makan!"

Ucapan sang mama membuat Firen menunduk dalam, tangannya perlahan menuju ke arah perut lalu mengelusnya pelan.

Malam ini dia tidak akan dapat makan dan semoga cacing-cacing di perutnya bisa diajak kompromi.

"Bersihin lagi tuh meja!"

"Kerja yang bener!" sambung Kinan.

Kinan pun berlari ke arah mamanya dan lagi-lagi memeluk sang mama. Lalu mereka berdua pergi meninggalkan Firen sendiri yang hanya bisa memeluk dirinya sendiri.

Setetes air mata berhasil terjun dari kelopak mata Firen, tapi secepat mungkin ia hapus. Sesak di dadanya semakin menjadi-jadi. Firen hanya bisa memukul pelan dadanya, berharap sesak itu bisa hilang. Namun nihil.

Andai saja sang ayah masih hidup, pasti beliau akan membela Firen. Namun sayang, sejak kecelakaan maut merenggut nyawa sang ayah, sejak itu juga Firen merasa rumahnya seperti neraka.

"Sebenarnya aku anak mama atau pembantu sih?" batin Firen.

"Kenapa kak Kinan diperlakukan seperti ratu sedangkan aku seperti pembantu?"

🟡🟡🟡


Kasih Firen semangat dong.

Udah vote kan?
Makasiii buat yang udah vote

Lope sekebon 😳

See you next chapter!


Salam hangat,
Fuji

Glow Up With Youحيث تعيش القصص. اكتشف الآن