Bab 18. Upil Bermasalah

Start from the beginning
                                    

"Aduh, Bapak kenapa, sih? Kayak orang cemburu aja, siapa juga yang jadiin Bapak pelarian? Saya malah lebih suka lari dari Bapak." Aluna mengusap kepala, kalau masalah menyiksa seseorang Garda lah rajanya. Apa saja, deh. Dirinyalah mahasiswa lemah dan penuh kesalahan di mata Yang Mulia Agung pak dosen. Ibaratnya, bak upil nyempil di batu berlian, nggak guna banget, kan?

"Saya cemburu? Ya, jelas. Kamu pikir saya ini apa?"

Aluna jadi merasa bersalah, ia tidak tahu kalau malah berakhir begini. "Maaf, Pak. Saya nggak tahu kalau Bapak sebegitu ingin jadi sodara saya. Saya jadi sedikit lega ternyata Bapak anggap saya adik ketimbang yang lain."

"Nah, sekarang kamu bicara apa?"

"Tenang, saya akan anggap Bapak sebagai abang. Abang angkat ketemu gede, gitu, kan?"

"Jangan bercanda."

"Iya, saya serius. Sudah, jangan terharu gitu, dong, Pak."

"Bara bilang kalian pacaran dan melarang saya mendekatimu."

"Heh? Kok gitu? Bapak percaya gitu? Hahaha."

Pegangan Garda luruh, mundur hingga punggungnya menyentuh tembok. Ia memijat pelipisnya, terbayang hal konyol apa saja yang ia perbuat akhir-akhir ini. Secara terang-terangan menantang Bara tapi malah jadi bumerang begini. Gimana coba ia bakalan minta restu? Canggung dan malu pasti kentara ia rasakan.

"Pak? Nggak papa?"

"Saya butuh pelukan." Jiaah, bisa saja dospret gombal merempet modus. Otomatis Aluna meloncat sembari memasang kuda-kuda, takutnya ada serangan mendadak.

"Ingat diri, Pak. Ini kampus, loh. Bukan tempat tertutup di mana orang bebas mengumbar tindak keuwuan. Hargailah kami para jomlo kompeten."

"Kalau begitu satu kecupan?"

"Busyet, kok malah makin aneh. Modus Bapak udah kebangetan, ini."

"Kamu nggak tahu jadi saya." Garda merentangkan kedua tangannya, berharap Aluna peka dan mau mendekat.

"Iyalah, kan beda posisi. Jangan berandai-andai, Pak. Bersyukur aja masih dikasih nyawa."

"Saya kira kamu sungguhan ada main sama Bara. Terang-terangan dia bilang kalian tidak bisa dipisahkan bahkan jika saya jadi orang ketiga."

Aluna terbahak, ia paham sikap cemburuan Bara. Bukan sebagai pria tapi seperti sosok ayah yang belum siap ditinggal nikah putrinya. "Haha, serius? Mas Bara bilang gitu? Aw, makin sayang sama mas, deh."

"Katanya dia tidak suka saya dekat denganmu. Saya kayak orang aneh yang suka sama anak kecil, pedofil gitu? Aneh."

"Wah, kalau begitu sudah jelas jawabannya, dong."

"Kenapa kamu menyimpulkan sendiri?"

"T-terus? Sudah jelas sekali, kalau mas Bara nggak setuju. Saya bisa apa?"

"Banyak, sangat banyak kalau kamu mau mencobanya." Duh, firasatnya tidak enak.

"Astaga, berilah saya kesempatan buat napas lega bentar. Lagipula saya nggak yakin, deh, Bapak serius. Maksudnya, dengan kondisi Bapak yang sudah matang dan kayaknya mapan, harusnya bukan perempuan labil seperti saya yang di pilih. Jangan-jangan Bapak mau mainin hati saya kayak kebanyakan cowok? Ingat umur, Pak."

"Jangan sembarangan bicara. Terus? Saya harus menjelaskannya panjang lebar begitu?"

Aluna mengangguk, bagaimanapun jawaban Garda. Ia tetap akan menolaknya, anggap saja seperti senjata makan tuan.

"Baik, langsung ke rumah saja kalau begitu."

"Hah? Rumah siapa? Jangan gila deh, Pak."

"Kamu sendiri perlu bukti, kan?"

Keep Your SmileWhere stories live. Discover now