Bab 12. Kapan Nyambung?

452 95 8
                                    


Mau secakep atau sekaya apapun kamu, kalau attitude-mu di bawah rata-rata. Tak heran kalau banyak yang menendangmu.

-Katanya-


Garda merenggangkan badannya, ototnya yang terasa kaku mulai melemas dan melegakan. Lirikan matanya pada jam dinding makin menambah kesan beban kehidupan yang ia miliki. Perut lapar, kepalanya pusing, dan matanya juga terasa lelah juga merah. Tengah malam memang bukan waktu yang bagus untuk makan malam, ia perlu asupan bergizi.

Apa yang diharapkan jauh dari kenyataan. Tak ada makanan matang, masih bahan belum diolah. Tak ada pilihan lain, mie instan tetap jadi pilihan walaupun ada buah-buahan segar. Mungkin ia sedang dalam bernostalgia secara tak sadar. Bersyukur sajalah, ia masih bisa makan ketimbang mereka yang kelaparan.

Entah kapan kiranya ia merindukan suasana di mana dirinya bersama rekan-rekan turun ke jalanan, menggalang dana dan membagikan makanan pada mereka yang kelaparan. Musibah banyak mengajarkan arti kehidupan padanya.

"Paman? Udah bangun?" Si kecil masuk ke dalam, ikut melihat layar yang menjadi fokus Garda. Jangan bayangkan kalau tingkah ponakannya bakalan anteng dan bersikap manis. Lembar tugas mahasiswa yang belum ia masukan nilainya sudah bercoretkan krayon warna-warni. Bahkan ada yang sobek.

"Tata, main di luar dulu, ya. Paman masih sibuk, belum bisa main bareng. Ayah ke mana?"

Bocah perempuan dengan rambut kepang dua itu menggembungkan pipinya, tanda sedang merajuk. Membuang muka seperti biasanya, Garda menghela nafas berat. Ia akan meminta kompensasi pada orang yang membuatnya kerepotan. Badan kecil itu terangkat, seulas senyum kecil langsung terbit. Tertawa gembira sembari menyuruh Garda menuju tiap kamar, mencari sosok yang harusnya bertanggung jawab pada Tata.

Begitu ketemu, Garda mengangkat Tata dan menurunkannya tepat di dada abangnya. Si kecil itu begitu aktif menepuk dan mencengkram rambut ayahnya, tanpa sadar kebrutalan itu sudah menjadi hal menyenangkan baginya.

"Aw, ampun, Yang Mulia. Bukankah ratu kita akan bersikap bijaksana hari ini?"

Tata menggeleng, turun dari kasur dan berlari keluar. Mungkin akan menemui sang ibunya yang baru datang sehabis berbelanja dari pasar.

"Bangun, Bang. Jangan jadi beban keluarga, ada anak dan istri, loh."

"Siapa yang parasit keluarga? Kerja dari rumah bukan pengangguran tapi freelancer, ya." Meski ogah-ogahan, ia tetap mencuci wajah dan gosok gigi meski tidak mandi seharian. Nggak papa lah, trik kecil supaya bisa lepas dari jeratan si kecil.

Garda angkat tangan kalau sudah membahas betapa malasnya saudaranya, tapi biar begitu ia juga tidak akan asal menganggap Satria adalah beban keluarga. Yang bahkan sekolah menengah atas pun tidak tamat. Kalau berbicara perkara dunia kerja, memang yang dibutuhkan adalah sertifikat, ijazah, orang dalam, dan skill. Kenapa poin utama malah berada diurutan akhir? Karena memang begitulah kenyataannya. Bermodalkan niat, tekad, dan kemampuan, nyatanya membuat Satria berhasil menjadi manusia berguna.

Pada suatu kondisi ketika perekonomian keluarganya turun dan diambang bangkrut, Satria masih bisa memberikan uang bulanan untuk keluarga dan biaya sekolah Garda. Meski hanya sebentar, karena Garda menolak dikasihani dan lebih memilih jalan terjal, mencari nafkah mandiri.

"Gar, gue ada job, nih. Dosen merangkap joki di univ berbeda. Lu tinggal ngoding dikit aja, gampang, kan? Gila. Keren nggak, tuh?"

"Keren. Saking kerennya, jabatan adik ku sendiri bakal dipertaruhkan dan beban keluarga bakalan bertambah."

Satria terbahak, mengekor hingga tiba di ruang makan. Keluarga tercinta sudah duduk berhadapan, Tata juga sudah rapi dengan seragam merah-putih yang tengah makan dipangkuan kakeknya.

Keep Your SmileWhere stories live. Discover now