Bab 17. Menuju Kejelasan

389 93 10
                                    

Hari ini kalian adalah pahlawan untuk dirimu sendiri. Sudahkah kamu paham menjadi pahlawan diri sendiri?

-Bara Dirgantara-

-Bara Dirgantara-

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.






Badan mungil itu terlihat rapuh, mencoba meraih gelas dalam laci lemari. Badannya terasa panas, mungkin ini akibat dari pulang hujan-hujanan kemarin. Setelah mengukur suhu badan dan meminum obat, ia kembali ke sisi ranjang. Setengah jam lagi Danu mungkin akan datang, membawakan makanan atau mungkin obat lainnya.

Ketukan pintu kamar membuat Ciko terpaksa bangun sebentar meski sangat lemas. "Masuk aja," sahutnya pelan. Belum sanggup bersuara lantang seperti biasanya.

"Munah! My bestie." Meski bukan pacarnya yang datang, ia tetap bersemangat karena wanita yang berdiri di sana adalah teman baiknya. Monatta Kinanti, lebih akrab dipanggil Munah sebagian orang jahil seperti Ciko.

"Hilih, nggak usah sok baik. Nih, makanan sehat, sepuluh sempurna. Kalau sakit kan gue juga yang repot." Ah, biarpun perkataan temannya rada-rada nyesek, semua itu terbayarkan dengan masakan yang dibawa untuknya. Ia memang tak begitu selera jika masakan yang itu-itu saja, beda lagi kalau masakan Munah, teman baiknya. Biar cuma telur ceplok juga rasanya beda. Entah apa resepnya, kapan-kapan ia akan minta resep.

"Udah minum obat?" Ciko mengangguk, meminum susu murni yang dibawakan Munah. Sisi keibuan Munah itulah yang sangat membuatnya nyaman berdekatan meski kadang cek-cok tidak jelas hanya karena beda pendapat.

"Gue nggak bisa lama di sini, nanti malam gue nginep, deh. Kasihan juga lo, kalau udah sekarat sendirian nggak ada yang bantuin. Sekalian, deh, gue bawa buku yasin kalau-kalau lo mau koit." Beda orang, beda juga perilakunya. Ciko gampang baper dengan Munah, sosoknya benar-benar seperti seorang ibu saja. Lupakan masalah badan bongsor Munah yang seperti ibu-ibu beranak dua, temannya itu sudah sangat menjiwai peranan seorang ibu yang sangat ia rindukan.

"Jangan nangis kalau minta temenin, urgent banget, nih." Bagaimana ia tidak baper dan mewek, sikap hangat Munah sangat menggetarkan hatinya. Kepalanya diusap pelan dan kompresnya juga diganti.

"Mun, cuma lo yang pantas jadi emak angkat gue. Coba aja lo terima lamaran om Bakti, makin sejahtera hidup gue jadi anak angkat kalian. Lo ke-emak-emakan sedang si om duda tajir, nikmat mana lagi yang gue dustakan?" Tanpa ragu, betis gempal itu menendang badan kurus Ciko hingga terpental. Ya, ampun, sakit juga punya emak angkat tenaga gajah. Nggak ngotak, memang.

Meski kawannya itu obesitas sampai ke masalah ekonomi, nyatanya Ciko kalah telak setelah melihat langsung ada yang naksir temannya. Ganteng dan mapan, dua hal yang diprioritaskan kaum hawa dalam memilih tipikal pasangan. Sayang saja, padahal si om sudah mengumbar cinta dan kode pada Munah tetap di tolak karena alasan nggak suka daun tua dan masih terlalu dini untuk menikah.

Keep Your SmileWhere stories live. Discover now