Chap. 30

1.5K 171 8
                                    

Naruto, Hinata dan Boruto berada di Tokyo Hospital. Mereka masih duduk di ruang tunggu tepat di depan ruang operasi. Lampu di atas pintu ruangan itu masih menyala pertanda operasi pengangkatan peluru di tubuh Shion masih berlangsung.

"Ayah, apakah ibu baik-baik saja ?" tanya Boruto sedih. Ia sesenggukan karena di depan kedua matanya sang ibu tertembak.

Naruto mendesah napas panjang. Ia senang karena Hinata dan Boruto sudah kembali. Di satu sisi, mantan istrinya berkorban nyawa untuk putranya. Hinata hanya bisa menemani kedua sosok laki-laki berbeda usia yang tampak rapuh itu.

"Semoga ibumu baik-baik saja,nak.." Naruto tersenyum tipis seraya membelai helaian pirang putranya yang berada di dalam gendongan Hinata. Walau tampak frustasi, pria itu berusaha untuk tampak tegar di depan putranya.

"Doakan saja. Semoga ibumu cepat membaik, Boruto," kali ini Hinata memberi semangat ke Boruto, ia menangkup pipi gembil Boruto agar menghadap ke netra rembulan miliknya.

"Semua akan baik-baik saja. Percayalah," ujar Hinata lembut yang dibalas anggukan lemah oleh Boruto. Bocah pirang itu menenggelamkan wajahnya di dada Hinata. Karena disitulah terdapat rasa nyaman yang sulit untuk terbantahkan.

Dua sosok wanita berambut merah sepunggung berjalan tergesa-gesa dari ujung koridor rumah sakit menuju kursi tunggu yang sedang diduduki oleh putra, calon menantu dan cucunya.

Setibanya di tempat,"Ada apa ini, Naruto ?" cecar Kushina penasaran, ia menyampirkan kacamata hitamnya di atas kepala. Kushina dan Saara tahu karena Naruto yang memberi tahu lewat telpon di rumah sakit, bahwa ia sedang berada di sana. Saara panik melihat sang kakak yang tidak kembali ke kantor hingga menjelang sore tanpa adanya kabar. Pria bermata biru itu belum menceritakan detailnya kepada sang ibu.

"Shion tertembak, bu. Ia mengorbankan dirinya untuk Boruto," lirih Naruto, suaranya terdengar parau. Sebagai pria dewasa dia terlihat payah dan tak berguna sama sekali. Bahkan ia tak bisa melindungi orang-orang yang dicintainya.

Kushina dan Saara terbelalak bersamaan, terkejut sekaligus terselip rasa penasaran,"Siapa yang menembaknya, Naruto ?"
Tanya Kushina, deru napasnya mulai meningkat. Tak sabaran.

"Mantan suamiku yang menembaknya, Nyonya Kushina. Maafkan aku, jika aku tidak..." sela Hinata. Tapi ucapannya dipotong cepat oleh Naruto.

"Berhentilah menyalahkan dirimu sendiri, Hinata,"tolak Naruto. Air mata sudah turun di pipi tannednya, ia menoleh dan menatap sedih sekaligus tak suka ke arah Hinata. Tak suka ketika wanitanya menyalahkan dirinya sendiri. Hinata membeku sejenak, lidahnya terasa kelu untuk menceritakan kronologi peristiwa ini secara detail.

Naruto menghela napas panjang dan mulai menceritakan segalanya,"Toneri dan Shion bekerja sama untuk menculik Boruto. Ia akan menyerahkan Boruto jika aku menukarnya dengan Hinata. Ternyata Toneri membawa senjata dan..ia ingin membunuh Boruto, bu..Tapi Shion menjadikan tubuhnya sebagai tameng untuk melindungi Boruto," papar Naruto, suaranya masih terdengar parau.

"A-apa ? Membunuh Boruto ?" kali ini Kushina menganga tak percaya, ia terduduk lemas di kursi tunggu. Sungguh, ia tak percaya bahwa penculikan cucunya sampai sejauh ini. Dan Shion sendirilah yang mengorbankan nyawanya untuk melindungi cucunya, ibu kandung Boruto yang sangat dibenci olehnya.

Melihat sang bibi yang tampak syok. Saara mendekati sang bibi dan menenangkannya. Wanita cantik itu mengusap usap lengan wanita paruh baya itu.

"Kak, apakah kau sudah melapor ke polisi ?" tanya Saara, ia menatap safir biru Naruto.

"Sudah, Saara," balas Naruto pelan. Ia menunduk menyembunyikan luka hati dan kesedihannya.

Tiba-tiba lampu ruang operasi meredup. Keluarlah seorang dokter cantik yang tak lain adalah Sakura. Teman saat masih sekolah Naruto dan Hinata. Sepasang kekasih itupun berdiri,"Bagaimana, Sakura ?" tanya Naruto tergesa, perasaan di dadanya kian berkecamuk. Terlebih lagi melihat ekspresi Sakura yang tampak lesu.

Never Say Goodbye (End) √Where stories live. Discover now