Bab 17. Menuju Kejelasan

Začít od začátku
                                    

Munah bangun, mengambil tasnya sebelum beranjak keluar. "Nyesel banget gue khawatir sama nih anak, tahu gini mending lanjut gunting kardus." Setahu Ciko, Munah itu kreatif. Suka bikin resep baru atau hal ajaib dan bisa menghasilkan uang dari ide gilanya.

"Dadah, Mun. Jadi ya, lo nginep! Jangan ajakin si om, takut doi berulah haluan, kan gue nggak bisa nolak, mana lemas banget lagi." Timpukan bantal ia dapatkan lagi sebelum pintu kamar dibanting kencang. Astaga, untung nggak rusak. Kalau rusak kan, butuh biaya buat perbaikan. Mana udah hampir akhir bulan lagi.

Ah, sepi lagi. Tinggal sendirian memang tidak seramai tinggal bareng keluarga besar, tapi dikunjungi beberapa orang terdekat juga sudah syukur, kok. Setidaknya masih ada yang benar-benar peduli dengannya, bukan seperti orang itu.

"Bae, badanku rasanya mati rasa. Gerakin jari juga susah." Tiba-tiba saja ia ingin bermanja-manja, tak salah, kan?

"Kalau sudah separah itu, ada baiknya baiknya kamu ke dokter," ucapnya khawatir, memegang pengatur suhu badan yang sudah dikempit Ciko. Suhunya sudah agak turun, walau begitu ia akan membawa Ciko berobat total.

"Kalau dokternya ganteng baru aku mau. Canda, bae. Mukanya biasa aja, dong."

"Memang, ya, definisi kawan sejati itu rada beda. Eh, To, seblak gue jangan dimakan. Gimana, sih? Ngasih kok, diambil lagi. Nggak ikhlas banget."

"Ya, gimana ya, Cik. Kita kan, teman baik lo. Susah senang juga kita ngikut, kalau lo sakit ya kita sama. Makanya kita makan supaya lo bisa kenyang tanpa repot makan."

"Betul, temanku yang lain juga ikut besuk kamu, Ciko." Lah? Ini kenapa berubah genre, sih? Dari Comedy ke horror-thiller itu nggak masuk akal. Mana ada yang terima cerita gaje beraroma kebucinan alai ini berpindah haluan menjadi kisah berdarah-darah? Ciko dan kegilaannya tidak terima akan hal itu.

"Gila, demi apapun tolong suruh pergi mereka bisa nggak? Jangan sampai mereka nyarang di sini dan suka nongol tiba-tiba." Masa sembuh dari demam malah sakit jiwa? Nggak etis banget.

"Tenang saja, mereka bakalan pulang kok. Tapi, ada satu yang nggak bisa pergi." Acungan jempol Yanto melemas, kemudian menadah ke atas. Baik Ciko dan Aluna bersama menengok dinding yang kosong, beda halnya di mata Yanto.

"Kenapa?" tanya Aluna takut-takut, berpegangan tangan Ciko yang berkeringat dingin.

"Dia udah lama ada di sini, sebelum bangunan ini ada. Mungkin selagi tempat ini masih hutan belantara."

"Ya, ampun, Lun. Bawa pulang teman indigo, lo, nih. Minggir bisa nggak? Ini tempat udah sempit, ya. Makin sempit kalau kalian yang rebahan di kasur tipis gue."

***

Ia menopang wajahnya sebelah tangan, melihat dari atas pada satu objek yang akhir-akhir ini mencuri perhatiannya. Bukan ia tak bisa melihat bagaimana interaksi dua orang itu, mungkin segerintil orang menganggap biasa saja. Tapi, ia yakin kalau bukan cuma sebatas itu saja.

Kalau sudah sesuka itu, mana mungkin ia menyerahkan. Lagi pula, selama janur kuning belum melengkung, kesempatan membacok terbuka lebar. Usaha dulu, urusan hasil mah belakangan. Ia belajar hal tersebut dari Satria, sebagai saudara kandung yang nekat memacari tunangan orang lain. Eh? Jadi, bakat orang ketiga itu malah menurun padanya?

"Pak Garda! Beruntung banget saya ketemu Bapak di sini." Napasnya tersengal, meski badannya belum pulih betul, semua ini ia perlu lakukan demi masa depannya.

Garda menghela napas berat, tak jauh berbeda dengan para mahasiswa sana yang mengeluh beban sepertinya. Habis sudah masa damainya, untuk inilah ia sekarang mengerti betapa menderitanya gurita yang bertetangga dengan spon kuning dan bintang laut. Tangannya menyimpan kembali sebatang rokok ke dalam kantong. "Kenapa?"

"Begini loh, Pak. Nilai saya kemarin beneran nggak salah coret? Mungkin nilai D itu bisa diperhalus jadi C?" Sebenarnya, Ciko menanyakan dan memohon lewat chat pribadi. Sayangnya cuma diread , doang. Sakit, sih, tapi lebih dominan ke bencinya.

"Kenapa begitu? D, itu kan berharga."

"Hah? Bagaimana, Pak?" Tenang, korek lubang hidung dulu, kali aja ada kerak nasi yang nempel.

Garda melangkah, mensejajarkan posisinya. Menepuk pelan bahu kanan Ciko, seakan memberikan ketabahan. "Diamond, mahal itu. Jaga baik-baik."

"T-ttunggu, bentar, Pak. Perbaikan nilai, apapun akan saya lakukan. Tolong, Pak. Uts dadakan atau kasih saya tugas kayak Aluna juga boleh. Bapak mau saya sujud di sini juga boleh. Itu nggak bisa diganggu gugat lagi, Pak? Salah saya apa?"

"Sudahlah, saya capek mikirin nilaimu."

"Tapi, saya enggak, Pak. Saya peduli, C minus juga nggak papa, deh."

"Tenanglah, Ciko. Coba kamu ambil sisi positifnya, berpikiran negatif itu nggak bagus buat kesehatan jiwa. Nilai D itu, setidaknya lebih baik dari E, bukan?"

Punya dosen kok gini amat, ya?

"Bunuh, saya, Pak!" Rasanya ia ingin menangis tanpa air mata. Iya, pura-pura.

"Oke."
Ciko menadah bingung, semakin kebingungan kala melihat jemari setengah digenggam itu membentuk seperti pistol. Satu gerakan dan ucapan layaknya seorang hitman siap melancarkan misi rahasianya.

"Dor!"

Konyolnya, Ciko malah memegang dadanya dengan ekspresi terkejut seakan tak percaya lalu terjatuh bak sebuah mayat tak berharga. "T-ttunggu, pembalasanku, Lucifer." Maklum saja, ia mantan anak teater. Drama sudah menjadi makanan sehari-hari meski tidak begitu sehat.

"Ya, ditunggu," balas Garda melewati mayat Ciko. Sementara itu, di belakang mereka ada beberapa saksi yang diam-diam memperhatikan.

"Itu, kakak tingkat, kan?" bisiknya pada yang lain.

"Iya, sama dosen galak. Kok mereka bisa gitu, sih?" sahut salah satu diantara ketiganya, dilihat dari tampang lebih cerahnya. Sepertinya mereka mahasiswa baru, yang belum semenderita kakak tingkat dan mahasiswa super telat lulus.

"Sstth, mending kita pergi sebelum kena masalah." Ketiganya menuruni tangga, membatalkan niat melewati mayat yang tergelatak sendirian.

Hening sejenak, Ciko masih tetap dalam posisi nyamannya sebagai mayat. "Hei, mayat, bangun. Jadi perbaikan nilai, tidak?"

Mata yang semula terpejam, kini memancarkan aura ceria dan ekspresi bahagia seakan berhadapan dengan malaikat maut. "Eh? Sungguhan? Demi Tuhan, ternyata Bapak baik banget." Andai, dari tadi bilangnya.

"Tapi bo'ong, dor!"

Ternyata rebahan di lantai penuh debu gini asik juga. Adem, gitu, lantainya sejuk. Sesejuk pertandingan bola dunia di menit terakhir. "Gabut, amat, Pak."

Suara tawa dari belakang, membuat keduanya menoleh. Bara berdiri tegap, tawa lebar itu hampir saja membunuh perasaan cintanya Ciko. Aw, tawa orang ganteng memang beda. Kayak ada manis-manisnya gitu, seperti teh botol yang ada badaknya. Pas dikantong sesegar lemon fanta yang kena selebrasi terasi udang dan kecap asin logo ikan. Ah, kenapa nggak nyambung, sih?

"Gar, bisa bicara sebentar?"

"Tentu."

"Oh, Tuhan. Otak gue traveling, dua dosen ganteng gue mau ngobrol berduaan, gue malah kegirang-"

"Sebelum itu, ada baiknya mayat ini dibuang sebentar."

"Setuju."

"Eh? Masih lanjut aktingnya? Eh? Pak, jangan bunuh saya beneran. Khusus Pak Bara, bunuh saya dengan cinta anda, Pak."


****

TBC.

Thanks for vote and comment.

Post : 05-02-21

Written by : Arbayahs

Keep Your SmileKde žijí příběhy. Začni objevovat