Jungkook menghela napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan seraya mengangguk kendati ragu. "Aku tidak begitu yakin kami bisa bersikap seperti lima belas tahun lalu."

Yeji bisa mendengar suara kecewa dari suara lelaki muda di sampingnya. Namun tatapan Jungkook kian melembut seolah hatinya baru dicairkan sesuatu yang lebih panas dari solder.

"Lima belas tahun," Jungkook mengangkat pundak, "mungkin lebih atau kurang, tetapi aku tidak tahu bagaimana harus bicara padanya setelah lebih dari sepuluh tahun. Kami tidak pernah benar-benar berbicara kecuali malam itu, saat kau ada di sana melihatnya. Aku selalu menolak berbicara dengannya, aku berteriak, dan memaki sesukaku. Meski begitu aku tidak tahu apa yang membuatnya selalu kembali."

"Kau berharap dia pergi dari sisimu selamanya?"

Satu pertanyaan ringkas itu membuat Jungkook terdiam lama. Harapan yang sempat terlintas di benaknya berkali-kali mendadak menjadi keinginan paling tolol yang pernah dia pikirkan. Jungkook memang membenci ibunya. Tetapi ketika benci itu sebanding dengan rasa cinta, bagaimana caranya agar bisa melepaskan seseorang dengan mudah?

"Sudah lebih dari sepuluh tahun dan aku belum tahu apa yang sebenarnya menjadi beban. Aku tidak pernah berhenti membandingkan hidupku saat bersamanya dan hidupku tanpanya." Jungkook menendang kerikil kecil di depan kakinya. "Aku cuma terus bertanya-tanya kalau dia masih ada, bagaimana hatiku sekarang."

"Kau merindukannya?"

Jungkook tidak lekas menjawab. Ia menggosok tengkuknya gelisah dengan tangan lainnya yang tidak memegang kaleng. Apakah ia merindukan wanita itu? Jungkook tidak tahu. Ia hanya terus berharap andai hari itu tidak pernah datang maka dia bisa mengatakan ia merindukannya ibunya.

Menggeleng lalu mengedikkan bahu, hanya itu yang bisa Jungkook berikan. "Aku tidak tahu, Song Yeji."

Lima belas tahun dan ia terus bertanya-tanya apakah ia marah? Jawabannya tentu tidak. Jungkook hanya merasa kecewa yang luar biasa hingga tidak bisa mengatakannya. Dan sudut relung hatinya membisikkan, ya, dia merindukannya ibunya.

"Aku hampir tidak pernah membagikan pikiran jujurku pada siapa pun, termasuk ayahku. Tapi, Yeji, terima kasih mau mendengarnya."

Pengakuan Jungkook membuat Yeji merasa lelaki itu tidak seburuk perangainya. Jungkook hanyalah pemuda manis yang dipaksa melihat realita mengerikan dunia lebih cepat di usianya.

"Tanganmu bagaimana?" tanya Jungkook tiba-tiba.

Yeji berkedip tersadar, dan mengangkat tangannya sejajar perut yang sudah tidak lagi tertutup wristband kuning pemberian Jungkook kemarin. "Lumayan. Aku sudah berusaha tidak melakukannya beberapa minggu ini jika cemas. Thanks, akan kukembalikan wristband-mu."

"Tidak usah, Yeji. Sengaja kubeli untukmu."

"Oke. Thanks."

"Temanmu bagaimana?" tanya Jungkook lagi. Sedikit melirik Yeji yang sedang merapikan rambut pendeknya karena angin.

Yeji meneguk lebih dulu minumannya dan mengeluarkan suara ah panjang dengan puas. "Dia mengirim pesan padaku. Memang dia yang melakukannya. Dia masuk ke dalam komunitas Mukbang. Sepupunya adalah BJ mukbang juga. Kebetulan kami tidak dekat, dan boleh kubilang kami bersaing. Mungkin itulah kenapa mudah baginya menyebar identitas asliku dan aku sudah tidak punya satu pun masalah dengan Kwon Mina. Kami sudah baik-baik saja asal dia berhenti mengangguku."

"Jadi...?" Jungkook menanggapi teramat berhati-hati. Takut membuat Yeji sedih atau marah.

Yeji meletakkan kalengnya di atas kap mobil dan memasukkan kedua tangannya ke masing-masing kantung jaket jinnya. "Selesai," katanya ringan. Terlalu singkat untuk informasi yang butuh banyak penjelasan.

StreamingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang