BAB 5

59.8K 7.2K 101
                                    

Hugo Damarion de Grissham. Pangeran dari Kekaisaran Grissham yang terkenal dengan kedamaiannya. Hugo adalah seorang anak laki-laki, yang hidup dalam peraturan.

Ia bagaikan seekor burung gagak yang terkurung di dalam sangkar emas. Semenjak masih kecil, Hugo selalu dikekang oleh Ratu. Ia harus melakukan itu dan ini, sesuai dengan perintah ibunya. Hugo seperti boneka berjalan, ia tak tau harus apa dan kemana, ia tak punya tujuan.

Suatu hari, ibunya mengajak Hugo berkunjung ke kediaman keluarga Caldwell. Di sana ia bertemu dengan gadis kecil berumur empat tahun yang sangat cantik. Hugo tak bisa melepas tatapannya dari gadis kecil tersebut. Hugo akhirnya tau bahwa nama gadis itu adalah Alyena, nama yang cantik.

“Pangeran, lihat bunga itu sangat cantik bukan?” Tunjuk Alyena kearah sekumpulan bunga Lavender. “Aku ingin menjadi bunga itu! Bunga itu sangat anggun,” Lanjutnya, Alyena menebarkan senyum indahnya.

Untuk pertama kalinya, Hugo tersenyum tulus, ia merasa seperti hidup …. lagi. Mereka berdua mulai tertawa bersama, bercanda, dan bermain bersama.

***

Setelah kejadian kemarin, kamar Alyena dipenuhi dengan hadiah dimana-mana. Hadiah dengan stempel Kerajaan. Tak lupa dengan surat yang tertumpuk di meja. Surat undangan pesta minum teh, lagi. Entah bagaimana orang-orang bisa tau tentang pertunangan Alyena dan Hugo. Alyena tak terlalu memikirkannya, ia sedang merasa bosan saat ini.

“Apakah pelatihan Ratu akan membosankan,” Monolog Alyena. Tak lama lagi, Alyena akan tinggal di Istana Dahlia, tempat seorang Putri Mahkota dan calon Ratu tinggal. Ia akan meninggalkan Kediaman Caldwell dan mendapatkan pelatihan khusus untuk calon Ratu Kerajaan Grissham.

“Bagaimana jika Hugo jatuh cinta kepada Sophia, sia-sia dong pelatihanku di Istana Dahlia nanti,” Tutur Alyena sambil mengusap wajahnya pelan.

Tok … tok … tok

“Nona, ini saya, Grace,” Sahut Grace dari balik pintu. Alyena mengalihkan pandangannya kearah pintu dengan tatapan jengkel. “Masuk,” Ucap Alyena.

Grace membuka pintu, ia perlahan masuk sembari membawa sebuah nampan berisikan sebuah pancake dengan stroberi dan madu di atasnya. Alyena yang tadinya malas, kemudian bangkit dari kasurnya dengan penuh semangat.

“Hati-hati, nona,” Ujar Grace sambil menutup pintu. Alyena duduk di kasurnya dengan tenang, mengembangkan senyum gembiranya yang tak tertahankan lagi. Grace mendekati ranjang Alyena, kemudian mengambil meja kecil dan meletakkannya di depan Alyena yang sedang terduduk manis.

Grace juga meletakkan gelas yang berisi susu di meja, agar tidak tumpah. Alyena menaruh sapu tangan berwarna merah muda di pangkuannya. Ditatapnya makanan itu, Alyena mengambil garpu dan pisau, memotong sebagian pancake dan memakannya bersamaan dengan sebuah stroberi segar.

“Nona, Ratu mengundang anda untuk datang ke Istana,” Ucap Grace disela-sela kegiatan makan Alyena.

“Hah?” Sahut Alyena memiringkan kepalanya.

“Ya, Nona. Anda diharapkan datang ke Istana, sore ini,” Lanjut Grace dengan santai. Alyena mengerucutkan bibirnya, untuk apa dia diundang ke Istana. “Baiklah,” Ucap Alyena malas.

“Anda akan dijemput dengan kereta kuda Kerajaan.” Alyena manggut-manggut mengiyakan Grace.

***

Kereta kuda berwarna putih dan emas, terparkir di depan pintu utama Mansion Caldwell. Seorang kesatria berdiri tegap di samping kereta kuda, menunggu kedatngan Alyena.

“Alyena, ibu tidak bisa menemanimu, maaf. Bersama dengan Grace tak apa ‘kan.” Grand Duchess mengusap kedua pipi kembung Alyena. Alyena mengangguk dan tersenyum kaku. Alyena hanya akan berbincang dengan Ratu, pelatihannya akan dimulai dua hari lagi.

Grand Duchess sangat ingin menemani putri kecilnya, sebentar lagi ia akan berpisah dengan Alyena, dan kemungkinan untuk selalu bertemu itu kecil.

Grand Duchess mencium kening Alyena, semburat merah menghiasi pipi putihnya dengan sempurna. Sejujurnya, saat menjadi Agatha, ia tidak pernah menerima kasih sayang seorang ibu lagi, setelah ibu kandung Agatha meninggal saat ia masih kecil. Merasakan kehangatan seperti ini, membuat Alyena tak bisa menahan debaran jantungnya yang begitu kencang.

“Ayo, Yang Mulia pasti sudah menunggumu.”

Grand Duchess berdiri, ia menggandeng tangan Alena dengan lembut, mengantarnya menuju kereta kuda yang sudah terpampang jelas. Kesatria dengan aura maskulin itu membantu Alyena masuk kedalam kereta kuda disusul oleh Grace dengan pakaiannya yang rapi.

Tak lama, kereta kuda itu mulai berjalan menjauh dari Kediaman keluarga Caldwell.

***

“Pilih saja gaun yang kamu mau, Alyena,” Ujar Ratu yang sedang sibuk memilih baju. Alyena datang saat gaun-gaun yang Ratu pesan baru saja datang.

“Tidak, Yang Mulia.” Balas Alyena tak minat. Gaun-gaun yang sangat glamour, sangat menarik mata seorang Alyena. Kalau saja, ia tidak berada di depan Ratu, Alyena pasti akan memborong semua gaun itu.

“Ibu-“ Terdengar suara anak laki-laki di dekat pintu. Semua pergerakan terhenti, semua orang menatap Hugo yang berdiri diambang pintu. Hugo hanya bisa bingung setengah hidup, tak tau harus apa.

“Hugo! Ajak Alyena bermain, dia terlihat bosan berada di sini.” Ratu mengibaskan tangannya pelan, Hugo tak bisa menolak senyum milik ibunya dengan mudah. “Baiklah,” Ucap Hugo.

Hugo berjalan mendekati Alyena, mereka saling menatap cukup lama. Mungkin orang-orang menganggap itu merupakan hal yang romantis, kecuali untuk Alyena, bertatapan dengan malaikat mautnya sangat mendebarkan.

Hugo menarik tangan Alyena, membuat Alyena seketika berdiri dari kursinya. Mereka berdua meniggalkan ruangan pengap tadi dan berjalan menuju pintu Istana. Perbedaan tinggi mereka sangat terlihat, tinggi Alyena hanya sampai leher Hugo.

Alyena terlalu lama menatap Hugo, entah ia risih atau apa, Hugo memberhentikan langkahnya. Ia menoleh kearah Alyena, menatapnya lekat-lekat. Menelusuri setiap inci dari tubuh Alyena yang mungil.

“Kau tak apa?” Hugo menatap Alyena khawatir. Alyena toleh kanan dan kiri, di sini hanya ada mereka berdua, Hugo berbicara dengan siapa?

“Aku?” Tunjuk Alyena pada dirinya sendiri, Hugo terkekeh geli. Alyena tersentak, bocah ini baru saja tertawa? Alyena mulai merasa adanya kejanggalan di sini. Ia tidak sedang bermimpi kan? Kemana Hugo yang katanya sangat dingin bahkan tak pernah tertawa.

“Tentu saja, siapa lagi?” Tanya Hugo, alisnya mulai mengerut,”Ingin pergi ketaman?”

Sebelum Alyena menjawab, tangannya kembali ditarik paksa oleh lelaki muda ini. Alyena mengembungkan pipinya kesal, “Aku belum menjawab.” Celetuk Alyena.

“Tapi kau akan menyukai tamannya, Alyena.” Hugo tersenyum bak anak kecil tanpa dosa.

“Kau sangat menyukai bunga Lavender bukan? Aku meminta ayah untuk membuat taman dengan bunga Lavender.” Mata Hugo terlihat berbinar-binar. Alyena menaikkan sudut bibirnya, mencoba untuk tersenyum.

Agatha tidak terlalu suka dengan bunga Lavender, ia lebih menyukai bunga Dandelion yang bisa terbang dengan bebas. Hanya saja, Agatha merasa bahwa tubuh Alyena memiliki ikatan tersendiri dengan bunga Lavender.

“Ya.” Alyena mendongak. Ia tidak berbohong, taman ini sangat cantik dan ia menyukainya.

Alyena dan Hugo tidak berbicara untuk beberapa saat, Alyena masih menikmati pemandangan di depannya bersamaan dengan angin yang berhembus, semerbak bau bunga Lavender tertangkap oleh indra penciuman Alyena.

Alyena merasakan tangan kanannya yang kembali di genggam, tapi kali ini lebih gentle. Mata Alyena terpaku pada telapak tangan kedua lawan jenis ini. Kamu masih kecil, itulah pikiran Alyena saat ini.

“Ayo kita kembali.” Hugo terseyum seperti bulan sabit. Alyena bergantian menatap tangannya dan wajah Hugo. "Ah, iya.”


ASRAR [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang