"Ah apalah artinya sebuah tempat, yang penting aku tulus berdoa. Sampai atau engga itu urusan Tuhan."

Zulaikha melenguh, membiarkan Nayla dengan logika-logikanya.

Rizqi_YZ: Hei, Zulaikha! Tidur lagi ya?

Layar komputer yang masih ia biarkan menyala kembali mendapatkan pesan email baru.

"Eh, itu Mas Yusuf, kan?" Nayla yang bangun dari baringnya untuk mengintip layar komputer Zulaikha langsung bersuara.

Zulaikha mengangguk sambil mengeklik icon close di layar komputer seketika membuat Nayla mengeluarkan nada tinggi.

"Hei anda! Ga sopan banget sih main close close aja. Bales lah!"

"Aku kesel sama Mas Yusuf."

"Kenapa?" Sambil memangku bantal.

"Dia janji mau jengukin aku kesini, tapi mana?"

"Memangnya dia janjinya mau kesini tanggal berapa?"

"Ya dia ga bilang tanggal berapa. Pokoknya mau kesini aja!"

"Duh, Zu Zu. Kasian banget Mas Yusuf punya adik baperan begini. Dia kan ga ngasih waktu pastinya tapi aku yakin kok Mas Yusuf pasti kesini nanti."

"Kenapa kamu yakin banget?" Zulaikha memutar badan, memandang Nayla dengan wajah serius.

"Karena Mas Yusuf bukan orang munafiq. Jadi ga mungkin kalau berjanji terus dia ingkar."

Ucapan Nayla membuat Zulaikha diam merenung. Kemudian memanyunkan bibir membayangkan Yusuf lalu tersenyum.
***

Kota London, sudah sejak tamat dari sekolah menengah atas di Semarang, Zulaikha memilih melanjutkan menempuh pendidikannya di London. Ia ingin mengejar cita-citanya untuk menjadi pebisnis handal seperti kedua orang tuanya, Rayhan dan Annisa. Hanya saja, ia enggan jika hanya melanjutkan bisnis keluarga.

Zulaikha, yang biasa dipanggil Yusuf dengan sebutan si manja bertekad ingin membangun sendiri bisnis miliknya, mengubah stigma keluarganya yang selama ini memang memperlakukan dia dengan begitu manja. Itulah alasannya, ia memisahkan diri, melangkah jauh meninggalkan zona nyaman.

"Aduh, Paklik aja yang menikah sama dia. Zulaikha masih sibuk menata hidup. Udah ya Paklik, assalamu'alaykum warohmatullah." Sambil menuntun sepeda di sebuah padang rumput luas yang terletak di salah satu sisi kampus, Zulaikha ketus memutus sambungan telepon.

"Haha Zu, kamu disuruh menikah lagi?" Nayla menggoda.

"Paklik Ustadz itu emang ngeselin banget. Tiap hari bilang ada yang melamar. Logikanya nih ya, gimana bisa lelaki-lelaki itu pada datang melamar. Ketemu sama aku juga belum pernah."

"Kan ada cara saling mengenal tu apa namanya?"

"Ta'aruf?"

"Nah iya itu."

"Yang bener aja. Aku disini mereka dimana?" Zulaikha nyengir sambil menggeleng-gelengkan kepala heran.

"Hahaha!" Nayla menertawakan Zulaikha yang memasang wajah kesal.

Sampai tiba-tiba-

Dug. Sepeda dengan kecepatan lumayan tinggi menabrak sepeda Zulaikha dari belakang. Sepedanya ambruk membuatnya bertambah kesal.

"Hei, are you crazy?" Teriaknya sambil bertolak pinggang.

"Oh, I'am so sorry!" Laki-laki di hadapanya memakai buff berwarna biru tua, celana jeans selutut berwarna hitam, kaos putih panjang dengan tiga strip berwarna hitam di bagian lengan sigap membangunkan kembali sepeda Zulaikha yang tergeletak.

Laki-laki itu menatap Zulaikha dari atas sampai bawah hingga membuatnya merasa risih.
"Hei, where's your manners?" 

Laki-laki itu tersenyum kemudian, "Hei, assalamu'alaykum. Galak juga kamu ya. Aku kira perempuan sepertimu (menunjuk kerudung yang membalut kepala Zulaikha) memiliki sopan santun dan kesabaran yang luar biasa. Ternyata biasa saja." Sambil memasang senyum meledek, kemudian kembali naik ke atas sepeda, mengendarainya melaju kencang meninggalkan Zulaikha.

"Kenapa aku ga bisa seperti bunda?" Matanya tiba-tiba berkaca-kaca, berucap lirih sambil duduk di hamparan rumput memeluk lutut.

"Heh heh, sstt, jangan menangis begini." Nayla berjongkok menepuk-nepuk bahu Zulaikha pelan.

"Ga semua anak mewarisi sifat orang tuanya kan? Kita terlahir dengan keistimewaan masing-masing."

"Tapi aku ingin menjadi seperti bunda. Agar dicintai laki-laki baik seperti ayah."

"Ga perlu menjadi siapa-siapa untuk dicintai, Zu! Cukup jadi dirimu saja. Karena cara mencintai paling jujur itu adalah dengan tidak menjadikan dirimu seperti orang lain. Ya, meskipun itu bundamu sendiri."

Zulaikha masih menundukkan kepala.

"Udah ah, katanya sibuk menata hidup. Masa begini aja dibawa sedih. Jangan sampai paklik ustadz mu itu nanti akhirnya setuju dengan ucapan Mas Yusuf."

Zulaikha akhirnya mendongakkan kepala sambil mengernyitkan dahi, "Ucapan Mas Yusuf?"

"Iya. Zulaikha si manja." Ledek Nayla sambil beranjak, naik ke atas sepeda lalu mengendarai dengan santai.

"Heh, kamu ini ya!" Zulaikha sigap, bangun dari duduknya, meraih sepda, menggoes sedikit cepat hendak menyusul Nayla yang berjarak beberapa langkah di hadapannya.

"Kamu kenal ga sama yang tadi?" Zulaikha dan Nayla mengendarai sepeda sambil bercakap-cakap.

"Yang laki-laki tadi?"

Zulaikha mengangguk.

"Ga kenal sih, tapi yang jelas dia orang Indonesia."

Zulaikha mengangguk lagi.

"Cie, Zu!" Nayla meledek.

"Apaan?"

"Diem-diem kepo!" Goda Nayla lagi.

"Bukan gitu. Tapi, aneh aja berasal dari Indonesia tapi kok aku ga kenal ya."

"Haha Zu, Zu memangnya kamu anak tukang sensus penduduk di kota seluas ini, hah?"

Zulaikha menarik napas, nyengir, enggan menimpali gurauan Nayla.
***

Yusuf & ZulaikhaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang