Bab 15

165 97 56
                                    

Suasana sejuk menyentuh lembut jilbab Laras. Antara bingung dan kaget, ia kucar kacir. Wajahnya ia tutupi dengan jilbabnya, terlihat gemas Dimata Arya.

''Kamu kenapa De?" tanya Arya.

"Ah itu engga apa kak," alibi Laras.

Yah ketika Laras bohong, tingkahnya aneh dan pastinya suaranya terbata-bata dan satu hal yang penting, pipinya bagaikan kepiting rebus.

"Oh oke. Pelayan!" panggil Arya.

"Eh Pak Bos, iya Pak mau apa?" tanya pelayan itu.

"Hah? Pak Bos?" spontan Laras dan melepas tutupan wajahnya.

"Eh Laras, kenapa kamu engga kerja?" tanyanya.

"Ssstttt...," ucap Laras sambil menaruh telunjuk di bibirnya.

"Hayo, ada yang lagi ketahuan nih yeee," ejek Fadil.

Laras terdiam, mulutnya kaku untuk berkata-kata.

"Saya pesan kopi caramel 2, susu coklat 1. Oh iya menu baru hari ini tolong disajikan, nasi goreng kerupuk kentang," jelas Arya.

"Ah bentar, nasi goreng kerupuk kentang? Ini kan kesukaan Laras. Pasti si Fadil yang kasih tahu," ucap batin Laras, menatap sinis wajah Fadil. Dan Fadil hanya membalas dengan menaik turunkan alisnya seolah menyindir.

"Kakak kenapa kerja di sini?" tanya Fadil serius.

"Ah itu, iseng-iseng aja," singkat Laras.

"Kakak kalau ada apa-apa jangan dipendem sendirian tauk, bagi-bagi kek ke Fadil. Biar Fadil ngerasain kayak kakak bisa kuat dalam segala hal," ketus Fadil.

"Apa sih De, engga jelas banget. Kamu itu harus bahagia oke. Engga usah khawatir sama kakak. Kakak baik-baik aja dan akan selalu begitu, karena Allah selalu jaga Kakak," ucap Laras mengelus kepala Fadil dengan lembut.

Kini Fadil berkaca-kaca, ia sungguh salut dengan Laras.

"Hah, romantisnya adik kakak ini. Eh btw, eheemmm. Laras gini yah, kamu emang kuat, tapi sekuat apapun manusia kalau masalahnya engga dibagi atau diceritain bakalan sesak sendiri. Kakak tahu kamu butuh uang buat Fadil dan juga kehidupan kalian. Kakak bukannya mau sok jadi pahlawan. Tapi Kakak mau kamu fokus aja sama cita-cita kamu, masalah biaya biar Kakak yang urus..."

Ah ini seperti suami yang tanggung jawab sama istrinya, pikir Laras. Wajahnya mulai mengembang layaknya bakpau yang baru keluar oven.

"... Kamu sudah kakak anggap sebagai adik sendiri," lanjut Arya.

Baru aja lagi halu, sekarang dah jatuh. Emang singkat, namun membekat. Entahlah, dada Laras terasa sesak, terasa ada yang luka tapi tak tahu bagian yang mana.

Pelayan menghidangkan makanannya, dengan sigap mereka bertiga menyantapnya.

"Tapi Kak, Laras juga bukan mau sok kuat. Tapi kalau hanya menerima mentah-mentah Laras juga engga mau."

"Yah udah kamu kerjanya di cafe aja. Jadi manajer, ngatur dan mengelola uang. Nanti ada yang bimbing kamu. Lagian cafe ini dekat sama kampus dan rumah kamu. Jadi engga terlalu capek," jelas Arya.

Laras mengangguk paham, tapi kenapa harus jadi manajer? Jangankan menghitung, membaca saja di malas. Ah sepertinya dia harus belajar lebih giat lagi.

✍️✍️✍️

Laras pulang, ia melambaikan tangannya ke arah Arya dan Fadil. Ia membalikkan tubuhnya untuk membuka pintu.

"Ah teror lagi, sekarang apa?" monolog Laras, ia mengambil kotak di depan pintu rumahnya.

Laras | Sudah Terbit ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang