chapter 8

64.7K 2.3K 31
                                    

Radina dihadapkan dengan dua pilihan sulit. Ia ingin menunggui Nalani tapi di sisi yang lain ia ingin tes DNA untuk membuktikan kebenaran mengenai anaknya.

“Oke, aku bakal tes DNA sekarang,” kata Radina.

Keadaan Nalani memang penting, tapi keadaan bayinya lebih penting. Ia datang ke sebuah ruangan dan ia pun mengikuti prosedur yang harus ia lakukan. Proses pengambilan sampel DNA tidak memakan waktu lama, hanya tinggal menunggu hasilnya yang memakan waktu cukup lama.

Radina diberi kabar kalau Nalani sudah pindah ke ICU. Keadaannya masih sangat lemah dan ia belum juga sadarkan diri.

“Kamu ke rumah aja gih, Mama yang jagain,” kata ibu Radina.

“Yakin, Ma?” tanya Radina.

“Iya. Anak kecil kayak kamu mana sabar nunggu kayak begini,” kata ibu Radina.

“Ibunya Nalani mana?” tanya Radina.

“Kamu mau diam di sini atau pulang?” ayah Radina mengalihkan pembicaraan.

“Pulang,” jawab Radina.

“Kalau begitu biar Papa yang jelaskan,” kata ayah Radina.

Radina dibuat penasaran oleh ayahnya. Setibanya di rumah, mereka berdua langsung menuju ke taman belakang dan duduk di dipan.

“Kenapa gak di dalem?” tanya Radina.

“Papa pengen ngerokok,” jawab ayah Radina.

Ayah Radina menyulut api ke rokoknya dan mulai menghisapnya.

“Orang tua Nalani ilang,” kata ayah Radina.

“ILANG?!” Radina terkejut mendengar perkataan ayahnya.

“Ya, tiga bulan setelah Nalani ke sini mereka ilang.”

“Papa yakin?”

“Ya, Papa udah suruh orang untuk mastiin.”

“Jadi?”

“Mau gak mau Nalani tinggal sama kita, baik bayi itu anak kamu atau bukan.”

“Pa, kalau anak aku ya nggak masalah tapi kalau anak orang lain?!”

“Papa sudah buat perjanjian ini, Radina. Sekarang orang tua Nalani entah di mana dan kalau Papa biarkan dia pergi, dia bisa merusak nama keluarga kita.”

“Papa udah berusaha nyari?”

“Apa perlu kamu tanya itu? Satu-satunya cara untuk membuat Nalani semangat hidup ya ada di tangan kedua orang tuanya, tapi waktu Papa mau kasih kabar mereka hilang.”

“Terserah Papa, lah! Aku ngomong pun gak bakal Papa denger sekarang.”

Radina langsung masuk ke kamarnya. Ia menyalakan AC dan berusaha tertidur, namun usahanya itu nihil. Nalani kini di rumah sakit dan ketika sadar nanti pasti Radina yang harus menemaninya.

“Gue belom tentu ayah dari bayinya, kan? Iya, kan?!” Radina berusaha meyakinkan dirinya.

Tapi rasa sayang itu... Rasa hangat yang menjalar ketika ia mengelusi perut Nalani itu...

“Nggak, gue cuma tersentuh waktu ngerasain tendangan bayi. Sama kayak dulu gue megangin perut Mama yang lagi hamil Madina, juga Tante Lusi waktu hamil Azka. Ya, rasanya sama,” kata Radina, ia semakin kuat pendirian.

Radina akhirnya bisa tertidur. Ia tinggal menunggu hasil tes DNA dan ia akan mendapatkan jawaban pasti akan kehadiran anak Nalani.

 ***

Nalani membuka matanya perlahan. Tubuhnya terasa berat dan sulit digerakkan.

“Lan? Lani?!” panggil suara yang dikenal Nalani.

Nalani menoleh lemah. Pandangannya belum benar-benar jelas.

“Lan, ini aku Diani,” kata Diani.

Nalani hanya mengerjapkan matanya untuk mengumpulkan nyawa.

“Lan?” panggil Diani.

Diani melihat Nalani yang sudah membuka matanya dan segera memanggil dokter.

“Di...” panggil Nalani dengan lemah.

“Iya, Lan, kamu jangan banyak ngomong dulu,” kata Diani.

“Aku kenapa?” tanya Nalani dengan polosnya.

“Kamu sakit,” jawab Diani.

Nalani kembali menutup matanya. Tubuhnya sangat sulit digerakkan. Bagaimana mau mudah digerakkan? Ia sudah berbaring 11 hari di bangsal rumah sakit. Dokter segera datang dan memeriksanya. Kabar baik karena Nalani tinggal menunggu sampai kondisinya benar-benar pulih.

Kesadaran Nalani berangsur-angsur membaik dan ia mulai bisa diajak bicara oleh Diani. Setelah melewati masa kritisnya, Nalani tidak sadarkan diri sampai ia terbangun tadi sore. Esok paginya beberapa alat bantu sudah boleh dilepaskan dari Nalani sehingga Nalani pun bisa bergerak lebih bebas.

“Lan? Kamu udah lebih baik?” tanya Diani.

Nalani mengangguk.

“Syukurlah...” kata Diani.

Nalani menyadari ada yang salah dengan tubuhnya. Perutnya...

“Di, kenapa aku...” kataku.

“Kamu udah ngelahirin, Lan, anakmu laki-laki,” kata Diani.

Nalani terkejut, air matanya mengalir begitu saja terlebih saat ia diizinkan untuk menggendong bayinya.

“Ini Ibu,” kata Nalani.

Bayi itu menggeliat seakan ingin dipeluk lebih erat oleh ibunya. Nalani menyempatkan diri untuk menyanyikan lagu nina bobo, hebatnya anaknya itu langsung terlelap dengan sangat nyaman.

“Lan, kamu hebat bisa ngelewatin masa kritis kamu. Kamu udah 12 hari gak sadarkan diri,” kata Diani.

“Aku mimpi ketemu Rafi, Di,” kata Nalani.

“Rafi?! Dia... apa kabar?”

“Dia kelihatan sehat.”

“Orang tua kamu...”

“Mereka gak mau ketemu aku, kan?”

Diani terkejut melihat wajah Nalani yang terlihat santai saat bicara tadi.

“Aku kenal orang tuaku dengan baik, Di,” kata Nalani dengan tenang.

Diani bisa bernapas lega karena Nalani tidak shock. Biar saja Nalani berpikir seperti ini daripada ia tahu kalau orang tuanya menghilang.

“Kamu udah nemu nama yang bagus untuk anak kamu?” tanya Diani.

“Berhubung laki-laki, mungkin aku kasih nama Rafi,” jawab Nalani.

“Kalau aja Rafi ada di sini,” kata Diani dengan lesu.

“Ketemu di mimpi juga udah bagus, kan?” tanya Nalani.

Diani mengangguk setuju. Syukurlah Nalani bermimpi bertemu dengan Rafi, sekiranya Nalani bisa terlihat lega setelah terbangun dari hibernasinya.

***

haloooooo aku kembali hehe makasih ya yang udah nunggu update, baca, vote, comment, masukin ke library, terus jadi fan! aku terharuuuuuuuuuuu banget :") tunggu cerita selanjutnya yaaaaa =) jangan lupa untuk terus vote+comment. dukunganmu begitu berarti *ceritanya ngomong kaya iklan di tv*

faster than a weddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang