chapter 25

59.2K 1.6K 84
                                    

halo akhirnya saya kembali setelah sekian lama vakum nge-update cerita yang satu ini. maaf banget ya memang banyak banget kendala nulis ini.

sebelumnya saya mau kasih tau dulu, berhubung punya banyak dosa sama readers sampe pada harus nunggu update yang lama ini dan banyak yang minta ceritanya untuk lebih panjang, saya membuat cerita ini jadi sedikit lebih panjang sesuai keinginan readers yang minta. bukan, bukan nambah konflik baru tapi memanjangkan saja tulisan saya jadi yang harusnya tamat di chapter ini saya undur ke chapter 26 dan epilog sebagai bonus untuk mencoba menulis lebih panjang dan menebus dosa karena diprotes chapter2 sebelumnya terlalu pendek.

mudah-mudahan update selanjutnya gak selama yang ini ya. jujur kesehatan author yang satu ini unpredictable banget, doain supaya sehat selalu ya dan semoga laptop author gak rusak lagi supaya nulisnya lancar. selamat membaca, author memohon maaf sebelumnya ya kalau ada kesalahan kata dan karena telat update :)

silakan berpikir yang aneh-aneh setelah membaca :)

******

“Adnaaaan, ayo ke sekolah!” seru Agung.

“Iya, Ayah, sebentar belum pake sepatu ini!” sahut Adnan.

“Udah pasang sepatu di mobil aja, kasian Ayah nunggu,” kata Nalani.

“Iya deh. Adnan pergi dulu, Bu,” kata Adnan lalu mencium tangan Nalani.

Nalani menjinjing sepatu Adnan sementara anaknya itu sudah berlari menuju ke mobil terlebih dahulu.

“Pergi dulu ya, Lan,” kata Agung.

“Iya, hati-hati di jalan!” kata Nalani.

Adnan melambaikan tangannya kepada Nalani lalu Agung pun membawa mobilnya menjauh dari kediaman nenek Nalani.

Begitu mobil Agung menjauh dari pandangannya, Nalani kembali ke dalam rumah untuk mengerjakan tugas yang harus dikumpulkan siang nanti.

Nalani sedang serius mengetik tugasnya dan tidak sadar kalau ponselnya beberapa kali berderi.

“Mbak, Mbak Lani,” panggil Bi Cucu dari luar kamar Nalani.

“Iya, Bi, masuk aja,” kata Nalani tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop.

“Ini, Mbak, ada telepon,” kata Bi Cucu.

“Oh iya, makasih, Bi...” kata Nalani.

Bi Cucu pamit meninggalkan kamar Nalani dan Nalani mengangkat teleponnya.

“Halo?” tanya Nalani.

“Kenapa sih aku teleponin ke hp gak kamu angkat juga?” tanya suara di sebrang sana.

Nalani mengambil ponselnya dan melihat kalau ada beberapa missed call.

“Maaf, aku lagi sibuk ngerjain tugas,” jawab Nalani.

“Inget janji kamu kan?”

“Iya, janji masakin kamu. Bahannya udah ada kan di rumah kamu?”

“Iya udah ada, Sayang. Sampai nanti ya aku jemput kamu di kampus pas kamu beres kuliah.”

“Oke.”

“Sampe ketemu nanti ya, hati-hati di jalan, Sayang.”

“Iya, sama-sama.”

Nalani menutup teleponnya dan kembali berkutat dengan tugas di hadapannya. Entah apa arti kurva yang ada di hadapannya, ia mendesah tidak karuan dan hanya meng-copy paste apa hasil temuannya di internet dan buku. Kemudian mengirim file dalam bentuk e-mail ke dosennya sebelum deadline yang ditetapkan sang dosen dan sebelum kelasnya dimulai pukul 10 nanti.

faster than a weddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang