chapter 3

79.9K 2.6K 29
                                    

Nalani sudah merapikan barang bawaannya dan ikut keluarga Radina pulang ke Jakarta. Tidak ada seorang pun yang bicara di dalam mobil. Nalani sudah berusaha tidur tapi ia tidak bisa. Ia mencuri-curi pandang pada Radina yang sepertinya tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Nalani menunduk untuk menatap perutnya yang belum membuncit. Hanya penyesalan yang selalu diingat olehnya. Ia akan kehilangan segalanya: teman, sekolah, juga orang tuanya.

Begitu Nalani tiba di rumah yang akan ditempatinya, seorang pembantu datang dengan tergopoh-gopoh untuk membukakan pintu rumah. Nalani melihat pembantu itu dan tersenyum tipis pertanda salam. Pembantu itu membalas senyumannya dengan tulus.

“Bi, bawa Nalani ke kamar yang udah disiapin,” kata ayah Radina.

“Iya, Pak. Mari, Mbak, Bibi bantu bawa bawaannya,” kata Bi Muas sambil berusaha mengambil alih tas yang dibawa Nalani.

“Saya bisa bawa sendiri,” kata Nalani.

“Eh, jangan gitu, Mbak. Biar Bibi aja,” kata Bi Muas sambil membawa tas Nalani.

Bi Muas membawa Nalani ke kamarnya. Kamar yang akan ditempati oleh Nalani sama sekali tidak buruk. Kamarnya tidak sempit, bahkan ada kamar mandi di dalamnya.

“Mbak, Mbak tidur aja. Bibi aja yang beresin baju Mbak,” kata Bi Muas.

“Nggak usah, Bi, saya bisa sendiri,” kata Nalani.

“Eeeeh, Mbak lagi hamil, jangan kerja yang berat-berat malem begini. Udah, biar Bibi aja. Mbak tidur aja, kalo ada perlu apa-apa nanti panggil Bibi. Kamar Bibi ada di belakang dapur,” kata Bi Muas.

Nalani duduk di kasurnya yang ternyata empuk sambil memerhatikan Bi Muas yang bekerja.

“Bibi tau nama saya?” tanya Nalani.

“Tau dong. Mbak Nalani, kan?!” jawab Bi Muas.

“Nama Bibi siapa?”

“Oh iya, Mbak Lani gak tau nama Bibi. Panggil aja Bi Muas, Mbak.”

Nalani tersenyum kepada Bi Muas. Hanya Bi Muas yang bisa membuat Nalani bernapas lebih lega di rumah ini.

“Mbak Lani pasti gak bohong,” kata Bi Muas.

“Gak bohong?”

“Iya. Muka Mbak Lani nunjukin kalo Mbak Lani gadis polos. Mbak beneran hamil?”

Nalani tersenyum pahit.

“Maafin Bibi, Mbak. Bibi awalnya gak percaya, tapi Bibi yakin kok kalo Mbak gak bohong,” kata Bi Muas.

“Kenapa Bibi yakin?” tanya Nalani.

“Karena Mbak Lani gak keliatan bohong sama sekali,” jawab Bi Muas.

Nalani tersenyum tipis. Ia berbaring dan menatap langit-langit kamarnya dengan tatapan kosong. Semuanya sudah terjadi, tidak ada yang bisa kembali ke masa lalu semenyesal apa pun orang yang bersangkutan. Nalani sudah mengambil sikap untuk mempertahankan kandungannya dan bertahan di rumah yang sangat asing baginya ini.

“Mbak, Bibi udah selesai beresin barang-barangnya. Bibi pamit ya, Mbak,” kata Bi Muas.

“Makasih, Bi,” kata Nalani.

“Jangan banyak melamun, Mbak. Mari,” kata Bi Muas sambil menutup pintu kamar Nalani.

Nalani meringkuk sambil memegangi perutnya. Ia berdoa agar bayinya tidak akan mengalami nasib yang sama dengannya ketika besar nanti.

***

Pukul 5 pagi. Nalani terbangun dari tidurnya yang sesaat. Setelah mengerjap-ngerjapkan mata sesaat, Nalani segera mandi dan mengganti pakaiannya. Betapa mirisnya ketika ia ingat kalau ia tidak jadi bersekolah. Seragam SMA yang belum lama dibelinya jadi tidak terpakai.

faster than a weddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang