Arini and Pradipta

7.3K 811 122
                                    

Arini menarik nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan. Menarik nafas lagi,  kembali menghembuskannya. Jari-jari tangan kanannya yang lentik membuka berkas yang ada di atas meja, membacanya kalimat demi kalimat. Dahinya berkerut samar tanda ia berpikir. Bibirnya bergumam tak jelas seolah ia tak puas dengan apa yang ia baca. Lengan blus merah mudanya digulung hingga kesiku, sementara jasnya teronggok begitu saja di atas meja.

Sepi...yang terdengar hanya suara napas Arini dan kertas yang dibalik. Arini sepertinya sangat sibuk. Istri dari Pradipta Putra Mahesa itu memang memegang tanggung jawab sebagai salah satu Direktur The Mahesa's Hotel. Ia berbagi peran dengan Pradipta dan Raditya, adik iparnya.

Ruangan Arini sangat luas dengan wallpaper berwarna hijau muda dan karpet cokelat muda terhampar. Jendela-jendela besar di sebelah mejanya membuat ia dapat melihat kemacetan Jakarta dari ruang kerjanya. Foto keluarga kecilnya terpajang rapi dengan aneka ukuran pigura semakin mempercantik meja panjang yang berada di belakang kursinya. Tiga buah sofa berwarna cokelat berada di depan meja kerja dengan aneka camilan dalam toples di atas meja.

Sebagai salah satu Direktur, ruangan Arini tentunya sangat nyaman dan memenuhi keinginannya hanya dalam beberapa langkah. Arini juga memiliki sebuah kamar untuk beristirahat yang terletak di balik pintu geser yang terkamuflase sebagai rak buku.

Dua orang sekretaris dan dua asisten akan siap membantu dalam satu kali panggilan dari bel di mejanya.

Tiga jam kemudian, Arini sudah memulas bibirnya dengan lipstik berwarna merah muda. Rambut panjangnya yang bergelombang ia biarkan tergerai indah melewati bahu, ia sudah berganti pakaian dengan  kemeja putih dan celana jeans berwarna biru belel. Sepasang sepatu olah raga melengkapi penampilannya yang casual. Ya, jam sembilan malam nanti ia akan terbang menuju Macau untuk mengikuti arisan kalangan jet set di Jakarta. Arini meraih tasnya yang berada di atas meja. Langkah kakinya teredam karpet nan tebal, ia membuka pintu dan spontan para asisten dan sekretarisnya mengangkat wajah.

"Bu, sudah mau berangkat?" tanya Irma Sekretaris pribadinya yang lalu bangkit dari duduk dan menyerahkan sebuah map berwarna cokelat.

Arini mengangguk. Ia membuka map tersebut lalu membacanya perlahan. "Rapat BOD senin ya? Sudah ada konfirmasi siapa saja yang akan hadir?" Arini menatap Irma.

Irma perempuan cantik dengan wajah oriental dengan rambut lurus sebahu itu menggeleng. "Saya belum dapat kabar dari Sekretaris Utama, Bu." Irma lalu menatap Arini dengan sedikit ragu.

"Ya? Ada apa?" tanya Arini sambil mengangkat alisnya heran. Ia sudah sangat hapal dengan kebiasaan Irma.

"Bapak udah ada di ruangan kerjanya," lapor Irma.

"Oh..." Senyum tipis terlihat di bibir Arini. "Saya mampir ke ruangan Bapak kalau begitu...bisa tolong kasih tahu Pak Arief kalau saya akan turun 30 menit lagi?" kata Arini. Ya, pertemuannya dengan Pradipta tidak mungkin hanya sebentar, 30 menit saja terkadang kurang.

"Ta..tapi, Bu?

"Penerbangan saya masih jam sembilan malam...ini baru jam lima," jawab Arini santai. "Kalau pun tertinggal ya nggak papa..." Ada alasan untuk nggak datang deh ke arisan...lanjut hati Arini.

Arini lalu ke luar dari kubikal tempat para Asisten dan Sekretarisnya bekerja. Ia melewati ruang kosong yang luas dengan langkah santai. Tasnya ia gantungkan di bahu. Langkahnya terhenti di depan kubikal para Asisten Pradipta bekerja. Mematut penampilannya lalu mengulas senyum...entah kenapa ia selalu ingin terlihat memesona di hadapan suaminya tercinta.

"Hai, Cor..." sapa Arini ramah di depan meja Cory, sahabatnya yang juga adalah Sekretaris Pradipta selama enam tahun terakhir.

"Astaga," Cory yang sedang menatap serius ke layar komputernya terkejut. Seruannya mengejutkan rekan kerja lainnya yang lalu melongok dari mejanya. Perempuan cantik itu memegang dadanya dengan dramatis. "Lo ngagetin gue,"

The Mahesa'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang