56. Bawa Aku Pergi Dari Sini

529 167 26
                                    

Adinda menyetir dengan kecepatan sedang menuju rumah yang dihuni orang tuanya. Bukan berarti ia bisa menyetir lebih cepat dengan kondisi jalanan di ibukota pada jam pulang kerja seperti ini. Jakarta tidak pernah berubah dalam hal kemacetan sejak dulu. Mungkin tadi seharusnya ia tidak menyetir.

Jesse menyentuh lengannya, membuat Adinda menoleh dan melihat pria itu menuliskan sesuatu di notes kecilnya. Aku tidak percaya orang-orang bisa hidup di tempat semacet ini setiap hari.

Adinda tertawa. Ia sendiri juga sudah berpikir ulang tentang kemungkinan kembali kemari setelah kuliahnya selesai. Austin mungkin juga cukup macet di hari tertentu, tetapi kondisinya masih jauh lebih baik daripada kemacetan ini.

"Banyak pendatang yang berharap bisa merubah hidup mereka di ibukota."

Ia melirik Jesse, tetapi pria itu tidak menuliskan apapun di notesnya. Jesse memutuskan untuk membawa benda itu agar lebih mudah berkomunikasi dengan orang tuanya, walaupun Adinda sudah berkata dia bisa menjadi perantara mereka. Jesse bisa bicara bahasa isyarat dengannya sebelum ia menyampaikan pada orang tuanya.

Jesse tampak mempertimbangkan hal tersebut, tetapi juga memutuskan untuk membawa notes kecilnya. Pria itu sejak tadi lebih banyak diam, begitu juga Adinda. Sesekali, matanya melirik cincin yang berkilauan di jari manisnya. Mungkin akan ada kemarahan besar di rumah nanti, dan ia harap, selain Jesse, Aidan ada di sana.

Namun, saat sampai di rumah, Adinda hanya menemukan orang tuanya yang baru saja selesai makan malam. Mereka bahkan tidak merasa perlu untuk menelepon dan bertanya dirinya di mana.

"Hai, Nak, kapan kamu datang?" tanya Papa saat melihatnya memasuki ruang makan. Pria itu bangkit dari duduknya, lalu memeluk Adinda sekilas. Bahkan terlalu singkat hingga Adinda hampir tidak merasakan pelukannya.

"Tadi sore," jawab Adinda singkat sambil menatap Mama yang masih sibuk dengan makan malamnya, lalu beralih kembali menatap Papa. "Di mana Aidan?"

"Dia harus membantu Alexi di Belgia, jadi ia menyusul Ananda ke sana sore tadi."

Bagus. Jadi ia harus menghadapi dua orang ini tanpa bala bantuan. Tentu saja Aidan akan langsung pergi begitu kakak tersayangnya itu butuh bantuan.

"Kamu sudah makan, Nak? Ayo bergabung dengan kami," ucap Papa kemudian setelah kesunyian yang canggung.

"Sudah. Aku...ada seseorang yang ingin kukenalkan pada kalian."

Ucapan itu rupanya berhasil menarik perhatian Mama karena wanita itu langsung mendongak padanya.

"Siapa?" tanyanya dengan datar.

"Aku akan menunggu kalian selesai makan lebih dulu," jawab Adinda sambil berbalik dan keluar dari ruang makan untuk kembali menemui Jesse di ruang tamu.

Postur duduk pria itu tampak tegang. Adinda tersenyum padanya, lalu duduk di dekat Jesse. Akan jauh lebih baik baginya duduk dengan pria itu karena Adinda tahu ia akan membutuhkan Jesse nantinya.

"Mereka sedang makan malam," ucap Adinda saat Jesse memandangnya.

Pria itu mengangguk sambil meremas tangannya. 'Tidak ada yang perlu kau cemaskan. Aku ada di sini.'

Adinda tersenyum dan hatinya kembali merasa yakin. Benar. Asal ada Jesse bersamanya, tidak ada apapun yang perlu dia risaukan.

Papa muncul lebih dulu ke ruang tamu, dan pria itu sedikit kaget saat melihat Jesse. Matanya mengamati bekas luka di leher Jesse, tetapi hanya sesaat sebelum kembali menatap Adinda dengan pandangan bertanya-tanya.

Sebelum ia sempat bicara, Mama muncul dari ruang makan. Sama seperti Papa, ekspresinya juga sama kagetnya ketika melihat Jesse di sana. Bedanya, setelah mengamati bekas luka di leher Jesse, Mama menatap Adinda dengan mata menyipit yang memperlihatkan emosi wanita itu.

Sorry, I Love Your Daddy! (TAMAT)Where stories live. Discover now