20. Sudut Pandang Lain

3.1K 630 85
                                    

Adinda terus berlari menjauh dari rumah, ke arah yang tidak pernah ia tuju sebelumnya, dan terengah-engah saat akhirnya ia duduk di padang rumput yang sepi. Ada sungai lain di hadapannya, mungkin itu sambungan dari sungai di hutan kecil yang sering ia datangi akhir-akhir ini. Bedanya, tidak ada pepohonan tinggi di sini. Hanya ilalang dan bunga-bunga liar yang ada di sekelilingnya.

Tempat ini cukup jauh dari peternakan maupun rumah utama meskipun ia masih bisa melihat bangunan-bangunan yang tampak kecil itu dari sini.

Ia tidak menangis. Adinda tidak akan membiarkan dirinya sendiri menangis berkali-kali dalam satu hari. Air matanya telah kering. Tidak akan ada lagi yang ia teteskan hari ini. Namun, sialnya, berada sendirian di tempat yang sunyi ini membuat Adinda kembali mengingat keluarganya dan apa yang telah mereka perbuat padanya selama ini.

Sudah sejak lama Adinda belajar bahwa jalan hidupnya memang seperti itu. Bahwa ia akan selalu menjadi sosok yang diabaikan. Namun, kenapa rasanya sulit sekali untuk menerima kenyataan bahwa ia bukanlah anak kesayangan di dalam keluarganya? Semakin hari nyatanya bahkan terasa semakin sulit, walaupun ia sudah tinggal jauh dari rumah.

Apa sebenarnya yang dicarinya di negara ini? Benarkah itu untuk mengejar daftar hidup yang dibuatnya? Hal-hal yang harus ia penuhi sebelum dirinya berumur tiga puluh? Atau itu hanya upaya menyedihkan untuk mencari perhatian dari keluarganya? Berharap bahwa mereka akan kehilangan dan merindukannya saat ia tidak ada bersama mereka?

Adinda mendengkus dengan pemikirinannya. Rindu. Ini semua terasa begitu sia-sia. Seandainya ia pulang nanti di tahun depan, apa keadaan akan jauh lebih baik? Apa mereka akan bahagia dengan kepulangannya? Atau selamanya ia hanya akan selalu menjadi yang terabaikan?

"Kalau kau duduk di sini sampai gelap, akan ada monster penunggu padang rumput yang membawamu pergi diam-diam. Mereka suka sekali menculik gadis cantik."

Orang terakhir yang ingin ditemuinya hari ini adalah Chase. Namun, tampaknya pria itu tidak akan pergi dari sini secepatnya karena Adinda tidak melihat kuda milik pria itu merumput di sekitar sini. Apa Chase juga berjalan kaki kemari?

"Kau tidak mengikutiku kemari kan?"

Chase mendengkus, kemudian duduk di sampingnya. "Jika kau pikir hanya Jesse yang punya tempat persembunyian pribadinya, kau salah. Ini wilayahku, dan kau salah lagi karena sudah memasukinya."

"Kenapa kau membencinya?"

Adinda tahu seharusnya bukan itu yang pertama kali diucapkannya. Namun sekali ini, ia ingin memahami Chase. Ia ingin mendengar dari sisi Chase, dan memahami dari sudut pandang pria itu. Hal-hal apa yang membuatnya tidak bisa menerima ayahnya sendiri, selain jelas bahwa, Jesse tidak membesarkannya dengan semestinya. Pasti ada alasan lain di balik sikap Chase yang seperti ini.

Selama beberapa saat, tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Chase. Adinda sendiri memilih menunggu untuk mendengar apa yang akan Chase katakan padanya. Ia terbiasa menunggu, dan kali inipun ia akan melakukannya dengan sabar.

Pria itu mungkin sedang memikirkan Jesse. Mengingat apa yang dilakukan ayahnya itu semenjak dirinya masih kecil hingga saat ini. Dan itu bagus. Adinda yakin pasti ada hal-hal baik dan menyenangkan yang pernah Jesse lakukan padanya.

Tidak semua hal selalu berjalan buruk kan? Adinda sendiri sering mengingat masa-masa indah dalam hidupnya bersama keluarganya. Ada banyak hal yang masih bisa membuatnya tersenyum walaupun memang itu tidak sebanding dengan air mata yang telah ia keluarkan. Akan tetapi, Mama dan Papa telah menjadi orang tua yang cukup baik baginya.

"Aku tidak membencinya," jawab Chase beberapa saat kemudian. "Aku hanya..." Chase mengangkat bahu. "Aku hanya berharap seandainya ia menjadi pria yang berbeda."

Sorry, I Love Your Daddy! (TAMAT)Where stories live. Discover now