14. Jatuh

2.8K 638 179
                                    

REPOST

Mata Adinda masih menatap ragu, sapu tangan yang terulur di hadapannya. Sejak berapa lama Jesse berada di sini? Apa Jesse mendengar ia menangis? Apa pria itu akan bertanya apa alasan dirinya menangis? Kenapa Jesse harus muncul? Ia tidak ingin Jesse melihatnya seperti ini.

Adinda tidak ingin banyak orang tahu bagaimana hubungannya dengan keluarganya. Hanya tiga sahabatnya saja yang tahu, itupun karena mereka pernah tidak sengaja mendengar Adinda menelepon Mama, dan melihat wajahnya yang murung setelah itu. Jika tidak, mungkin Adinda juga akan memilih untuk diam.

Keluarganya selalu terlihat sempurna di mata orang lain. Dengan tiga anak yang semuanya memiliki wajah rupawan dan berotak cemerlang. Hampir semua orang merasa iri dengan keluarga Abimanyu. Ia tidak ingin merusak citra keluarganya di mata orang lain.

Buku notes kecil terlihat diletakkan di depan sapu tangan yang Jesse pegang.

'Apa kau lebih memilih untuk mencuci wajahmu saja di air sungai? Kau tahu, air ini sangat jernih dan segar. Aku bahkan sering meminumnya secara langsung. Kau mau mencobanya?'

Adinda tersenyum sambil mendongak menatap Jesse. Pria itu selalu saja terlihat luar biasa tampan. Hari ini, Jesse mengenakan kemeja coklat tua, dengan scarf menutup lehernya, dan topi koboi warna hitam yang senada dengan celana jeansnya. Jelas, Jesse lebih terlihat seperti model yang keluar dari majalah daripada koboi sungguhan.

"Aku mau," jawab Adinda dengan suara serak. Ia bangkit dari duduknya, melepas sepatu, kemudian turun ke sungai yang dingin.

Adinda menoleh pada Jesse yang duduk di tempat tadi di mana dirinya berada. Bibir pria itu bergerak-gerak. Mata Adinda menyipit, mencoba membaca gerak bibir Jesse tetapi tidak berhasil. Membaca gerak bibir ketika tidak berada dekat dengan pria itu tidak mudah untuk dilakukan karena ia belum terbiasa.

"Ada apa?" Adinda berteriak.

Kembali bibir Jesse bergerak-gerak. Pria itu menulis dan menunjukkan bukunya pada Adinda. Jesse menyuruhnya berhati-hati karena sungai itu licin.

Adinda tersenyum. Kenapa pria ini begitu manis? Apa memang pribadi Jesse yang sebenarnya seperti itu? Pria yang manis dan penuh perhatian. Chassidy jelas-jelas bodoh karena melepaskan pria seperti Jesse.

Tangan Adinda terangkat untuk mempraktekkan apa yang sudah susah payah dihapalkannya dalam tiga hari ini.

'Oke. Aku akan berhati-hati.'

Mata Jesse melebar kaget saat melihatnya bicara dengan bahasa isyarat itu. Adinda kembali tersenyum melihatnya. Meskipun tadi dirinya berharap tidak akan bertemu Jesse, tetapi sekarang Adinda bersyukur karena pria itu ada di sini bersamanya. Memang mereka tidak bisa saling 'bicara' dalam cara yang semestinya, tetapi bagi Adinda, itu justru menjadi nilai lebih.

Selama ini, dirinya memang bukan tipe orang yang banyak bicara kecuali dengan ketiga sahabatnya. Berada bersama Jesse, membuatnya merasa nyaman. Pria itu tidak akan mengoceh seperti Chase yang malah membuatnya pusing.

Kadang, kesunyian itu memang menenangkan. Terlebih, berada di tempat yang senyaman ini. Ini seperti surga kecil yang Adinda miliki hanya untuk dirinya dan Jesse.

Adinda menunduk untuk membasuh wajahnya dengan air sungai yang jernih. Jesse benar, sungai ini begitu bersih. Ia bahkan bisa melihat kakinya sendiri dengan sangat jelas, juga bebatuan dan ikan-ikan kecil yang berenang di sekitarnya.

Seekor ikan kecil mencoba untuk menggigiti kakinya, disusul ikan-ikan yang lain melakukan hal sama. Adinda terkekeh geli. Ia bergerak ke sana kemari diikuti ikan-ikan itu.

Sorry, I Love Your Daddy! (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang