12. Maukah Kau Menjadi Temanku?

603 176 29
                                    

Biasanya, perjalanan bisnis bersama James lebih banyak diisi dengan keheningan. Atau, jika mereka mengobrol, itu adalah tentang pekerjaan dan rapat yang akan mereka hadiri. Itu adalah jenis obrolan yang paling James toleransi. Artinya, pria itu bisa melakukannya selama berjam-jam tanpa bosan.

Tidak pernah ada pembicaraan mengenai hal lain, apalagi mengenai kehidupan pribadi mereka. Apalagi, dirinya dan James memang hanyalah atasan dan bawahan. Mereka berdua tidak cukup dekat untuk membicarakan mengenai apakah beban kerja yang James berikan membuatnya kesulitan. Toh, bayaran yang Ola terima, setimpal dengan beban tersebut. Bahkan sebenarnya jauh melebihi ekspektasi.

Jujur saja, tadi, Ola sempat kesal pada pertanyaan yang Nero ajukan. Pria itu jelas menuduhnya memiliki hubungan lain dengan ayahnya. Sebuah hubungan yang tidak professional mengingat cara pria itu menanyakannya, juga caranya memandang Ola dengan penuh selidik.

Apa Nero benar-benar berpikir seburuk itu tentangnya? Apa pria itu, sama seperti kebanyakan rekan kerjanya yang lain, menuduhnya memiliki hubungan khusus dengan James hanya karena ia diangkat menjadi direktur setelah masa kerjanya yang singkat?

Selama ini, Ola tidak pernah peduli dengan apa yang orang pikirkan tentang dirinya. Namun, ketika pemikiran itu datang dari Nero, kenapa ia merasa kesal? Kenapa ia tidak ingin Nero memiliki pikiran buruk tentang dirinya? Apa karena ini adalah pertama kalinya ia merasa nyaman dengan seseorang, dan siap berteman dengannya?

Ini buruk. Seharusnya Ola tidak boleh seperti ini. Kenapa ia harus merasa nyaman berteman dengan seseorang seperti ini? Terlebih, setelah apa yang pria itu tanyakan padanya.

Selama ini, tidak pernah ada yang bertanya padanya seperti itu. Pekerjaan ini terasa berat? Apa ia kurang tidur? Apa James sering menyusahkannya?

Hanya satu 'ya' untuk tiga pertanyaan itu. Namun, sebelum ini, Ola juga tidak pernah terlalu memikirkan hal tersebut karena ia tahu jika ini adalah risiko dari semua pilihan hidupnya untuk tetap tinggal dan bekerja di kota ini.

Mendengar seseorang menanyakannya, dan terlebih dengan nada yang terdengar begitu peduli, membuat sisi rapuh dalam diri Ola, yang selama ini coba ia sembunyikan, menggeliat ingin membebaskan diri.

Ini jelas salah. Ia tidak pernah membiarkan dirinya bersikap lemah atau bergantung kepada orang lain. Sayangnya, fakta berkata sebaliknya, bahwa ia memang menyukai apa yang sedang terjadi padanya sekarang. Bahwa ada seseorang yang peduli padanya, dan itu bukan karena ketertarikan fisik.

Nero hanya tersenyum saat mendengar komentarnya tentang pria itu, dan lagi-lagi, Ola memiliki keinginan yang sangat besar untuk mendengar jawaban dari pertanyaan yang tadi tidak sempat Nero jawab.

"Kau sendiri, apa alasanmu lebih senang bekerja di Jakarta adalah karena Muti?" tanyanya lagi yang membuat senyum di bibir Nero sedikit meredup.

"Kau tahu bagaimana ayahku, juga bagaimana selama ini ia menjalani hidupnya," jawabnya bijak, mencoba untuk menghindari topik tersebut.

"Ayahmu orang yang baik meskipun ia memang cukup dingin dan jarang tersenyum."

Nero kembali menoleh padanya. "Tampaknya, kau juga menyukai ayahku seperti dia menyukaimu."

"Dalam konteks pekerjaan, ya, kami berdua jelas sangat cocok. Tetapi apapun yang kau tuduhkan padaku tadi, itu sama sekali tidak benar."

Ola merasa harus membela diri karena ia tidak ingin Nero terus-terusan berpikiran buruk tentangnya. Ia hanya berpikir bahwa setidaknya, ada orang yang benar-benar percaya bahwa ia tidak seperti yang dituduhkan selama ini.

Apa orang-orang selamanya harus memiliki pikiran negatif untuk setiap pencapaian yang diraih orang lain? Apa mereka tidak bisa melihat bagaimana selama ini kinerjanya? Bagaimana ia susah payah membuat laba perusahaan naik berkali-kali lipat daripada tahun sebelumnya? Bagaimana ia tetap berada di kantor ketika semua orang sudah pulang dan berada di apartemen mereka yang hangat?

It Takes Two To TangoWhere stories live. Discover now