5. Wajah Yang Tidak Asing

637 211 44
                                    

Jam kantor masih akan dimulai sekitar dua jam lagi, tetapi Nero sudah tidak ingin berada di rumah lebih lama. Rumah ini terlalu sepi dan dingin. Nero tidak suka berada terlalu lama di rumah yang menyimpan kenangan buruk baginya ini. Mungkin, ia akan mencari apartemen sendiri nanti selama tinggal di sini.

Ada banyak hal yang mengingatkannya pada masa kecilnya yang tidak indah. Ruang keluarga tempat Mama dan Dad selalu bertengkar. Ruang kerja tempat Dad mengurung diri setelah bertengkar dengan Mama. Sudut kecil di tangga tempat Nero menangis diam-diam, juga patio di belakang rumah yang kini kosong.

Sesungguhnya, Nero tidak tahu mengapa Dad membiarkan patio itu tetap ada. Semua foto Mama dan barang-barangnya, sudah Dad simpan di gudang yang tidak pernah lagi dibuka.

Hanya satu tempat itu yang menyimpan kenangan sangat nyata tentang Mama. Kuda-kuda kanvas, kaleng-kaleng cat yang sekarang, Nero yakin, telah mengering, berbagai ukuran kuas, semua masih sama seperti terakhir kali Mama pergi.

Sudah bertahun-tahun berlalu, dan tidak banyak perubahan yang terjadi dari tempat ia tumbuh besar ini. Hanya ada para pelayan yang memiliki waktu mereka sendiri di dapur setelah selesai mengerjakan tugasnya masing-masing.

Tidak ada yang mengajaknya bicara, atau mengobrol dengan hangat seperti yang selalu Nero dapatkan di rumah Muti. Atau mungkin mereka hanya segan, Nero tidak tahu. Namun, setiap sudut rumah besar ini, kecuali dapur, hanya berisi kehampaan.

Karena hal itulah, Nero memilih untuk berangkat ke kantor lebih cepat. Ia ingat jika dulu Dad pernah bilang padanya jika perusahaan Dad memiliki perpustakaan yang lengkap dan besar. Satu lantai penuh, di lantai dua gedung Goldman, berisi buku-buku apa saja yang bisa dibaca.

Dad memang sangat suka membaca, dan hal itu menurun kepadanya. Menjadi pustakawan di Bakti Bangsa adalah kebahagiaan baginya. Selain Muti, hanya buku yang bisa membuatnya bahagia. Dan ngomong-ngomong soal Muti, Nero belum mendengar kabar gadis itu.

Nero mengambil ponselnya, bermaksud untuk menghubungi Muti. Sudah dua hari ia di sini dan belum menghubungi gadis itu lagi. Terakhir kali ia pergi, Muti masuk ke rumah sakit karena stress akan kematian Dika, salah satu murid mereka, dan juga dengan pulangnya Damar bersama wanita lain.

Nero menemukan Muti pingsan di lab kesenian saat ia mencari-cari gadis itu. Nero membawanya ke rumah sakit, tetapi sebelum Muti sadar, ia mendapat telepon jika ayahnya masuk ke rumah sakit. Karena itulah ia meminta Damar datang untuk menjaga Muti. Itu jauh lebih baik daripada Muti terbangun dan melihatnya pergi.

Nero tidak ingin melihat Muti sebelum gadis itu bangun karena tahu jika dirinya akan sangat berat untuk pergi jika melihat mata Muti yang menatapnya. Ia juga ingin Muti berpikir jika Damar yang membawanya ke rumah sakit.

Mungkin saja itu akan memperbaiki hubungan mereka. Dua orang itu selalu saja berlagak tidak peduli satu sama lain. Nero berharap kepergiannya ini akan membuat mereka dekat lagi seperti dulu.

Ia baru saja akan mencari nomor Muti ketika ponsel di tangannya bergetar, dan nama Damar nampak di layarnya. Namun, bukannya mendengar suara Damar, Nero justru mendengar isakan Muti.

Nero kembali tersenyum ketika mendengar gadis itu terisak. Ia tahu itu hanya tangis palsu. Muti selalu seperti itu jika sudah kesal padanya dan ingin menceritakan sesuatu. Dasar si manja! Si manja yang sangat ia sayangi.

Tujuh tahun bukan waktu yang singkat untuk bisa bertahan dan mengesampingkan perasaannya sendiri. Nero akui itu sangat sulit. Untuk tetap menjadi sahabat Muti dan menyadari jika gadis itu tidak akan memiliki perasaan apapun padanya. Namun, ternyata ia memang pria masokis. Meskipun itu sakit, berada di sisi Muti juga telah menjadi kebutuhan hidupnya.

It Takes Two To TangoWhere stories live. Discover now