Kedai Cinderella

De dianafebi_

2.3M 296K 32.7K

Hidup Sabella Hasyim yang bak Cinderella itu jungkir balik ketika bertemu dengan Arshaka Shabiru, pria yang i... Mais

Prolog
1. Di kala Hujan turun...
2. Bertahan Meski Sakit
3. Bukan Sepatu Kaca
4. Aku bersedia
5. Kesepakatan
6. Air Mata Jatuh Saat Hujan
7. Alisa Shabiru
8 : Maju atau Menyerah?
9. Royal Wedding Day
10. Royal Wedding Day (2)
11. Labirin
12. Menaklukkan Hati Alisa
13. Panggilan
14. Sisi Lain Duda Gila
15. Kedai Cinderella
16. Aktor Ulung
17. Alisa, Please!
18. Bayangan Hitammu
19. Girls Power
20. Pelukan Manis
21. Sebuah Rasa
22. Terluka
23. See Your Heart
24. Roma, hari pertama.
25. Roma, Red Queen
26. Roma, The Show
27. Misi Menaklukkan Hati Alisa (2)
28. Like Real Family (Lavender's Blue)
29. Something in Your Eyes
30. Seorang Pria di Kedai
31. Deep Condolence
32. After That Touch
33. Miss him? No! maybe?
34. Because Of Him
35 : Nightware
36: His hands and My ears
37: I feel fool
38: Staring at Me
39 : Alisa and Her Past
40: Malaikat Putih Berjubah Merah
41: Pintu Labirin
42 : Turun Dari Panggung Impian
43: Hirkai Serif Odasi
44 : Hagia Sophia and Him
45 : Cappadocia
46 : Sunset Point
46 : Last Part (Crash Landing On You)
EXTRAPART 1
EXTRAPART 2
EPILOG
PASCA END DAN INFO VERSI HAPPY ENDING

EXTRAPART 3

29.2K 3.6K 653
De dianafebi_

Aku memejam begitu letusan pistol terdengar, seluruh tubuhku terasa kaku, jantungku berdebar hebat, pada detik ini tak bohong jika aku merasa takut. Namun, jika mengingat ini semua demi orang –orang yang aku cintai, aku melepaskan semua rasa ketakutan dan membiarkan malaikat Tuhan melaksanakan tugasnya.

Detik demi detik seolah melambat, suara teriakan, suara tembakan, suara bising dan bayangan kilatan lampu memaksaku membuka mata. Begitu aku membuka kelopak mata, Pak Shaka terlihat berlari kepadaku. Ada beberapa orang berseragam koppasus menembakan senjatanya kearah belakangku, ada lampu menyilau dari sisi kanan gedung, tiba-tiba dobrakan keras datang dari atap disertai dengan beberapa tembakan.

Begitu Pak Shaka merangkul bahuku dan menyeretku berlari, aku baru sadar bahwa aku lolos dari maut. Tidak ada rasa sakit yang aku rasakan. Sepertinya bantuan datang tepat waktu, tepat sebelum Antoni menembakkan pelurunya kepadaku. Pak Shaka membawaku keluar dari gedung, ternyata di luar gedung banyak mobil polisi, ambulance dan dua helicopter terlihat terbang kearah kami. Ini mungkin alasan Pak Shaka begitu tenang dan bilang untuk mempercayainya. Karena sebenarnya dia sudah menyiapkan bala bantuan untuk menyelamatkanku.

"Kamu terluka?" Pak Shaka menarik bahuku untuk menghadapnya begitu posisi kami jauh dari gedung yang saat ini sengit terjadi baku tembak.

Aku menggeleng.

"Syukurlah," dia tampak bernapas lega, tidak lama kemudian raut wajahnya berubah, "Kenapa kamu lakukan itu? Ha? Kenapa kamu tega sekali?" bentaknya.

"A—," aku terbata-bata karena terkejut dengan reaksinya.

"Antara kamu dan Alisa bukan pilihan, tidak ada yang harus dipilih. Kenapa kamu bodoh sekali dengan melakukan itu di depanku? Kamu membuatku takut, kamu tau itu?!"

Aku tidak tahu harus menjelaskan bagaimana, yang bisa aku lakukan hanya menangis. Bukan, bukan menyesal telah memilih keputusan tadi. Menyesal telah membuatnya ketakutan dan semarah ini. Aku menangis tergugu.

Detik berikutnya, tangan Pak Shaka menarik tubuhku untuk dipeluknya. Tangisanku menjadi dalam pelukannya, "Maafkan aku..." ucapku di sela-sela tangisan.

"Jangan pernah melakukan hal itu lagi, jangan mengorbankan dirimu demi aku. Daripada takut mati, aku lebih takut kehilanganmu. Kamu paham?" ucapnya dengan nada lebih lembut sembari memelukku erat dan membelai rambutku.

"Maafkan aku..."

"Its okay, its okay, Sayang. Its over, you save now," katanya menenangkanku, "aku yang minta maaf karena tidak bisa berbuat apa-apa saat melihatmu ditampar tadi. Itu tidak akan terjadi lagi, aku bersumpah demi nyawaku sendiri." Dia menarik wajahku untuk ditatapnya, kemudian satu kecupan lembut mendarat di keningku, "I'm sorry, really sorry."

Beberapa orang datang mendekati kami, salah satunya membawa selimut. Pak Shaka meraih selimut itu kemudian dipakaikan untukku, setelah itu kami berjalan menuju helicopter untuk pulang. Di dalam gudang sudah tidak terdengar baku tembak lagi, mungkin semua penjahat sudah dilumpuhkan. Aku sungguh tidak peduli kepada Antoni, meski sebenarnya aku menaruh rasa kasihan kepadanya.

"SABELLA!!!"

Aku menoleh kearah belakang, mataku membulat terkejut karena Antoni berteriak memanggilku sambil berlari dan menodongkan pistolnya. Aku tidak tahu bagaimana dia bisa lolos dan keluar dari gudang itu. Dalam sekian detik setelah aku menoleh, suara lentusan pistol terdengar, aku sempat melihat percikan api dari pistolnya.

DARR! DARR!

Aku memejam pasrah, namun seseorang memelukku menghalangi peluru menghujam ke tubuhku. Sekian detik setelah dua letusan itu terdengar, aku membuka mata dan terkejut melihat Pak Shaka yang menghadang peluru itu dengan tubuhnya. Dia ambruk kearahku, kami tersungkur ke tanah.

"Nggak, nggak, nggak..." aku mengangkat tubuhnya, menumpangkan kepalanya di pahaku, "Mas? Mas?" aku melihat darah mengalir, aku panik, beberapa kali aku mendekap kepalanya sambil menangis tersedu-sedu, mencoba membuatnya tetap tersadar.

Semua orang berlari kearah kami, petugas medis membawa tandu untuk membawa Pak Shaka ke helicopter. Aku berharap ini hanyalah mimpi, mimpi yang sangat buruk. Sambil berlari menemaninya menuju helicopter, aku terus memanggil namanya agar dia tetap mendengarku.

"Mas, stay with me, please! Aku mohon, don't close your eyes. Keep look at me!" aku memegang erat tangannya begitu helicopter terbang menuju rumah sakit terdekat.

"Jang—an ta—kut, aku tidak apa-apa. In—i ti—dak sa—kit," katanya di balik masker oksigen yang terpasang di wajahnya. Aku tahu dia berbohong, karena aku pernah di posisinya. Rasa sakit dari timah peluru membuat bernapas saja terasa ikut sakit.

"Shut up! Jangan banyak bicara, aku hanya memintamu untuk tetap sadar. Jangan melakukan apapun."

Tidak ada ketakutan yang luar biasa dari ini, detik waktu seolah melambat dan menyisakan harapan dan ketakutan yang berperang dalam dada. Melihatnya terkapar tak berdaya dengan dua timah peluru yang bersarang di tubuhnya. Menahan rasa sakit luar biasa demi membuatku tenang, pada kenyataanya itu tidaklah berpengaruh, bagaimanapun juga aku adalah orang yang mencintainya, orang yang tidak mau melihatnya terluka sedikitpun.

"Jangan khawatir, ak—u akan baik-baik sa—ja. Ini ti—dak sakit," dia melepas masker oksigennya.

Sialnya, bukan menurutiku dia malah membuatku semakin ketakutan hingga menangis tergugu melihatnya tersenyum di tengah menahan rasa sakit. Bahkan, dia masih sempat membelai rambutku mencoba membuatku tenang. Aku segera memasang masker oksigen itu kembali kepadanya.

"Kamu tidak akan meninggalkanku, kan? Jangan pernah lakukan itu!"

Dia menggeleng pelan, "Tidak akan."

Aku memegang erat tangannya dengan sesekali membelai kepalanya, memastikan dia tetap tersadar.

"Aku sangat mencintaimu, kamu tau itu, kan?"

Dia mengangguk pelan.

"Tetaplah sadar kalau kamu juga mencintaiku sebesar aku mencintaimu. Hm? Jangan menutup mata, jangan mengalah dari rasa sakit, jangan..." kalimatku terjeda isakan tangis, "Jangan coba meninggalkanku, bertahanlah, aku mohon."

Dia kembali mengangguk pelan. Meski begitu aku melihat matanya sudah setengah tertutup, aku tahu tidak akan mudah berjuang dengan rasa sakit itu. Tetapi, dia terus mencoba membuka mata meski mungkin terasa berat baginya.

Kenapa helicopter ini pelan sekali? Kenapa lama sekali tidak sampai-sampai di rumah sakit? Kenapa waktu lambat sekali berjalan?

Tuhan, aku mohon selamatkan dia. Selamat dia, Tuhan. Tolong, selamatkan dia.

***

Aku berlari di belakang brankar yang membawa Pak Shaka ke ruang IGD. Aku tidak peduli dengan bajuku yang penuh darah, aku harus tetap di sampingnya, aku harus terus mengingatkannya untuk terus bertahan. Bahwa aku ada di sini, menantinya dan mengharapkannya dalam keadaan baik-baik saja.

Aku ingin menjadi orang yang membuatnya terus berjuang dan bertahan untuk tetap bernapas dan tetap membuka mata.

Dokter dan perawat langsung menyambutnya, Pak Shaka langsung dipindahkan ke brankar perawatan di salah satu tirai IGD. Aku berdiri tak jauh dari tirai yang terbuka sedikit, di sisi kanan tirai. Aku melihat wajahnya jelas dari arah sini, dengan harap-harap cemas aku tak berhenti berdoa agar Tuhan memberikannya kesempatan.

"Siapkan ruang operasi!" intruksi salah satu dokter yang langsung membuat jantungku seperti diserang badai tornado, aku hanya bisa mengigit jari sembari terus merapalkan doa.

"Asystol!" teriak salah satu perawat, aku tidak mengerti apa artinya. Tiba-tiba semua tenaga medis yang menangani bergerak cepat, ada yang keluar mengambil sesuatu, ada yang naik kursi untuk menekan-nekan dada Pak Shaka.

Tuhan, please...

Tuhan, aku mohon...

Selamatkan suamiku...

Aku mohon dengan segenap jiwa dan ragaku.

"Defib!" jantungku terlompat-lompat setiap kali ada teriakan intruksi dari dokter yang menangani Pak Shaka.

"200 Joule!"

"200 Joule!"

"Clear?"

"Clear?"

Dokter menempelkan dua alat di dada Pak Shaka, detik itu juga dadanya terkejut naik. Layar monitor pendeteksi jantung masih menunjukan garis tak beraturan. Dokter kembali melakukan kejut jantung, hingga tiga kali.

"RJP!"

Salah satu perawat kembali naik kursi dan menekan-nekan dada Pak Shaka. Hingga dua orang bergantian. Dokter turun langsung, menekan-nekan dada Pak Shaka sampai beberapa menit.

Tiba-tiba Dokter turun dari kursi dengan gerakan lemas, menatap layar monitor yang menunjukan garis lurus. Detik itu lututku lemas, jantungku terpompa keras dan jiwaku terperangkap pada ketakutan yang luar biasa.

"Pasien Arshaka Shabiru, pada pukul 22 lewat 17 menit dinyatakan meninggal dengan diagnosa gagal jantung akibat syok hipovolemik berat. Semoga almarhum diterima di sisi terbaik Tuhan Yang Maha Esa. Aamiin."

Semua senyawa kimia dalam tubuhku seolah mati, waktu seolah berhenti berdetak dan menyisakan nyeri hebat luar biasa dalam dada. Dengan tertatih aku berjalan kearah ranjangnya, menatap wajahnya yang pucat kemudian pecahlah tangisku di dadanya.

"NGGAK! Jangan pergi! Jangan pergi! Kau sudah berjanji tidak pernah akan meninggalkanku! Kau sudah berjanji, Arshaka! Kau sudah berjanji!"

Aku harap ini hanyalah mimpi, mimpi buruk yang akan segera pergi ketika aku membuka mata di atas pembaringan dan saat mataku terbuka aku melihatnya di sampingku, tertidur pulas seperti bayi.

Tuhan,...

Boleh aku memaki-Mu?

Boleh aku memarahi-Mu?

Boleh aku membenci-Mu?

Sepuluh tahun yang lalu Kau mengambil Bunda dariku, tepat di hari ulangtahunku. Kepergiannya menyisakan luka bertahun-tahun hingga membuatku sesak setiap kali mengingatnya. Lalu, Kau menulis takdir kejamku dengan terjebak di istana neraka ibu tiri, setiap hari aku harus menahan pedihnya kehidupan yang Kau beri. Lalu, satu-satunya pengharapan perlindunganku, Kau ambil juga. Ayah pergi saat aku tak di sampingnya.

Sekarang, Kau ambil juga orang yang menjadi alasanku bernapas hingga detik ini. Jika Kau mengambilnya, alasan apalagi aku harus tetap bernapas? Alasan apa aku harus tetap melanjutkan hidup?

"Bangun... Bangunlah..."

Di kamar mayat yang dingin aku terus memintanya untuk membuka mata kembali. Mata elang yang dulu pernah kubenci hingga akhirnya aku puja setengah mati. Mata cokelat terang yang setiap pagi menyambutku dengan hangat. Mata sendu yang menenteramkan setiap kali hatiku gundah. Mata yang memberitaukan betapa banyak cinta yang dia simpan untukku.

Hingga tidak ada air mata yang dapat kukeluarkan untuk menangisi kepergiannya. Aku hanya duduk memeluk lutut bersandar pada dinding rumah, menatapnya terbujur kaku di ruang tamu. Tak peduli siapa yang datang melayat, tidak peduli siapapun mencoba membujukku bangkit hanya sekadar istirahat di kamar. Ini adalah detik-detik terakhirku bisa melihatnya langsung, aku tak ingin melewatkan satu detik pun untuk terus menatapnya.

Tuhan, kutanya sekali lagi...

Jika Kau benar mengambilnya? Alasan apa yang akan menahanku untuk tidak menyusulnya? Meninggalkan dunia yang teramat kejam ini.

"PAPA!"

Alisa tiba-tiba datang, gadis itu berlari sembari menjerit memanggil papanya. Pada detik itu juga Tuhan seolah memberiku jawaban, alasan apa aku harus tetap bernapas, tetap menjalani hidup dan menjadi alasanku untuk bangkit dari duka yang mendalam ini.

Aku langsung bangkit lalu memeluk Alisa, mencoba menenangkan tangisannya meski sebenarnya hatiku juga benar-benar hancur. Aku mengusap air mata gadis itu, menatapnya dengan seulas senyuman yang sangat keras kupaksakan. Yang pada akhirnya kembali pecah saat melihat betapa malangnya gadis kecil ini.

***

Sandiego Hills menjadi tempat peristirahatan terakhir Pak Shaka di samping makam ayahnya dan makam Oriana, keluarga Adhitama Jaya sudah membeli tanah makam itu untuk satu keluarga. Di samping makam Pak Shaka menyisakan satu tempat yang mungkin suatu saat nanti akan menjadi tempat peristirahatan terakhirku. Hm, aku tak akan pernah menikah lagi sampai aku mati nanti.

Pak Shaka pernah bilang, jika suami meninggal duluan dan apabila sang istri tidak menikah lagi, mereka akan kembali dip asangkan sebagai suami istri di surga nanti. Mereka akan dipertemukan dan dijodohkan seperti saat di dunia. Dan aku mau itu, mau menjadi istri yang akan ditemui nanti di Surga.

Pemakaman berjalan cepat karena dilaksanakan secara privat dan terbatas untuk sanak keluarga dan sahabat terdekat. Untuk kali pertama aku bertemu dengan ibu kandung Pak Shaka dan adiknya di pemakaman. Mereka tampak meratapi kepergiaan Pak Shaka, aku juga menyempatkan diri untuk menyapa meski hanya dengan bungkukan punggung. Tanpa sepatah katapun.

Banyak sekali karangan bunga terpajang di sepanjang jalan taman sampai pintu rumah, kebanyakan karangan bunga itu dari rekan bisnisnya di dalam dan luar negeri. Begitu sampai di rumah, aku langsung pergi ke kamar Pak Shaka. Kamar yang pernah kusebut kamar drakula.

Air mataku terburu tumpah di depan pintu kamarnya, sekelebat ingatan menggedor benak memaksa untuk diputar ulang. Aku menghalau air mata dengan menengadah sebentar kemudian memutar knop pintu lalu membukanya.

Kamarnya persis tidak berubah dari terakhir aku lihat, dinding berwarna abu-abu, lampu kristal, lampu ublik di setiap sudut kamar, lukisan bunga mawar dan kelambu raksasa yang pernah menjadi tempat persembunyianku kala itu. Apalagi aroma parfumnya masih tertinggal di sini. Hal itu yang membuat lututku lemas dan terjatuh ke lantai, tergugu menangis tidak ingin menerima kenyataan bahwa dia telah pergi, pergi untuk selama-lamanya.

"Aku butuh ibu untuk anakku. Maukah kau jadi ibu dari anakku?"

Di hari itu aku pertama kali bertemu dengannya. Hujan deras dan tiga cangkir kopi hitam tanpa gula menjadi saksi.

"Saya terima nikah dan kawinnya Sabella Hasyim binti Almarhum Faraz Hasyim dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!"

Detik itu terasa sakral bagiku meski pernikahan kami terikat sebuah kontrak, tetapi menatap punggungnya saat menjabat tangan penghulu untuk menikahiku membuat merinding sekujur tubuhku.

Tatapan intensnya, tatapan sendunya, senyuman iblisnya, senyuman manisnya, pelukan hangatnya, ciuman lembutnya. Semua terekam jelas di benak. Seperti baru kemarin aku mendapatkan hidupku yang paling bahagia, kini terenggut dalam sekejap.

"Kenapa kamu selalu menggambar love dengan warna biru?"

"Arti warna biru adalah kesetiaan dan ketenangan. Menurutku juga demikian, setiap melihat warna biru hatiku merasa tenang. Cinta seharusnya juga begitu, kesetiaan dan ketenangan. Kalau warna merah, otakku hanya mengarah pada amarah, obsesi, emosi dan darah. Maka dari itu, aku selalu memberi warna biru pada bentuk hati."

"Kupikir karena biru adalah namaku."

"Hm, mungkin itu juga bisa jadi alasan."

Perlahan aku bangkit, berjalan kearah ranjang. Mengusap lembut bantalnya. Menghirup aroma tubuhnya yang tertinggal. Tanahmu belum basah, tetapi aku sudah rindu setengah mati. Dadaku seolah teremas sesuatu yang tak kasat mata, terasa amat sakit dan sesak.

Aku merebahkan diri di pembaringan, menangis kembali untuk kesekian kali. Seolah dengan menangis, Tuhan berbaik hati menghidupkanmu kembali. Namun, itu hanya harapan yang tak mungkin terwujud. Aku terlelap tanpa tahu bagaimana itu terjadi.

Sekitar pukul satu malam, aku terbangun. Meringkuk memeluk lutut, berharap seseorang menelisipkan tangan diantara lenganku lalu berbisik, 'hey, I love you' yang dilakukan Pak Shaka setiap malamnya. Aku terlalu gila sampai benar-benar menunggu pelukan hangat darinya lagi, tersadar lagi-lagi itu hanyalah harapan kosong. Aku kembali menangis.

Tuhan, kenapa bukan aku saja yang pergi?

Aku menyesali hari di mana aku menjawab telepon dari Antoni, aku menyesali detik di mana aku berjalan kearah mobil Antoni, aku benar-benar menyesali hal itu. Andai, andai saja aku tak menjawab telepon Antoni, andai saja aku tak berjalan ke mobil Antoni, andai saja itu tidak pernah terjadi. Saat ini aku tak akan meringkuk menangisi kehilangan orang yang sangat aku cintai.

Mungkin, mungkin saja saat ini aku dan Pak Shaka melakukan rencana yang sudah kami buat. Dia membantuku di kedai untuk satu hari, liburan ke beberapa wisata lokal bersama David dan Nania, dan mungkin saja saat ini kami berdebat sengit masalah desain-desain baru Shabiru Mode. Mungkin, mungkin seperti itu jika pukul 22 lebih 17 menit dia tidak mengembuskan napas terakhirnya.

Dan, tiga hari lagi adalah ulang tahunnya. Aku ingin menghadiahinya sesuatu. Sesuatu yang dia nantikan selama ini. Sesuatu yang diam-diam dia harapkan. Sesuatu yang mungkin akan membuatnya tersenyum bahagia dan mungkin... menangis bahagia.

Yakni, ... hijab di kepalaku, dan...

....jejak cintanya yang tumbuh dalam rahimku...

***

TUHKAN, UDAH DIBILANGIN JANGAN LANJUT BACA, NGEYEL SIH.

DAH, LAH, TERAKHIR, NEXT SEKALIAN.

Continue lendo

Você também vai gostar

793K 37.1K 16
Sakit dan hancur, itulah yang Marsha rasakan saat ini. Indahnya pernikahan harus berakhir begitu cepat. Keutuhan keluarga kecil yang dibangunnya demi...
631K 32.7K 67
Gue Daniel Alfin Notonegoro. Gue punya segalanya. Semua cewek yang gue suka pasti suka juga sama gue kecuali satu orang, Annissa Larasati Dunn! Danie...
About Him (End) De f4iryj_1n

Ficção Adolescente

102K 8K 34
Bagaimana rasanya jika perasaan kalian hanya di jadikan sebagai bahan taruhan oleh seseorang? Sakit? Sedih? benci? Atau bahkan kalian ingin menampar...
3.1M 172K 22
Meski kita kembar aku bersyukur karena wajah kita tidak identik. Tapi kenapa selalu aku yang menyelesaikan masalah yang kamu buat dan kamu selalu men...