10 Days To Make Cassio Kisses...

By UpawPaw

11.7K 2.1K 1K

Semua gadis ingin rasanya bertukar badan dengan Skye Maxwell. Semua lelaki ingin rasanya mendapatkan kesempat... More

Things You Must Know, Dear
I'm a Queen of Party, and My Second Name is Troublemaker
Nothing Worse Than My First Day In Village
And I Was Born for Challenge
Day 1 : Breakfast Time, Kiddos!
Day 1 : Cassio is a Hard Nut to Crack
Day 2 : Waterfall and The Shirtless Cassio
Day 2 : It Started With an Apple
Day 3 : How To Do Your Laundry
Day 4 : Can I Kick Your Ass, Margot?
Day 4 : Trapped With an Enemy
Day 4 : Kiss Under Moonlight
Day 5 : A Jealous Boy
Day 5 : Dating Tips by Cassio Archibald
Day 5 : Welcome to Brighton City, Americans!
Day 6 : Who's Bitch?
Day 6 : An Amateur Spy (Part 1)
Day 6 : An Amateur Spy (Part 2)
Day 7 : Caught Red Handed
Day 7 : Well, I'm Screwed
Day 7 : The Another Jerk Namely Kyle
Day 8 : The Prince Charming's Triumph
Day 8 : A Ridiculous Truth
Day 9 : They Own That Pajero
Day 9 : Festival, and The Romantic Cassio
Day 9 : That's it. The Queen of Sabotage
Crying For A Thousand Years
And The Truth Revealed
Should It Be a Happy Ending?

Day 3 : The Another Crazy American

316 68 82
By UpawPaw

Rabu, 7 Agustus 14.25

          Aku bersyukur karena Cassio sama sekali bukanlah seorang psikopat yang berambisi menghabisi nyawa berhargaku kapanpun aku membuatnya murka. Terlebih-lebih, setelah aku menghancurkan seisi ruang cuci rumah keluarga Archibald berbekal kebodohanku. Semua orang tahu betul jika tindakanku nggak bisa dimaafkan.

           Mari gunakan mesin waktu, dan aku akan mendamparkan diri pada kejadian beberapa jam silam. Aku nggak tahu ruh baik macam apa yang menginvasi raga Cassio, sampai-sampai cowok itu nggak senewen ketika melihatku nggak bisa membereskan semua kekacauan yang kulakukan. Bahkan tanpa banyak protes, ia berhasil melakukan pencapaian mengagumkan—dengan membuat ruang cuci pakaian kembali mengilap hanya dalam waktu 15 menit.

          Tapi tetap saja aku salah. Cassio akan selalu menjadi dirinya sendiri, dan nggak mungkin ia mendadak menanamkan prinsip 'selalu baik hati seperti pacar Barbie' begitu saja. Setelah cowok itu menunjukkan bagaimana cara menjemur pakaianku dengan teknik dan posisi yang benar (Percayalah, ini agak memalukan karena dia turut mengawasiku yang menjemur celana dalam di detik-detik terakhir), Cassio mengatakan suatu hal yang membuat lidahku gencar mengucapkan sumpah serapah tanpa adanya suara.

          "Ketika stok sayuran mulai menipis, biasanya aku akan mengajak Alex untuk mengambil beberapa karung sayuran di perkebunan Paman Jo. Tapi mengingat kau sama sekali nggak memperlihatkan tanggung jawab atas kekacuan yang kau perbuat, kau akan menggantikan Alex."

           Saatnya kembali menggunakan mesin waktu imajinerku, untuk kembali pada masa sekarang. Menggunakan truk pick up milik Bibi Madie yang selama ini mendekam diri di dalam garasi, Cassio menyetir kendaraan roda empat usang ini melintasi jalur yang berlawanan dengan yang kulalui ketika bersepeda menuju toko sayur Archibald.

          Kurasa aku nggak perlu membuang-buang waktu untuk sekedar pamer, namun kuyakin kau tahu bahwa seumur hidup aku selalu mengendarai berbagai macam mobil mewah—yang membuat para pecinta otomotif sekalipun ingin sekali rasanya bertukar tubuh denganku. Kini, mari bandingkan dengan truk mini yang kutumpangi.

          Kendaraan ini memiliki suara deru mesin yang sangat berisik hingga aku mengkhawatirkan kesehatan kedua gendang telingaku di masa mendatang. Bahkan di saat Cassio memelankan kecepatan truk, mesinnya terbatuk-batuk—sampai aku aku cukup yakin benda beroda empat ini nggak akan memiliki umur yang panjang. Bagian terburuknya, aku nggak melihat adanya air conditioner di dashboard truk. Dan yang terakhir, interior kendaraan ini sama sekali terlihat nggak terawat. Aku bahkan bisa melihat busa menyembul di tepian jok kemudi yang diduduki Cassio. Terpampang jelas bahwa cowok itu sengaja menyiksaku dengan caranya sendiri. Karena bagaimanapun, menaiki truk ini sama saja dengan sebuah bentuk penghinaan.

         "Kau tahu, kan, ibumu selalu mendapatkan gaji yang sangat besar tiap bulannya. Apa salahnya dengan memiliki truk yang setidaknya jauh lebih baik dari ini?"

         Cassio menanggapi pertanyaanku dengan merotasikan kedua bola matanya yang gelap. "Crazy American, aku akan bertanya juga padamu. Apakah kau memiliki sebuah benda yang meskipun fisiknya sangat sederhana, namun menyimpan berjuta kenangan ternilai? Benda ini menjadi nggak ternilai, sampai kau nggak akan pernah menggantikannya dengan yang lain."

         Ketika aku berusia 10 tahun, hidupku hanya dikelelilingi oleh beberapa asisten rumah tangga yang dibayar mom dan dad untuk merawatku selama 24 jam penuh. Aku cukup asing dengan yang dinamakan kasih sayang orang tua, sehingga nggak heran aku sangat bahagia ketika memiliki teman bermain yang sebaya denganku. Kami selalu bermain tanpa mengenal waktu sepanjang hari, sampai aku nggak memedulikan eksistensi kedua orang tuaku. Ketika keluarganya memiliki tempat tinggal baru, teman kecilku itu memberiku sebuah kenang-kenangan yang sampai saat ini masih tergeletak manis di dalam kotak perhiasanku. Sebuah gelang manik-manik yang terbuat dari plastik. Nggak terlihat menarik, namun aku nggak bisa membayangkan seperti apa jadinya jika suatu saat aku kehilangan benda tersebut.

        Seketika aku menyesali pertanyaan sindiranku pada Cassio. "Jadi ... truk ini berarti sesuatu bagi Bibi Madie?"

        Tanpa menomor duakan fokusnya pada jalanan, Cassio menjawab, "Lebih dari sekedar berarti. Madie ... uh maksudku, ibu, sangat dekat dengan ayahnya."

         Kakek. Sayangnya aku nggak telalu mengenal beliau, karena mom dan dad terlalu sibuk bekerja sampai nggak sempat mendekatkan putri mereka pada seorang pria tua yang kini telah tinggal di alam lain.

         "Jadi, ibu mendapatkan truk ini sebagai hadiah dari kakekmu belasan tahun silam. Seperti yang kau ketahui, saat itu kondisi ibu belum semakmur keluargamu. Maka nggak heran jika ia memiliki susah dan senang bersama kendaraan legenda ini. Tapi tenang saja, ibuku tetap berencana membeli truk baru jika yang satu ini menghembuskan napas terakhir."

         Aku mengangguk, berlagak seakan aku menyimak setiap kata yang tercetus dari bibir ranum Cassio. Nyatanya nggak, karena satu hal yang jauh menyita perhatianku adalah sebuah fakta mengagumkan bahwa ini pertama kalinya kami mengobrol santai tanpa adanya tekanan untuk melakukan genjatan senjata.


***

         Aku nggak memiliki ide siapa gerangan Paman Jo, dan aku pun memiliki nol minat untuk mencari tahu lebih lanjut tentangnya. Satu-satunya hal yang kuketahui tentang pria itu, Paman Jo adalah seorang penyuplai toko sayur milik keluarga Archibald. Kami menempuh perjalanan jauh lebih dari setengah jam yang nggak mengasyikkan, untuk sampai di kediamannya. Percayalah, terjebak di dalam truk tua milik Bibi Madie selama itu nyaris membuatku mabuk darat.

        Cassio memakirkan truk di dekat pintu masuk sebuah gubuk berukuran raksasa. Gubuk tersebut bewarna merah terang yang sebetulnya meninggalkan kesan terlalu mencolok. Apabila melayangkan sorot mata ke arah seberang, maka aku dapat menemukan sebuah rumah yang nggak kalah besar dengan ukuran gubuk ini. Namun ukuran bukanlah menjadi alasan mayor mengapa bibirku nggak dapat terkatup.

         Arsitektur modern ala pemukiman di kota-kota besar-lah yang membuatku terperangah. Percayalah, aku nggak mengarang ketika berkata bahwa kediaman Archibald hanyalah seonggok batu kerikil apabila kusandingkan dengan rumah Paman Jo.

         Saat Cassio mematikan mesin truk, aku buru-buru bertanya, "Seberapa kaya orang yang kau sebut Paman Jo ini?"

          Cowok itu mengedikkan bahu. "Cukup kaya, sampai ia memiliki ratusan hektar lahan untuk ditanami berbagai macam sayuran yang kita butuhkan."

          Suara mesin truk ini memang mimpi buruk. Tidurmu nggak akan nyenyak apabila truk Bibi Madie melintasi halaman rumahmu, dan dari kejauhan saja kau bisa mendengarkan deru mesinnya yang payah. Aku berani berkata demikian, karena seorang pria tambun menyembul keluar dari sarang mewahnya satu detik semenjak Cassio mematikan mesin (Tanpa kami harus mengetuk pintu rumahnya terlebih dahulu).

          Aku menduga pria berkulit pucat dengan surai tipis berwarna jahe itulah yang berdiri di balik panggilan Paman Jo. Ia melambai pada kami berdua yang telah berjalan ke arahnya.

        "Apa yang kau butuhkan kali ini, Nak?" tanya pria itu setelah ia dan Cassio saling berjabat tangan. Senyum merekah di wajahnya yang bergelambir.

          Cassio melakukan pose favoritnya dengan menyurukkan kedua tangan ke dalam saku celana. "Kentang, bawang, paprika, dan lobak. Masing-masing satu karung, Paman Jo."

           Shit, apa sih yang pria tua ini dapatkan dengan menatapku lamat-lamat?

          "Tentu, setelah kau memberi tahu siapa gadis rupawan yang kau bawa ini, Cass." Sedikitpun aku nggak merasa tersanjung, sekalipun sanjungan ini disuarakan Paman Jo untukku seorang. Begini, dia adalah manusia berumur. Selain itu, caranya mengucapkan 'gadis rupawan' terdengar seperti berasal dari bibir seorang pedofil.

         Cassio mencuri pandang kearahku dalam hitungan nano detik. "Dia Skye Maxwell. Sepupuku yang berasal dari California."

           Astaga, kedua belah pipiku menghangat. Menghangat dalam artian yang menyenangkan. Bahkan sensasi ini menjalar hingga ke daun telingaku dan sulit untuk dikendalikan. Aku sama sekali nggak menduga akan mendengar Cassio menyebut namaku tanpa kesalahan pengucapan untuk pertama kalinya.

          Spontan aku menunduk, berusaha menyembunyikan wajah. Aku khawatir jika rona kemerahan berdenyar di kedua belah pipiku. Ini aneh, nggak biasanya aku mengalami hal seperti sekarang. Selama ini aku hanya mendengar panggilan Cewek Amerika dan Crazy American dari bibirnya-semenjak pertama kali aku tinggal bersama Cassio dan keempat saudaranya.

          Sebelum Paman Jo menyempatkan diri untuk menyahut, buru-buru aku memotongnya. "Maaf jika aku sedikit lancang. Namun, bolehkah aku meminjam toiletmu?

           Bukan tanpa alasan aku mengajukan permintaan itu. Pertama, aku sebetulnya mulai merasa bahwa kandung kemihku memang telah penuh, dan memberontak ingin dikosongkan. Yang terakhir, aku harus menyembunyikan wajah meronaku dari hadapan Cassio.

           "Tentu saja! Masuklah, dan tanyakan letak toilet pada siapapun yang kau temui—" Aku sudah terlanjur berjalan cepat meninggalkan mereka, sebelum Paman Jo menuntaskan kalimatnya. Dari pantulan bayangan yang kulihat di permukaan jendela, aku melihat Paman Jo dan Cassio mulai berjalan menuju gubuk merah di seberang.

           Ketika kakiku telah memijak undakan tangga, pintu masuk berdaun ganda di depanku mendadak terbuka lebar. Seorang cowok berwajah tampan, berdiri di ambang pintu. Kau pasti tahu seperti apa definisi tampan bagiku, yang memiliki selera tinggi jika berurusan dengan para cowok. Tubuh atletis, kulit eksotis berwarna kecoklatan, surai pirang seperti pasir di pantai Malibu, dan tulang wajah sempurna yang membuatnya memiliki tampang bak model sampul majalah. Kedua manik matanya yang berbinar-binar tertuju padaku.

           Aku hanya nggak menyangka akan menemui manusia dengan fitur tubuh yang indah di tengah-tengah pedesaan ini.

          "Demi perut buncit Paman Jo." Kedua alisku mencuat mendengarkan aksen Amerika yang cukup kental darinya.

            Tanpa mampu berkedip memerhatikan pahatan sempurna ciptaan Tuhan di depan wajahku, cowok itu berjalan mendekatiku dengan air muka kekaguman yang nggak terbendung.

           "Skye Maxwell berdiri satu meter dariku!"

           Oh, Ya ampun. Siram saja wajahku dengan air, supaya aku dapat memastikan bahwa aku sedang nggak bermimpi. Rasa-rasanya sesuatu telah menghilangkan cara kerja lidah dan pita suaraku, sehingga aku nggak dapat berkomentar apapun selain mempertanyakan bagaimana bisa ia mengenaliku. Atau barangkali ia salah satu dari jutaan pengikutku di sosial media? Jika benar, aku nggak akan terkejut.

           "Uh, hai?" Aku merapatkan kedua kaki, berusaha menahan keinginan terbesarku untuk menggunakan toilet.

           "Aku sedang menggunakan treadmill, ketika aku nggak sengaja melihat Paman Jo berbicara dengan seorang pemuda yang disampingnya berdiri seorang cewek. Dan cewek ini secara mengejutkan adalah Skye Maxwell, sang Ratu Pesta California."

            Bukan main. Pasti wajahku bersemu bak ketumpahan cat berwarna merah. Sebenarnya bukan hal baru apabila orang asing mengenaliku bahkan dari kejauhan. Pengaruh dan identitasku memang sudah cukup melambung tinggi, untuk mudah dikenali.

           Hanya saja, situasi berubah drastis ketika aku bermigrasi menuju sebuah pedesaan, dimana orang-orang menganggapku bukan siapa-siapa. Lalu tiba-tiba muncullah seorang cowok tampan yang membuat kupu-kupu bertebangan di perutku—hanya karena ia satu-satunya orang yang mengenaliku sebagai Skye Maxwell Sang Ratu Pesta California.

          "Hai, Skye. Aku Kyle. Tentu saja kau nggak bisa menebak siapa aku. Aku adalah salah satu pengikutmu di Instagram dan Twitter. Omong-omong aku masih keheranan dengan video dimana kau bermain truth or dare bersama si kembar Sprouse dan Zendaya. Maksudku, hell, kau bergaul dengan selebriti Cole-Dylan Sprouse, juga Zendaya!"

          Perasaan bahagia yang membanjiri rongga dadaku, membuatku lupa akan keinginan untuk buang air.

          "Kau nggak memiliki ide betapa senangnya aku bertemu dengan orang sepertimu disini, Kyle." Sama sekali bukan kebohongan. Enyah sajalah Cassio. Aku tentu membutuhkan jutaan Kyle ketimbang jutaan Cassio yang nggak pernah menganggap reputasiku.

          Namun aksen Amerika Kyle membuatku penasaran. "Kutebak kau buka warga asli disini."

           Kyle tertawa renyah. Ia menyandarkan bahunya di salah satu pilar penyangga beranda rumah Paman Jo. "Jesus, tentu saja bukan. Aku lahir dan besar di Los Angeles. Terjebak di tempat ini, karena orang tuaku mendadak sangat ingin menghabiskan musim panas bersama saudaranya. Paman Jo."

           Kabar ini melengkapi kegembiraanku. Kami sama-sama warga Amerika bersurai pirang yang terjebak di pedesaan antah-berantah—yang nggak memiliki sentuhan kemewahan ala perkotaan besar. Yah, memangnya apa yang bisa kau harapkan dari sebuah pedesaan? Tempat ini payah dan memuakkan di saat yang bersamaan.

           "Aku sampai sekarang nggak percaya bisa melihat cewek dengan status sosial serta ketenaran sepertimu berada di sini. Dan menaiki ... truk menyedihkan itu?"

            Ya ampun, kubur saja aku hidup-hidup. "Katakan saja aku telah membuat dad kesal, dan dia memberikan hukuman final dengan mengirimku kemari. Entah berapa lama, tapi aku harus tinggal bersama bibi dan sepupuku. Sama sekali bukan jenis liburan musim panas idaman."

           Aku nggak menyadari betapa dekatnya posisi kami berdua seiring berjalannya waktu. Aroma maskulin menyengat lubang hidungku, dan pemandangan kaus berkeringatnya membuat seluruh permukaan kulitku turut berkeringat dingin.

            "Ugh, ayahmu payah. Tapi setidaknya cukup melegakan setelah aku tahu jika cowok yang bersamamu itu hanyalah sepupumu. Dia sering sekali kemari untuk mengambil sayuran." Aku terkesan bisa melihat Kyle merona.

           Kyle merubah posisi bersandarnya. "Hei, bagaimana jika aku mengirimu pesan di Instagram? Aku memiliki beberapa rencana. Mungkin kita berdua bisa pergi mengunjungi kota terdekat, atau kemanapun yang kau inginkan," Kyle menatapku intens, "tentu saja menaiki mobil Paman Jo yang jauh lebih nyaman dan dingin daripada truk itu."

          Belum sempat aku mengiyakan dengan girang—laksana anak kecil yang diajak orang tuanya menuju taman fantasi, sebuah suara yang sangat kukenal menginterupsi percakapan kami. Kedua bola mataku lantas bergulir malas.

          "Kau ini ingin pulang atau nggak?" Siapa lagi jika bukan seorang Cassio Archibald, yang setiap detik kehadirannya mayoritas membuat darahku mendidih hebat? Seperti sekarang.

         Aku menoleh ke arah Kyle selagi aku mulai berjalan menjauhi beranda rumah Paman Jo. "Aku nggak akan tidur sampai kau muncul di kotak pesanku."

          Secara nggak harfiah, dadaku ditumbuhi berbagai macam bunga warna-warni ketika melihatnya nyengir kuda seraya mengerling. Ia melambai padaku, dan aku membalasnya.

           Saat aku dan Cassio telah menduduki posisi masing-masing di dalam truk, dengan wajah datar khas-nya ia berkata, "Keren sekali. Crazy American bertemu dengan Crazy American lainnya. Betapa sempurnya hidupku. Dikelilingi oleh sepasang remaja manja yang nggak tahu apa-apa selain bersolek."

           Atas nama Roh Kudus, apa sih masalah Cassio?![]

Continue Reading

You'll Also Like

570K 11.8K 56
Allea kembali ke Indonesia setelah 8 tahun untuk menemui calon tunangannya, Leonando. Namun Allea tidak tahu telah banyak hal yang berubah, termasuk...
8.5K 1K 40
SEKUEL THE DARK DESIRE : Kinara 'Ara' Hartono. 21.Agen muda Badan Intelijen Indonesia yang memiliki senyum cantik dan secerah matahari. Bertekad menj...
18K 2.5K 56
Alex : Si adonis dengan tatapan tajam. Keinginannya untuk membalas dendam pada akhirnya kalah oleh rasa cinta. Hana : Si pemikat dan pemberani. T...
738K 20.8K 55
Zanna tidak pernah percaya dengan namanya cinta. Dia hanya menganggap bahwa cinta adalah perasaan yang merepotkan dan tidak nyata. Trust issue nya so...