Before Wedding [END]

By wulankenanga

491K 43.5K 2.5K

Lentera selalu ragu akan pernikahan, ajakan untuk menikah berkali-kali dari sang pacar-Raka-tidak mampu mengu... More

Kata Pengantar
Prolog
BAB 1: Lelaki Pemilik Lentera
BAB 2: Catatan di Tepi Buku
BAB 3: Tetes Air Hujan yang Jatuh Pada Pundakmu
BAB 4: Aku Akan Mencintaimu; Kalau Itu Memang Perlu
BAB 5: Secangkir Kopi Tak Bertuan
BAB 6: Ampas Kopi yang Tersisa Pada Sudut Bibir
BAB 7: Lekuk Lelah Pada Lengan Kemeja
BAB 8: Keraguan
Bab 9 : Secangkir Lemon Hangat
BAB 11: Nadin di Kala Kemarau
BAB 12: Dua Piring Salad di Pagi Hari
BAB 13: Kau Mau Menjadi Kekasihku?
BAB 14: Sepucuk Cerita Masa Lalu
BAB 15: Kopi Dingin dan Mi yang Mengembang
BAB 16: Lelaki yang Mendengkur
BAB 17: Lelaki di Bawah Rintik Hujan
BAB 18: Menguatkan
BAB 19 : Merenggang
BAB 20: Ingkar Janji
BAB 21: Rahasia Lentera
BAB 22: Desau
BAB 23: Jemari yang Saling Bertaut
BAB 24: Untuk Waktu yang Telah Berlalu
BAB 25 : Secangkir Teh Melati tanpa Gula
BAB 26: Kau Tahu, Aku tak Suka Hujan
BAB 27: Trauma
BAB 28: Aroma Cemara pada Lantai Rumah Sakit
BAB 29: Awal Kulminasi
BAB 30: Ada Berapa Jenis Cinta Buta?
BAB 31: Kopi Kedua
BAB 32: Menunda
BAB 33: Ketika Lelaki Membutuhkan Waktu
BAB 34: Kulminasi
BAB 35: Rahasia, Rahasia, dan Rahasia
BAB 36: Menjadi Manusia Seutuhnya
BAB 37: Sebelum Pernikahan
BAB 38: Akuisisi (FINAL)

BAB 10: Pertemuan

11.3K 1K 65
By wulankenanga

"Saya suka membaca tulisan Mbak Lentera di Nyala Lentera."

Renata berbicara sembari membetulkan letak kausnya. Ia memasukkan ujung kaus berwarna putih dengan tulisan Aku Cinta Malang tersebut ke celana jins yang dikenakannya. Dia dan Lentera sedang bersiap-siap untuk kembali ke Surabaya. Lentera sendiri sedang mengeringkan rambutnya dengan hair dryer. Dia mendengarkan Renata bercerita, tanpa terlalu banyak menanggapi.

"Saya membaca tulisan Mbak pertama kali di HaloNona, lalu nama mbak sering muncul di beberapa media. Akhirnya, saya iseng mencari tahu mengenai Mbak Lentera di Google."

Renata mengepak baju kotornya dalam kantong serut berwarna putih. Semalam, Dion membeli beberapa potong kaus untuk mereka atas perintah Gilang. Lentera sendiri memakainya untuk tidur, karena dia membawa baju ganti.

"Saya penasaran, Mbak Lentera belajar menulis dari mana?" tanya Renata. Dia terus berbicara, meskipun Lentera tak menanggapi.

Lentera mematikan hair dryer, melipat talinya, dan mengembalikannya ke laci hotel. Lalu, dia menyanggul rambutnya. Dengan begitu, lehernya terlihat dengan jelas. Lalu, Lentera menata kembali isi tas ranselnya.

"Otodidak," jawab Lentera. Dia bukannya tidak mengindahkan kalimat Renata dan cerita-ceritanya, hanya saja, dia tidak tahu harus berkomentar apa. "Sama seperti penulis lain, otodidak. Berlatih."

Renata tertawa. Lentera mengerutkan keningnya. "Maaf, Mbak Lentera mirip sekali dengan Pak Gilang. Tanpa basa basi."

"Kau sudah lama bekerja di LM?" tanya Lentera. Lentera menutup ranselnya, meletakkan ke atas ranjang. Lalu, dia membawa tasnya tersebut dan meraih jaket. Renata, melakukan hal yang sama. Mereka berdua keluar dari kamar hotel, menuju lobi.

"Baru enam bulan, Mbak," jawab Renata, ketika keduanya berada di dalam lift. "Saya baru tahu HaloNona ketika bekerja sama dengan LM, tahu gitu, dulu saya melamar kerja di HN saja."

Lentera tertawa kecil. "HN tidak bisa menggaji karyawannya sebaik LM," balas Lentera.

Renata tertawa. "Paling tidak, di HN lebih banyak perempuan!"

"Kenapa?"

"Tahu sendiri, Mbak, bekerja dengan laki-laki lebih banyak menguras tenaga daripada tidak. Apalagi berurusan dengan Pak Gilang," tambahnya. "Omong-omong."

Lentera menoleh ke arah Renata. Dia menunggu kalimat selanjutnya dari perempuan itu. "Mbak Lentera dan Pak Gilang tidak ada hubungan khusus, kan?" perempuan itu memiringkan kepalanya. Seperti, Ers dan perempuan di sekitar Gilang yang lain. Renata menaruh minat pada atasannya. Lentera mendesah. Pada akhirnya, pembicaraan Renata pada titik ini.

"Tidak ada," jawab Lentera biasa. Wajah Renata terlihat lebih cerah, tetapi perempuan itu belum juga puas dengan jawaban Lentera.

"Semalam, saya melihat unggahan foto Pak Gilang di akun instagramnya. Saya yakin, pada foto tersebut siluet dari Mbak Lentera."

Lentera terselamatkan oleh pintu lift yang terbuka. Mereka berdua sudah sampai pada lobi hotel. Maka, Lentera meninggalkan lift, tanpa berniat menanggapi kalimat Renata. Baginya, kalimat tersebut tak perlu ia tanggapi. Itu sebuah pernyataan, bukan pertanyaan.

***

Gilang dan Dion sudah berada di lobi hotel. Mereka menunggu Lentera dan Renata turun. Ketika melihat Lentera dan Renata sampai di lobi, Gilang menghampiri perempuan-perempuan itu.

Lebih tepatnya, Gilang menghampiri Lentera.

"Kau denganku, ya," tukas Gilang, tepat di depan Lentera. Sebelum Lentera sempat merespon, Gilang sudah meraih tas Lentera dan berbalik ke arah Dion. "Kau sama Renata, nanti makan siang di perjalanan saja. Aku telepon."

"Siap, Bos!" jawab Dion.

"Aku berangkat bersama Dion, pulang aku mau sama dia juga," ucap Lentera, menghampiri Gilang.

"Ada hal yang ingin aku bicarakan dengan kau," tukas Gilang. "Mengenai kerja sama kita," tambahnya. Lalu, lelaki itu memasukkan tas Lentera ke dalam mobil di kursi belakang. Dan, dia membukakan pintu di samping kemudi untuk Lentera. "Cepatlah."

Lentera memejamkan matanya, mendesah. Ia tak memiliki pilihan lain. Lalu, Lentera masuk ke dalam mobil Gilang. Lelaki itu menutup mobil, kemudian memutar dan masuk ke dalam mobil pada kursi kemudi.

"Aku tahu, pembicaraan mengenai kerja sama itu hanya alasanmu saja," ucap Lentera. Mereka sudah jauh dari hotel, mendahului Dion dan Renata.

Gilang tertawa kecil, "Aku tidak mau kembali ke Surabaya seorang diri," ucapnya. "Lagi pula, aku tidak berbohong mengenai pembicaraan kerja sama kita."

"Oh ya?" sahut Lentera. Perempuan itu tersenyum.

Gilang membelokkan mobilnya ke sebuah rumah makan. Tempat tersebut memiliki halaman parkir yang luas. Pada sisi kanan, terdapat bangunan yang digunakan untuk rumah makan. Pada sisi kiri, merupakan pusat oleh-oleh. Tempat tersebut ramai, terlihat dari tempat parkirnya yang penuh dan beberapa orang yang keluar masuk rumah makan.

"Yon, kita di rumah makan setelah pom bensin, ya," tukas Gilang. Lelaki itu menelepon Dion, untuk menyusulnya. "Kita makan siang dulu."

Lentera mengangguk, melepaskan sabuk pengaman dan meraih tas selempang putih dengan bertuliskan "Aku Cinta Malang". Tas tersebut dibelikan oleh Dion, sekalian ketika membeli kaus.

Perempuan itu hendak membuka pintu mobil, tetapi Gilang sudah membuka pintu tersebut. Lentera tersenyum kecil pada Gilang, lalu dia turun mengikuti lelaki itu.

Di dekat pintu masuk rumah makan, ada seorang kakek yang berjualan kerupuk nasi. Kakek tersebut duduk sembari menawarkan dagangannya. Ia membawa satu kantung penuh kerupuk nasi, yang dikemas dalam plastik yang lebih kecil. Lentera melihat Gilang menghampiri kakek tersebut, berjongkok menyamai si kakek.

"Sudah makan, Kek?" tanya Gilang. Lelaki itu mengambil satu kemasan kerupuk nasi, membukanya, lalu memakannya.

"Belum, Nak," jawab Si Kakek.

Gilang terus memakan kerupuk nasi tersebut, lalu dia mendongak, melihat ke arah Lentera. "Mau?" Lentera ikutan jongkok di sebelah Gilang, meraih kerupuk nasi pada kemasan yang sudah dibuka oleh Gilang.

Tepat pada saat itu, Dion dan Renata datang. "Yon, bawa kerupuk-kerupuk ini, ya," kata Gilang pada Dion. Dion yang baru saja datang, sedikit terkejut. "Masukin mobil."

"Semua?" tanya Dion. Gilang mengangguk. "Mobil siapa?"

"Mobil kaulah," sahut Gilang. "Besok bawa ke kantor."

"Oke, Bos!" sahut Dion. Lalu, dia membawa satu kantong berisi kerupuk tersebut ke dalam mobil.

"Berapa semuanya, Kek?" tanya Gilang. Kakek tersebut menjawab, lalu Gilang mengeluarkan uang dari dompetnya dan diserahkan pada si kakek.

"Matur nuwun, Nak," ujar Si Kakek. Wajah kakek tersebut terlihat teduh dan penuh rasa terima kasih.

"Makan dulu, yuk, Kek," ajak Gilang. Kemudian, Gilang membantu kakek tersebut untuk berdiri.

***

Lentera makan siang dengan nasi pecel, ditambah dengan ekstra peyek, sate komo dan kerupuk nasi yang mereka beli tadi. Dia duduk satu meja dengan Renata dan Dion. Di sela-sela suapannya, Lentera melihat ke arah Gilang. Lelaki itu duduk di luar rumah makan bersama si kakek penjual kerupuk nasi, tepatnya di lokasi kakek tadi berjualan.

Awalnya, Gilang mengajak si kakek makan di meja, di dalam rumah makan. Tapi, kakek tersebut menolak, katanya malu. Akhirnya, Gilang menemani si kakek di luar. Keduanya terlihat sangat akrab, Gilang sesekali tertawa di sela-sela suapannya. Begitu pula kakek tersebut, dia bercerita banyak dengan Gilang.

"Apa dia selalu begitu?" tanya Lentera, entah kepada siapa. Dia duduk di sebelah Dion, menghadap ke arah luar.

Dion mengikuti arah pandang Lentera. "Gilang sering begitu. Sebelum meeting, dia menyuruh anak kantor mencari camilan, tetapi tidak boleh beli di minimarket maupun supermarket," cerita Dion. "Jadi, kami terkadang memborong ibu-ibu penjual semanggi, pentol tusuk yang kebetulan lewat depan kantor, atau terkadang beli kerupuk."

"Jadi kalian tidak pernah diajak makan ke restoran?" ujar Lentera.

"Sering," sahut Dion dan Renata hampir berbarengan.

"Biasanya akhir bulan, sebelum gajian," Renata menyahut. "Pak Gilang bakalan ajak ke restoran, semua yang bekerja di LM," tambahnya, "termasuk mbak-mbak yang bersih-bersih di kantor dan satpam."

"Penulis lepas juga diajak," tambah Dion.

Lentera menghabiskan makan siangnya, dengan sesekali melihat ke arah Gilang. Diam-diam, dia mengagumi lelaki itu. Dia mendesah. Dia tidak menyangka, akan banyak sisi baik Gilang yang akan dia ketahui. Dia takut, dengan terus menerus mengetahui hal-hal ini, dia akan berpaling dan meninggalkan Raka.

***

"Kau mudah akrab dengan orang lain."

Setelah perjalanan selama dua jam, akhirnya mereka sampai di Surabaya. Tepat ketika mobil Gilang keluar dari jalan tol, Lentera membuka suara. Sedari tadi, perempuan itu memilih tidur. Seperti yang dilakukannya ketika berangkat ke Malang.

"Maksud kau dengan kakek tadi?" begitu tanggapan Gilang.

"Kau ramah, murah senyum, dan tentu, bisa mengendalikan suasana," tambah Lentera. "Wajar apabila banyak perempuan yang salah paham denganmu."

"Salah paham?"

Lentera mengangguk, dia melihat ke arah Gilang. "Tapi, kau pasti sadar banyak perempuan yang berharap mendampingimu."

"Sangat sadar." Gilang terkekeh. Lentera tahu, tingkat kepercayaan diri Gilang sangat tinggi. Lelaki mana pun akan merasa kecil di dekatnya dan perempuan mana pun ingin mendampinginya.

"Serius?" Lentera tertawa tanpa suara. "Kau menyadari hal itu dan terlihat sangat menikmatinya."

"Kenapa tidak?" jawab Gilang. "Kita akan menua; wajah keriput, pikun, tenaga terkuras, banyak organ tubuh kita yang akan melemah. Kenapa harus mempermasalahkan, hal-hal semacam ini, Ra? Apa salahnya berbuat baik, kepada siapa pun itu. Bersikap ramah, kalau memang diperlukan. Toh, aku tidak melakukan itu untuk keuntungan pribadi."

"Kalau perempuan-perempuan itu tertarik padaku, itu di luar kendaliku," tambahnya. "Kenapa? Kau sudah menjadi salah satunya?"

Lentera tak langsung menjawab, dia menatap Gilang beberapa detik, lalu sebuah pesan masuk. Dia mengalihkan perhatiannya.

Sampai mana?

Itu pesan dari Raka. Selang beberapa detik, sebelum Lentera membalas pesannya, lelaki itu menelepon.

"Sudah sampai Surabaya, nih. Mungkin sekitar lima belas menit sudah di rumah," tukas Lentera. "Iya, sudah makan."

"Lang, aku turun di sini saja," ucap Lentera setelah menutup telepon.

"Kenapa?" selidik Gilang. "Mau bertemu Raka?" Lentera mengangguk. "Aku antar."

Lentera menoleh ke arah Gilang. Dia mengira salah mendengar kalimat Gilang. "Apa?"

"Aku antar bertemu Raka," ulang Gilang.

"Tidak perlu, biar ...."

"Aku antar, Ra," sahut Gilang. "Katakan saja ke mana, aku antar. Kau tanggung jawabku saat ini. Aku tidak mau menjadi laki-laki berengsek, hanya karena menurunkan kau di tengah jalan."

***

"... aku tidak mau menjadi laki-laki berengsek, hanya karena menurunkan kau di tengah jalan."

Kalimat Gilang membuat Lentera tertegun. Dia bercerita kepada Raka bahwa dia ke Malang bersama karyawan Lentera Media. Sedangkan, ketika Gilang menyusul ke Malang, Lentera tidak bercerita kepadanya. Tentu saja, ada perasaan cemas yang bergelayut di dalam dadanya. Raka mengetahui mengenai perjodohannya dengan Gilang, pun ketika perjodohan itu berakhir. Tapi, Lentera tidak tahu bagaimana perasaan Raka, ketika dia masih berurusan dengan Gilang.

Kedua lelaki itu, mengetahui nama masing-masing dari cerita Lentera. Keduanya, belum saling bertemu. Mungkin, sore ini akan menjadi pertemuan pertama mereka. Lentera tidak tahu, bagaimana perasaan Gilang maupun Raka nantinya. Akan tetapi, dia tak bisa menolak kemauan Gilang untuk mengantarnya.

Lentera mengatakan pada Gilang, ke mana dia harus turun. Maka, Gilang mengantarkan Lentera ke indekos Raka. Lentera hanya berharap, Raka tidak sedang di luar, agar dia tidak merasa bersalah kepada keduanya.

Ehm, kenapa dia harus merasa bersalah? Hubungan Gilang dengannya sudah berakhir dan kini, sekadar hubungan bisnis.

Apa yang kita pikirkan, tak sengaja terucap dalam hati, seperti sebuah doa. Lentera melihat Raka di luar indekosnya, lelaki itu menenteng sekantung plastik camilan. Jantung Lentera berdebar, seakan dia melakukan kesalahan fatal. Atau memang, dia melakukannya.

"Itu Raka," lirih Lentera.

Gilang tidak menanggapi, dia mematikan mesin mobil dan menunggu.

"Aku akan keluar," tukas Lentera. Dia luar biasa canggung. "Terima kasih."

"Oke."

Lentera membuka pintu mobil, di saat itu, Raka melihatnya. Lelaki itu menghentikan langkah dan menunggu.

Gilang ikut turun dari mobil, berjalan ke belakang, mengambil tas Lentera. Kemudian, dia menghampiri Lentera, yang kini sudah berhadapan dengan Raka. Gilang melihat Raka tersenyum pada perempuan itu, menyentuh telinganya.

"Aku rindu," begitu ucap Raka. Lentera membalasnya dengan senyum.

"Tas kau," ujar Gilang, membuat Raka melepaskan tangannya dari Lentera. Lalu, keduanya saling memandang.

"Ah, ya, maaf," ucap Lentera. Di saat ia akan meraih tasnya, di saat itu pula Raka meraih tas tersebut.

"Terima kasih," ucap Raka. Nadanya tulus, namun penuh penekanan. "Sudah mengantar Lentera."

"Sudah tanggung jawabku," sahut Gilang. Dia mengulurkan tangannya ke arah Raka. "Aku Gilang."

Raka menyambut uluran tangan tersebut. "Raka."

Lentera melihat kedua lelaki itu begitu santai, mereka sangat pandai membawa suasana. Jabat tangan itu terjadi beberapa detik saja, namun membuat Lentera berdegup hebat. Untungnya, dia pun bisa menguasai diri, tak melakukan tindakan bodoh. Mungkin, masalah yang akan timbul adalah ketika Gilang menghilang, entah apa yang akan dikatakan Raka.

Gilang tersenyum, lalu berkata, "Oke. Aku duluan."

Sepeninggal Gilang, Raka melihat ke arah Lentera. Lentera tahu, tatapan itu ingin penjelasan.

***

Lentera dan Raka sangat jarang bertengkar, apalagi pertengkaran masalah sepele. Bahkan, ketika Lentera bercerita bahwa dia akan dijodohkan pun, Raka menanggapinya dengan biasa saja. Dia selalu berkata, "Aku percaya pada kau."

Lentera sendiri tak tahu bagaimana perasaan Raka, ketika mengetahui mengenai Gilang. Ketika dia menemukan catatan Gilang pada bukunya pun, Lentera tidak tahu bagaimana perasaan Raka. Lelaki itu tertutup, dia hanya sering berkata, mencintai Lentera. Tapi, ketika dia tersakiti, dia menahan diri.

Raka berjalan mendahului Lentera, lelaki itu membawa tas ransel milik Lentera pada bahu kirinya dan kantung belanjaan pada tangan kanannya. Dia berjalan tanpa menunggu Lentera, karena dia tahu, perempuan itu akan mengikutinya.

Indekos Raka berada di lantai dua, mereka melewati anak tangga, berjalan ke arah paling ujung. Pada ujung lorong merupakan kamar indekos Raka.

Raka membuka pintu kamarnya, meletakkan tas ransel Lentera pada sisi ranjang beserta kantung plastik berisi camilan. Lalu, dia menghadap ke arah Lentera.

"Jadi, dia lelaki yang dijodohkan denganmu," tukas Raka. Lentera tahu, Raka akan membahasnya. Dia tak bisa berharap lebih, agar lelaki itu tidak membahasnya.

"Perjodohan kami sudah berakhir," ralat Lentera. "Kami rekan bisnis," tambahnya. "Aku ke Malang urusan pekerjaan, Ka."

"Berdua saja? Kau bilang ...."

"Tidak," sahut Lentera. "Seperti yang kuceritakan kemarin, aku bersama Dion dan Renata, anak LM."

"Lalu?" tuntut Raka. Lelaki itu terlihat tenang, tetapi dia tengah menahan emosi. Selama ini, dia menahan diri. Menganggap semua baik-baik saja. Tapi, melihat Gilang secara langsung, membuatnya terusik.

"Malamnya Gilang menyusul," cerita Lentera.

"Lalu?"

"Hanya itu."

Raka hendak membalikkan badannya, tetapi Lentera meraih tangan lelaki itu. Kemudian, dia memeluknya.

"Kami sekadar rekan kerja. Oke?" ucap Lentera sembari melihat ke arah Raka. Dia masih memeluk pinggang lelaki itu.

"Bisakah kau tidak berurusan lagi dengannya?"

"Maksud kau, tidak bekerja di HaloNona?" tanya Lentera. "Itu tidak mungkin, kau tahu itu."

"Oke," Raka menarik napas kemudian mengeluarkannya. "Atau paling tidak, jaga jarak."

"Ka, aku tidak bisa menjanjikan itu," tukas Lentera. "Setelah kerja sama kami selesai," lirihnya. "Bersabarlah sampai kerja sama kami selesai. Bisa?"

Raka mengangguk. "Ra, pikirkan kembali mengenai permintaanku. Kita menikah. Oke?"

"Ka ...."

"Pikirkan dengan serius. Aku mohon. Hm?" ucap Raka, dia menempelkan dahinya pada dahi Lentera. Mereka berbagi udara yang sama. Lentera hanya memejamkan mata. Dia tidak tahu harus berkata apa.

"Ra, aku mohon."

"Oke," ucap Lentera akhirnya. "Akan aku pikirkan, mengenai kita. Pernikahan kita. Akan aku pikirkan."

***

"Oke," ucap Lentera akhirnya. "Akan aku pikirkan, mengenai kita. Pernikahan kita. Akan aku pikirkan."

Ada kelegaan luar biasa di hati Raka ketika Lentera akhirnya mempertimbangkan keinginannya untuk menikah. Raka ingin memiliki Lentera seutuhnya, tak ingin berjauhan lagi dengan Lentera. Lebih tepatnya, dia ingin membawa Lentera ke Bandung, ke rumahnya, orang tuanya.

Di Bandung Raka memiliki agen perjalanan yang baru berjalan selama enam bulan. Agen perjalanan itu dia dirikan dengan rekan kerjanya. Alih-alih Surabaya, Raka memilih di Bandung, di kampung halamannya. Di Surabaya Raka hanya pendatang untuk bekerja di salah satu pabrik. Setelah resign, Raka menekuni agen perjalanan dan fokus menjadi bloger jalan-jalan. Dengan kata lain, Raka indekos di Surabaya hanya untuk dekat dengan Lentera.

Lelaki itu tak mungkin pindah ke Bandung, yang berarti pertemuannya dengan Lentera akan semakin berkurang.

Pada kenyataannya, usaha Raka untuk selalu dekat dengan Lentera tak semulus perkiraannya. Pekerjaanya sebagai travel blogger mengharuskan dia datang ke berbagai tempat, baik karena memenuhi undangan sponsor maupun tidak. Belum lagi mengurus agen perjalanannya di Bandung. Raka merasa kecolongan, ketika melihat Lentera diantar Gilang ke indekosnya.

Lelaki itu, ketika menjabat tangannya, membuat Raka tahu. Gilang tipe orang yang bekerja keras untuk keinginannya. Sebagai lelaki, Raka pun tahu. Yang diinginkan Gilang adalah kekasihnya, Lentera.

Maka, Raka meminta Lentera untuk menikah dengannya.

Continue Reading

You'll Also Like

919K 99.4K 49
Kehidupan Dinar Tjakra Wirawan berubah, setelah Ayah dan kakak laki-lakinya meninggal. Impiannya yang ingin menjadi seorang News anchor harus kandas...
9.2M 779K 35
"Seperti Ibram yang kerap datang dan pergi, meninggalkan jejak kehadirannya di setiap sudut apartemenku, di sweater yang selalu menemaniku tiap malam...
2.1M 164K 32
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...
4.1K 462 7
Sakura masih mencintai Uchiha Sasuke. Tapi pemuda yang Sakura kenal tidak seperti dulu lagi. Angkuh dan menyeramkan itu tidak ada lagi di kehidupan...