SEMESTA

By hfcreations

1.8M 187K 16.3K

Bintang, kerlap-kerlip yang menghiasi malam. Bintang dengan cahayanya yang terang dan Bintang yang selalu men... More

SEMESTA 1
SEMESTA 2
SEMESTA 3
SEMESTA 4
SEMESTA 5
SEMESTA 6
SEMESTA 7
SEMESTA 8
SEMESTA 9
SEMESTA 10
SEMESTA 11
SEMESTA 12
SEMESTA 13
SEMESTA 14
SEMESTA 15
SEMESTA 16
SEMESTA 17
SEMESTA 18
SEMESTA 19
SEMESTA 20
SEMESTA 21
SEMESTA 22
SEMESTA 23
SEMESTA 24
SEMESTA 25
SEMESTA 26
SEMESTA 27
SEMESTA 28
SEMESTA 29
GIVE AWAY
SEMESTA 30
SEMESTA 31
SEMESTA 32
SEMESTA 33
PENGUMUMAN
SEMESTA 34
SEMESTA 35
SEMESTA 36
SEMESTA 37
SEMESTA 38
SEMESTA 39
SEMESTA 40
SEMESTA 41
SEMESTA 42
SEMESTA 43
SEMESTA 44
SEMESTA 45
SEMESTA 46
SEMESTA 47
SEMESTA 49
SEMESTA 50
SEMESTA 51
SEMESTA 52
SEMESTA 53
SEMESTA 54
SEMESTA 55
SEMESTA 56
SEMESTA 57
SEMESTA 58
SEMESTA 59
SEMESTA 60
SEMESTA 61
SEMESTA 63
SEMESTA 64
SEMESTA 65
SEMESTA 66
SEMESTA 67
SEMESTA 68
SEMESTA 69
SEMESTA 70
SEMESTA 71 [TAMAT]
EKSTRA PART 1
SEMESTA 48

SEMESTA 62

12.9K 1.3K 62
By hfcreations

Sebut saja Bintang yang terlalu baik. Pasalnya, setelah ajang curhat yang melibatkan perasaan. Hal selanjutnya yang bahkan tanpa dosa Bumi lakukan adalah meninggalkan Bintang, dengan sapu sihir yang kini sudah beralih kepemilikan.

Alasannya. "Gue mau ke toilet bentar. Pegangin dulu sapu gue."

"Kak Bumi nggak bakalan kabur, kan?" Curiga Bintang sambil memicing tajam.

"Tenang aja. Gue nggak bakalan kabur. Asal lo tau, gue ini kakak kelas yang bertanggung jawab," ucap Bumi bangga.

Ck! Kakak kelas bertanggung jawab? Kepala onta meledak! Lihat saja. Bahkan setelah lima belas menit terlewatkan. Batang hidung Bumi belum juga kelihatan.

Sialan memang. Dan lebih-lebih sial lagi. Mengapa juga Bintang dengan mudahnya percaya. Astaga...

Lama-lama menunggu, Bintang mulai bosan. Juga, daun-daun baru yang berguguran seperti kasihan melihat kemalangan Bintang. Kasihan.

Sambil menghembuskan napas kasar, mata Bintang tertuju pada sapu yang masih setia digenggaman. Iya. Tak lain, tak bukan. Dirinya dikerjai lagi.

"KAK BUMI..." Murka Bintang tampak geram.

"Ini nih, filosofi yang pas. Dikasih hati minta jantung. Sekalian aja usus dua belas jari!" Lagi, Bintang mendumel tak jelas.

Namun, alih-alih mendapatkan jawaban. Justru yang Bintang dengar hanya desauan angin yang menerbangkan rambutnya.

Beruntunglah dedikat baik melekat diri Bintang. Jadi walaupun dengan ocehan sebagai selingan, tetap saja Bintang yang menyelesaikan sisa-sisa tugas Bumi.

Tumpukan daun yang sudah dikumpulkan sebelumnya, Bintang masukkan ke dalam plastik sampah.

Lalu kurang apalagi? Ah, iya... kurang ajar saja yang belum Bintang lakukan terhadap Bumi.

Dan tolong ingatkan Bintang untuk meminta ganti rugi atas keringatnya yang sedari tadi bercucuran. Ia kelelahan. Butuh minuman. Cuaca juga sedang terik-teriknya.

"Hah! Yang dihukum siapa, yang menyelesaikannya siapa." Seakan belum puas, Bintang merutuk lagi. Masih dengan gerakan membereskan tumpukan daun terakhir.

Jika bukan karena ia mendapatkan pembelajaran berharga lewat cerita Bumi tadi, tak mungkin juga Bintang mau melakukan hal ini.

Sedikit banyak ia berterima kasih juga.

Berjalan pelan, Bintang mendudukan dirinya di kursi. Meredamkan sedikit keringat sambil memejamkan mata.

Sesaat keadaan sunyi membuat Bintang tenang. Kembali ia membayangkan cerita Bumi yang membuatnya memakan mentah-mentah makna waktu berharga walalupun yang tersisa tidak lama.

Terlebih dengan kalimatnya yang ini.

"Jangan terlalu berharap dengan keadaan Bintang. Lo nggak akan tau hal ke depan yang akan datang. Keadaan itu buta. Bisa aja semenit lagi lo diledakin. Dan... boommm. Hancur!" kata Bumi tadi. Dengan tangannya ia memperagakan sebuah ledakan.

Bintang hanya bisa tersenyum sekilas mendengarnya.

Tidak salah. Baik keadaan maupun waktu yang berjalan, semua sama. Tidak memihak kepada siapa. Tidak memiliki tuan yang menuntun arah.

Lalu, kalimat yang keluar dari mulut Bintang bisakah disebut sanggahan?

"Bukan berharap Kak Bumi. Gue hanya cari waktu yang pas supaya keadaan nggak memperkeruh suasana."

"Klasik! Itu sama aja lo bunuh diri. Tunggu aja teros sampai kata menyesal say hay ke lo. Gue sih tinggal ketawa. HAHAHA..."

"Sebegitu parahnya?"

"Bintang, pada saat lo tau semuanya. Pilihan lo hanya dua; terus berjalan atau berhenti dari sekarang. Nggak ada yang namanya menunggu, duduk diam kayak lo ini.

"Kak Bumi"

"Sekarang lo jujur sama gue. Apa yang lo takutin?"

Bintang terdiam, tak menjawab.

"Semakin lo diam. Semakin besar pikiran di kepala lo yang membenarkan alasan dibalik Angkasa mau pergi."

Kontan pandangan Bintang langsung tertuju ke Bumi.

"Apa gue salah?" tanya cowok itu menuntut jawaban. Bintang masih sama, tak mengeluarkan suara.

"Lo sengaja menutup mulut karena takut bertanya. Lo sengaja menutup telinga karena tak mau mendengar kebenarannya. Berpura-pura tak terjadi apa-apa, dengan keadaan baik-baik aja. Apa gue salah?"

Pandangan Bintang tak lepas dari Bumi.

"Bintang... Bintang... Apa nggak sakit terus ditahan? Masih kuat? Hebat! Dua jempol buat lo." Menggeleng takjub, Bumi mengacungkan kedua jempolnya.

"Itu hati apa beton, kok tahan bangeetttt." Sekali lagi. Sindiran Bumi tepat mengenai sasaran.

Sebelum menutup kalimatnya dan beranjak pergi, Bumi memegang kedua bahu Bintang. Menatap lekat dengan wajah yang kembali serius. "Jangan terlalu lama memekakan semua indera, Bintang. Menekan diri berlebihan itu sakit. Bisa-bisa lo lumpuh nanti."

Sangat sakit. Anehnya mengapa Bintang bisa bertahan. Lucu.

"Dan yang gue herankan. Gue bimbang liat keadaan lo sekarang. Hati gue"

"Bintang..."

Suara yang menyelinap membuat Bintang terhenyak. Kilasan pembicaraannya dengan Bumi langsung menghilang. Dengan setengah kesadaran, Bintang mendongak.

"Kak Angkasa."

Cowok itu tersenyum, lantas mendudukan diri di samping Bintang. Selama beberapa menit terjadi keheningan. Dan Bintang pun tak paham. Sejak kapan ia dan Angkasa berubah menjadi canggung seperti ini? Jelas terasa aneh.

Hingga pada saat Bintang menoleh, mendapati Angkasa tengah menatapnya dengan alis bertautan.

"Aku nggak lagi dihukum. Nggak juga olahraga. Apalagi terlibat masalah," perjelas Bintang yang paham akan pertanyaan Angkasa meski tak bersuara. Pandangannya tetap fokus ke depan. Mengalihkan tatapan Angkasa yang rasanya sedikit berbeda.

"Lalu?"

"Anggap aja jadi relawan suka rela secara paksa."

"Di siang hari?"

"Ya."

Angkasa mengangguk, tak memperpanjang lagi. Tau bahwa Bintang tak ingin membahas lebih.

"Weekend nanti aku pengin ajak kamu keluar. Kamu bisa?"

Gerakan tangan Bintang yang membelai udara terhenti. Ia kembali berpikir terakhir kali ia keluar bersama Angkasa kapan. "Ke mana?" tanyanya.

"Kesuatu tempat. Ada yang mau aku tunjukin."

Walau bibir Bintang menyunggingkan senyum, tapi entah kenapa perasaannya mendadak tak nyaman. Tak berselang lama buru-buru ia menggeleng. Stop! Jangan berpikiran macam-macam, Bintang.

"Aku mau," sahut Bintang menyetujui ajakan Angkasa.

Paling tidak, tampak dari luar hubungan mereka terlihat baik. Itu sudah cukup.

Keheningan kembali terjadi. Membiarkan apa yang ada dipikiran masing-masing terus berjalan tanpa ada yang mau dihentikan. Perlahan Bintang merasakan kehangatan ketika tangan besar Angkasa menggenggam tangan mungilnya.

"Ada yang kamu pikirkan?" Suara Angkasa serta apa yang dilakukannya membuat Bintang sontak menoleh. Memandangi tautan tangan mereka yang menyatu.

"Hanya perasaan gelisah. Sedikit," jawab Bintang, ikut mempererat genggaman.

"Mau cerita?"

Bintang menimang. Memperhatikan Angkasa dengan sorot mata dalam sebelum senyum terukir jelas di kedua sudut bibirnya. "Aneh. Kenapa perasaan kehilangan bisa sebanding dengan ketakutan ketika berhadapan dengan hujan."

"Hah? Kamu ngomong apa?"

Dengan cepat Bintang menggeleng. Mengubah gumaman kecil yang tak didengar Angkasa dengan kalimat lain. "Aku gelisah. Kenapa dari tadi Kak Angkasa terus lihat sapu di samping aku. Biar aku perjelas. Aku bukan pemiliknya."

Angkasa terkekeh, ternyata Bintang sadar juga arah maksud dan matanya sedari tadi. "Habis, sapunya di samping kamu."

"Itu bukan sapu aku, Kak!"

"Terus punya siapa? Kenapa sapunya bisa ada di dekat kamu?"

"Tadi itu" ucapan Bintang terjeda. Kenapa juga mereka jadi membahas sapu. Ah, sudahlah. Bisa-bisa kalau topik sapu dilanjutkan Bintang jadi hilang semangat.

Bintang tekankan sekali lagi. Pemilik sapu sihir pertama kali ini bukan Bintang tapi Bumi.

Bumi!

Akhirnya, dengan rasa malas Bintang mengabaikan ejekan serta tawa Angkasa. Beranjak dari sana lalu berjalan menuju kelasnya.

"Bintang, sapunya kenapa nggak dibawa? Kan kasihan ditinggalin gitu," teriak Angkasa. Sementara Bintang semakin melajukan langkahnya. Dasar sapu sihir!

Tapi mau bagaimanapun Bintang melebarkan langkahnya, tetap saja Angkasa bisa mengimbangi.

"Kak Angkasa?"

"Iya. Kenapa, Bintang?"

"Nggak. Aku hanya manggil."

Sebenarnya Bintang sudah menyadari. Tanpa perlu menoleh apalagi menghentikan langkah, Angkasa akan tetap berada di sampingnya. Sejajar langkah mereka.

"Kak Angkasa?"

"Kali ini apa. Manggil lagi?"

Gerakan Bintang berhenti. Memiringkan badan menjadi berubah menghadap Angkasa. "Di hari selanjutnya, apa langkah kita masih bisa sejajar seperti ini?"

Angkasa menyerngit. Melihat wajah tenang Bintang, Angkasa mulai menjawab, "Langkah kita nggak akan berubah."

Bintang mengangguk paham, kemudian tersenyum tipis.

"Ada yang salah dengan langkah kita?" Angkasa menyelidik.

Bintang menggeleng. Kembali melanjutkan langkahnya yang terhenti. Langkah kita nggak akan berubah. Bisakah Bintang mempercayai dan menyimpan kalimat tersebut.

Tidak! Bahkan Bintang sendiri pun ragu. Lalu mengapa dengan mudahnya Angkasa berucap tadi?

Dan larut di dalam keterdiaman membuat langkah mereka sampai di ujung lapangan dengan batas pohon rindang terakhir. Jatuhan daun gugur tergeletak cantik di depan sepatu Bintang. Membungkukan badan, gadis itu mengambil daun tersebut.

"Kak Angkasa?"

"Hm..."

"Banyak yang bilang, daun gugur itu tanda mereka kecewa terhadap rumahnya. Tapi alasan sebenarnya bukan karena itu. Apa Kak Angkasa tau?"

"Enggak. Memang apa?"

Bintang memberikan daun gugur tadi dengan Angkasa.

"Mereka gugur itu dengan suka rela. Berharap dengan tumbuhnya tunas baru bisa memperbaiki rumah mereka. Sayangnya banyak yang menilai mereka sampah tak berguna. Tanpa tau bahwa untuk menciptakan pondasi yang kokoh harus ada yang dikorbankan."

Bintang tersenyum hangat. Rambutnya yang berterbangan seperti tak sanggup untuk menutupi kebimbangannya. Tak dipungkiri ia juga gelisah.

Bahkan Angkasa pun sadar. Selama ia berbicara dengan Bintang, gadis itu selalu memperlihatkan senyumnya, tanpa ekspresi bahagia.

"Kak Angkasa," panggil Bintang sekali lagi.

Namun belum Angkasa menjawab. Terlebih untuk mengambil daun gugur yang jatuh di rambut Bintang, gerakan Angkasa sudah tertahan.

Perkataan Bintang, membuatnya bungkam.

"Apa sekarang aku seperti daun gugur juga?"

Sudah berubah menjadi sebuah kekhawatiran. Tidak lagi menjadi tempat ternyaman. Semua berubah. Pantasnya disebut apa?

******

SELAMAT MALAM SOBAT GALAU...

SETELAH SEKIAN LAMA TIDAK JUMPA KALIAN, AKHIRNYA KITA BERJUMPA LAGI. GIMANA NIH RINDU GA?

Bintang.... Bintang mau mau aja lu dikibulin sama Bumi hahaha...

Noh Bintang dengerin deh kata Bumi jangan terlalu berharap sama keadaan ga ada yang tau kedepannya bakal kayak gimana. Mantap dah emang si Bumi nih.

Greget sama Bintan tinggal kerasin aja suara lu biar Agkasa denger kalau yang saat ini lu rasain itu perasaan kehilangan yang bisa sebanding sama ketakutan lu ketika berhadapan dengan hujan. Gemesssss kan jadinya hiiii.....

Nah lo Angkasa mau jawab apa lu tentang daun gugur hahaha....

Gimana nih kira-kira kelanjutannya?

PUAS GA SAMA PART INI? ATAU KURANG?

Jangan lupa follow wattpad hfcreations biar kalian dapat notifikasi langsung klau SEMESTA update.

Kalian juga bisa follow instagram : gueralyaz , karena di instagram tersebut kalian bisa dapat spoiler kelanjutan part Semesta lohh.

Jangan lupa coment and vote yaa. Biar penulismya tambah semangat ngelanjutinnya

Dan juga jangan lupa share cerita ini di instagram atau di akun sosmed yang lainnya dan buat wajib banget untuk rekomendasiin cerita ini ke teman, sodara, keluarga kamu , pokoknya semuanya untuk baca SEMESTA

Ayo rekomendasikan cerita SEMESTA ke teman - teman kamu yaa.

Untuk info - info mengenai cerita hfcreations bisa di cek di instagram: @hf.creations 

Continue Reading

You'll Also Like

767K 36.9K 56
Mendengar namanya saja sudah membuat Wilona bergidik ngeri, apalagi bertemu dengan sosoknya langsung. Mungkin Lona akan kabur begitu melihat bayangan...
2M 109K 53
PART MASIH LENGKAP. "Lihat saudaramu yang lain! Mereka berprestasi! Tidak buat onar! Membanggakan orang tua!" Baginya yang terbiasa dibandingkan deng...
438K 45.3K 47
Rasa sakit menjadi alarm atau penanda bagi kita bahwa tubuh sedang tidak baik-baik saja. Ia memberikan sinyal kepada kita untuk lebih peduli atau mul...
558K 18.8K 54
cerita ini menceritakan kisah seorang " QUEENARA AURELIA " atau biasa dipanggil nara.gadis yang bekerja sebagai pelayan cafe untuk memenuhi kebutuha...