BAGIAN XXXI: CARA YANG SEDERHANA
Jerry memanggil Wanda dan Rudy untuk menghadap ke mejanya. "Wanda... saya percayakan kamu ke Rudy. Rudy ini di percaya, bukan di pilih dengan sembarangan. Kamu harus hargai otoritasnya. Kamulah yang butuh bantuan dia. Jadi, jangan merasa sudah pinter", jelas Jerry panjang lebar. Bibir Wanda tampak lebih manyun lima senti. Ia melirik ke arah Rudy dengan pandangan tidak terima.
"Kalo dia gak butuh pertolongan saya, gak apa-apa, Pak...", kata Rudy segera, menyadari lirikan mata Wanda yang tidak bersahabat. "Saya sih,,, malah gak repot..."
Jerry terdiam sejenak. Ia menoleh pada Wanda lagi, "Wanda... kamu tunggu di meja kamu dulu."
Tapi Wanda tak bergeming. "Wanda!", panggil Jerry lagi, "Kamu gak denger saya ngomong apa?!"
Wanda meredam amarahnya kuat-kuat. Ia pun berbalik pergi menuju ke mejanya yang hanya beberapa meter saja jauhnya dari meja Jerry. Setelah Wanda menjauh, Jerry pun mulai berbicara empat mata dengan Rudy. "Rud... bukan model Wanda aja yang bisa kamu temu'in,,, kalo nanti kamu udah jadi supervisor. Banyak, Rud! Banyak macam dan ragam orang... Kamu gak boleh merajuk kayak gitu..."
"Ah, saya gak ngambek, Pak. Kan Bapak yang bilang, Bapak juga gak mau buang waktu buat orang yang cuma injek pelajaran berharga yang kita beri... macem kasih mutiara ke babi aja kan, Pak...", sahut Rudy sambil melenguh panjang.
"Rud... sabar... kalo dia berhasil, kamu juga yang bangga..."
Rudy terdiam. Ia terus memijat-mijat keningnya. "Beberapa customer saya terancam batal nih, Pak... dan saya... bener-bener lagi sibuk, Pak... dan Wanda itu cuma... bikin saya ngerasa rugi banget, Pak..."
Jerry terkekeh. "Itu yang saya rasa'in, Rud... kita berkorban untuk orang-orang yang kadang gak mikirin kita. Tapi coba di ubah mindsetnya, nih... menolong mereka adalah hak kita."
"Loh?" Rudy melongo.
"Iyalah... menolong anak buah kita,,, adalah hak kita. Jangan sampe hak kita di ambil alih orang lain. Itu berarti kita gak mampu. Jadi hak kita di ambil. Karna saat anak buah kita berhasil,,, kita udah sekaligus nolong diri kita sendiri... selagi ulah mereka di batas-batas kewajaran... sangat gak wajar, kalo kita gak mampu. Kita ini, orang-orang yang terpilih. Banyak yang di terima kerja di sini... tapi sedikit yang di pilih untuk naik ke atas. Dan itu adalah hasil seleksi yang ketat. Bukan hal kacangan. Kita di pilih karna bukti. Jadi, buktikan, kalo kita pantas di pilih untuk naik ke level selanjutnya..."
Rudy merenung sejenak lalu melempar senyum kecil pada Jerry. "Paham, Pak...", katanya sambil menganggukkan kepala. "Sulit itu bukan berarti mustahil ya, Pak..."
"Iya, Rud..." Jerry angguk-angguk kepala. "Kamu di pilih karna kelebihan kamu... dan Wanda,,, seperti yang kamu bilang,,, belum ada lebihnya. Mungkin kamu juga berpikir gitu soal Della dan Sonny. Tapi karna itulah kamu memimpin mereka. Karna kapasitas kamu dan kedewasaan kamu dalam menyikapi masalah,,, juga lebih baik dari mereka... mereka akan segan dan respect sama kamu kalo kamu nunjukkin bukti, bahwa kamu bisa pimpin mereka... Wanda akan denger apa kata-kata kamu kalo dia udah buntu. Buntu itu adalah jalan keluar, Rud... saat buntu itulah, pertolongan dan cara kerja kamu akan di lihat oleh Wanda... dan kalo kamu tunjukkin keberhasilan, dan bisa menyederhanakan cara kamu itu agar mudah diikuti orang yang kapasitasnya masih setaraf Wanda,,, maka dia juga bisa berhasil. Terus dan terus sampai naik level... begitu pun dengan Della dan Sonny... kapasitas mereka berbeda... kamu harus sesuaikan aja... selagi, mereka memang mau bekerja serius... ada yang serius, kadang sok tau... ada yang serius, tapi gak tau... asal jangan gak serius. Itu pemalas murni. Saya akan langsung cut. Buang waktu..."
Rudy angguk-angguk kepala. Merasa paham. Ia menatap Jerry dalam-dalam... "Saya gak pernah lagi ngerasa'in di didik seorang bapak atau di arahin seorang kakak... Pak Jerry udah mengisi bagian-bagian yang hilang dalam hidup saya secara pribadi." Rudy mendesah... "Bukan bermaksud jadi mellow nih, Pak... tapi... terima kasih ya, Pak... ini berguna banget buat saya..." Rudy pun langsung menggamit tas kerjanya dan bangkit berdiri untuk menghampiri Wanda.
"Wan...", panggil Rudy,,, melihat pada Wanda yang sedang bertopang dagu. "Ayo cabut! Kita tempur dan gasak SPK semuanya buat cabang kita!", kata Rudy, begitu bersemangat. Dan semangat itu menular. Awalnya, Wanda sempat ragu melihat sikap Rudy yang berubah ramah lagi terhadapnya. Tapi akhirnya Wanda menggamit tas kerjanya dan berjalan cepat untuk mengikuti Rudy ke parkiran kantor.
***
"Liat daftar prospek pertama,,, ke mana?", tanya Rudy tanpa membuang waktu lagi saat Wanda juga sudah masuk ke dalam mobil Rudy.
"Pak Joko Tirto. Pemilik Rumah Batik hasil kerajinan tangan di Cikini", sahut Wanda juga cepat. Ritme mereka mulai selaras saat mobil sudah melaju ke jalan raya Kalimalang.
"Kayak gimana orangnya? Sukanya ngobrolin apa? Seleranya apa? Kamu tau gak? Kenal deket gak?"
Wanda menggeleng ragu. "Sedikit. Relasi papa. Terakhir ketemu, gue masih kecil. Gak inget lagi mukanya. Gue cuma inget kacamatanya yang guedheee banget itu... tapi orangnya baik... kayaknya..."
"Oke... pas sampe,,, kamu duluan basa-basi... sopan santun lah... tanya kabar... gimana keluarganya... gimana keadaan usahanya..."
"Brrrbbbbbrrbbbbbb... basi amat. Langsung aja, kali! Pegel!", sahut Wanda mendelik. "Lo buang waktu kayak gitu..."
"Wan... kalo langsung ke mobil... belum tentu dia minat. Kalo ngobrol dulu, minimal bisa gali en cari tau minatnya... kalo nawarin yang gak sesuai, takutnya jadi basi di depan. Biar rileks dulu... jadi mau denger penawaran-penawaran menarik yang kita punya... yang tadinya gak minat, bisa jadi minat. Kalo orang yang keuangannya udah bagus, bukan masalah murah lagi. Berelasi itu jadi penting buat dia. Minimal, buat orang tetep mau berelasi baik dengan kita. Kalo pun gak sebidang, minimal karna dia respect sama kita. Kalo pun gak beli, minimal dia inget sama kita. Kalo cuma 5 menit ketemu tanpa kesan mendalam, tau-tau ada temennya yang mau beli mobil,,, ntar dia gak inget sama kita, Wan..."
Wanda terenyuh mendengarnya. Oh,,,, gituuuu, yaaa, ia membatin.
"Tapi, Wan..." Rudy buka mulut lagi. "saya mau fair-fairan aja sama kamu... saya ini masih acting. Masih harus cetak angka. Rencana prospek saya hari ini ada 3 tempat. Di daftar kamu ada lebih dari sepuluh. Kita prioritasin yang pertama, yang prospeknya hot. Coba kamu lingkerin dulu, nama-nama yang menurut kamu bakal lebih gampang di prospek. Wanda pun segera melakukan apa yang Rudy pinta.
"Udah?", tanya Rudy. "Oke... wilayah prospek kamu yang hot, rata-rata di wilayah mana?"
"Apartemen di Thamrin..."
"Semuanya?"
Wanda menggeleng. "Dua di Kebon Jeruk."
"Di Thamrin ada berapa?"
"Lima..."
"Customer saya yang dua di Cikarang, yang satu di Slipi..." Rudy berpikir sejenak. Ia terbiasa untuk berpikir dengan cepat, "Gini deh,,, kita kunjungin 5 customer kamu yang di Thamrin, dulu. Total makan waktu 6 jam aja maksimal, di bagi-bagi jadi cuma sejam lebih dikit lah di satu tempat. Jam 6 sore, kita tancep gas ke Slipi. Biar kamu liat cara saya prospek customer saya. Baru saya lanjut ke Cikarang sendiri. Kamu pulang aja. Besok, baru ke Kebon Jeruk, di tambah daftar berikut dari prospek kamu, di bagi-bagi waktunya untuk ke customer saya. Malem, kamu udah konfirmasi ke para prospek, ya. Bikin janji, mau jam berapa untuk ketemuan besok. T'rus SMS saya, jadi saya atur waktu ketemuan sama customer saya supaya gak bentrok waktunya. Pas kita start dari kantor, semua udah teratur. Karna kita mesti mikirin sikon jalan yang macet, Wan".
Wanda angguk-angguk.
"Catet...", kata Rudy.
"Hah? Apanya?"
"Catet cara ngatur jadwal", kata Rudy lagi. "Pertama,,, telpon, bikin janji, catet jam janjian, alamat dan nama dan minatnya mobil segmen apa? mewah? Menengah? trus, lapor pada pimpinan, diskusi buat bikin cocok jadwalnya, trus konfirmasi ulang ke prospek kalo ada perubahan. Berapa jam maksimal sekali pertemuan, berapa tempat yang mau dikunjungin, makan waktu berapa lama, berapa lama perjalanan. klasifikasi'in daftar prospek yang alamatnya berdekatan atau di satu kawasan. Rata-rata segmen di situ maunya mobil sekelas apa? Siapin brosurnya. Pelajarin perhitungannya kalo-kalo ada yang minta discount sekian-sekian,,, tambah asesoris ini, kenanya berapa. Udah kamu setting, kamu mau arahin prospek itu bagaimana... tulis di samping nama prospek. Leasing apa yang bakal kamu aju'in. Perhitungan kreditnya gimana. Kalo pun ada perubahan karna kita kan gak tau prospek maunya, persisnya apa, tapi kalo kita kenalin dulu segmennya dia dari kawasan rumah tinggalnya dan bidang usahanya serta status jabatannya, kita kan juga bisa kira-kira... kemampuan finansialnya gimana. Kita bisa buat hitung-hitungan bayangannya dulu. Jadi sampe sana, kita punya persiapan, gak mentah... gak makan waktu..." Rudy melirik Wanda sekilas,,, yang kerepotan mengetik di telepon genggamnya. "Catet, Wan!", kata Rudy lagi.
"Lo kebanyakan ngomongnya!!!", gerutu Wanda. "Gue gak inget,,, awalnya dari mana tadi???"
Rudy menghela nafas. Ia lupa. Mungkin saja Wanda tak bisa menangkap dengan cepat, secepat dirinya kalau menangkap pelajaran dari Jerry. rudy pun mengulangi dengan lebih perlahan dan lebih sistematis, sambil matanya tetap fokus ke jalanan...
Setelah Wanda selesai mengetik di telepon genggamnya, ia mulai senyam-senyum. "oh... begini ya, caranya..."
"Naaaah, lebih enak dan lebih gampang kalo tau caranya untuk memulai, kan? Kita saling ngerti'in, saling bagi waktu dan belajar bikin prioritas berdasarkan possibility terbesar. Jangan egois...", sahut Rudy sambil terkekeh lebar. "Nanti malem di rumah, di salin ulang ke buku..."
"ngapa'in? Jaman batu banget! Pegel!!! Buat apa ada hape canggih sama ipad???"
"Buku gak bisa nge hang!!! Atau ilang memorynya kecuali kamu bakar!", sahut Rudy sambil tergelak...
Wanda terdiam lagi. "Iya, ya...", gumamnya. "Gue gak punya buku tulis... buat apa'an? Gue gak seneng nulissss..."
"Beli buku! Paling 3000 perak! Dan biasa'in seneng nulis dari sekarang! Beli juga buku-buku marketing. Kan banyak yang bagus... kalo ada waktu kosong, sekitar sepuluh menit sampe lima belas menit aja, baca buku. Jangan gosip!"
"Ih! Gue gak seneng gosip!!!", sahut Wanda sewot. "Buku marketing kayak apa, Rud?"
Rudy mendesah lagi. "Lo tau Gramedia atau sejenis toko buku lainnya?"
"Ya iyalahhhh... masa gak tau??? Pegel banget!!!"
"Datengin!!! Cari! Tanya! Baca! banyak cara, Wan..." Rudy geleng-geleng, mulai gemas.
"Beli DVD aja kali ya... gue males baca. Pegel jari gue kalo mesti bolak-balik buku!"
"Terseraaaaah... banyak cara. Mau denger walkman, kek! ipod, kek! Banyak cara untuk ngisi otak dengan wawasan... jadinya, kalo customer ngajak ngobrol... kamu nyambung... jangan gaptek juga. Kamu kan tajir... beli kek, laptop. belajar internet. Belajar cara pasang iklan... bikin kartu nama..."
"Udah ada kartu nama dari kantor... tapi kayaknya belum jadi."
"T'rus nunggu aja gitu? Bikin sendiri aja dulu, yang lebih cepet. Buat sementara... ya... pokoknya, jangan pasif... harus aktif... mau dapet kakap ya,,, keluar modal..."
Wanda terdiam lagi. Diam-diam ia mulai mengakui,,, kalau Rudy tidak kosong otaknya... yang jelas,,, tidak sekosong otaknya Wanda... Padahal Rudy hanya menitikberatkan pada al-hal sederhana... yaitu rajin mencatat dan banyak membaca...