Fall in Love with Sweet Devil

By coldautumn

334K 50.4K 10.9K

Jinae tidak pernah menyangka jika ia harus bertemu kembali dengan Yoongi, tetangga sekaligus teman masa kecil... More

[TRAILER]
Prolog
01. Awal yang Buruk
02. Kesialan yang Berakhir Baik
03. Tidak Seburuk Kelihatannya
04. Tersesat
05. Sesuatu yang Manis
06. Mencoba untuk Luluh
07. Pengantar Tidur
08. Hal Baru
09. Antara Khawatir dan Kesal
10. Sebuah Rahasia
11. Penyelamatan (Lagi)
12. Ragu-ragu
13. Mulai Penasaran
14. Alasan
15. Hujan dan Penyesalan
16. Salah Siapa?
17. Sebuah Harapan Baru
18. Gadis Bodoh
19. Rahasia Kecil
20. Kecewa itu Ada
21. Yoongi Mencurinya
22. Membangun Kepercayaan
23. Penawar Hati yang Luka
24. Sadar Diri
25. Harapan Semu
26. Alasan untuk Bertahan
27. Pergi
28. Menghilang
29. Pilihan
30. Pengakuan
31. Air Mata dan Kebahagiaan
32. Dari Hati ke Hati
33. Deep in Love
35. Make a Deal with Yourself
36. Penantian Panjang
37. Dia yang Romantis
38. Kembali
39. Hati yang Bicara
40. Safe and Sound
41. Sweet Life
42. A new chapter begins

34. Ketakutan Terbesar

3.8K 582 142
By coldautumn

Hujan yang mengguyur seisi kota sejak pagi buta akhirnya berhenti. Namun, udara dingin masih saja tak mau pergi padahal waktu telah menunjukkan pukul dua siang.

"Kau benar-benar harus pergi?" tanya Jinae begitu dirinya tiba di lobi apartemen bersama Yoongi.

"Hanya satu minggu, Jinae. Tak akan lebih. Aku janji."

"Tapi satu minggu itu lama, Min Yoongi. Itu waktu yang cukup bagi seseorang untuk mencuri diriku darimu."

Satu alis Yoongi terangkat. Ia menoleh pada Jinae yang masih cemberut.
Yoongi pun segera meraih lengan Jinae hingga gadis itu berhenti melangkah dan mereka berhadapan satu sama lain.

"Jangan asal bicara. Tidak ada yang mau mencuri gadis barbar sepertimu. Kau itu merepotkan, hanya aku yang sanggup mengurusmu."

"Asal kau tahu saja, banyak lelaki yang menyukaiku tahu!" ucap Jinae tak terima.

Yoongi tersenyum lebar sebelum mengusap puncak kepala Jinae dengan lembut. "Tapi kau hanya menyukaiku."

Sialnya, ucapan Yoongi sepenuhnya benar sehingga Jinae tak dapat membantahnya sedikit pun. Ia berdecak kesal dan dengan cepat memeluk Yoongi.

"Jangan sampai telat makan. Jangan sampai sakit. Kau harus kembali dengan sehat seperti sekarang."

Yoongi menganggukkan kepalanya. "Kau juga jangan coba-coba memasak di dapur. Aku tidak mau satu apartemen terbakar hanya karena kau lupa mematikan kompor."

"Min Yoongi!" Jinae memberikan pukulan pada punggung Yoongi sampai pemuda itu mengaduh kesakitan lalu mengeratkan pelukan mereka.

Beberapa detik setelahnya, Yoongi pun melonggarkan pelukan mereka lalu mengecup puncak kepala Jinae gemas. "Aku harus pergi sekarang."

Dan dengan sangat terpaksa, Jinae melepaskan pelukan mereka lalu membiarkan Yoongi berjalan menuju trotoar jalan guna menyebrang ke coffee shop tempat di mana temannya menunggu sebelum berangkat bersama ke bandara.

Jinae masih bertahan di sana. Memandangi punggung Yoongi dengan senyum tipis yang melekat pada bibirnya.

Tepat ketika lampu untuk pejalan kaki berubah menjadi hijau, lagi-lagi hujan kembali turun. Sialnya, ia lupa membekali Yoongi dengan payung.

Tahu-tahu Yoongi pun memutar tubuhnya kembali. Pemuda itu berusaha menutupi kepalanya dengan telapak tangan sementara tangannya yang lain melambai ke arah Jinae. Ia tersenyum lebar dan mengisyaratkan Jinae untuk segera masuk ke dalam.

"Cepat kembali, Yoonㅡ"

BRUK!

Dunia Jinae mendadak berhenti.

Layaknya daun kering yang tersapu angin musim gugur, ia menyaksikan sendiri bagaimana tubuh Yoongi terhempas di udara sebelum mendarat di aspal jalan yang tiba-tiba saja berubah menjadi lautan merah.

"Mama!"

Jinae terbangun dengan peluh menetes pada kedua sisi wajahnya. Padahal di luar sana udara sedang dingin-dinginnya, tetapi tubuh Jinae malah berkeringat seolah ia baru saja berlari mengejar pencuri.

"Astaga, ada apa denganku?"

Segera ia mengambil napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan hingga detak jantungnya kembali normal. Jinae mengusap wajahnya. Pikirannya kembali melayang pada mimpi aneh yang telah menghantuinya sejak satu minggu lalu.

Gadis itu melompat turun dari tempat tidur. Dengan cepat menjangkau daun pintu dan membukanya lebar-lebar.

Detik itu juga Jinae menyemburkan napas lega saat kedua matanya bertemu dengan sepasang mata milik Yoongi. Pemuda yang sedang menenggak botol air minum itu pun segera menyudahi aktivitasnya.

"Kau sudah bangun?" tanya Yoongi santai. Ia mengembalikan botol minuman itu ke dalam kulkas lalu berjalan ke arah meja makan di mana ada dua piring roti panggang di sana. "Cepat sarapan. Bukankah kau ada kuliah pagi?"

Jinae masih bergeming. Mengamati Yoongi yang dengan santainya melahap roti panggang dilengkapi telur goreng di atasnya. Kedua matanya mengikuti setiap pergerakan yang Yoongi lakukan.

"Sampai kapan kau akan berdiri di situ? Perlu aku seret untuk duduk di sini?"

Tahu-tahu ucapan Yoongi membuyarkan lamunan Jinae. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum membalas perkataan Yoongi. "Kau saja yang makan. Aku ingin mandi dulu."

Baru saja Jinae ingin memutar tubuhnya kembali, tetapi Yoongi sudah lebih dulu berdiri dan memandangnya datar.

"Dua minggu ini kau benar-benar aneh," ucap Yoongi. Selera makannya menghilang entah ke mana. "Ada apa sebenarnya?"

"Tidak ada," jawab Jinae cepat. Ia tidak ada niatan untuk mengatakan tentang mimpi buruknya kepada Yoongi. Lagi pula, Jinae yakin jika Yoongi hanya akan menganggapnya berlebihan jika terus memikirkan mimpi itu.

Butuh beberapa detik sebelum Yoongi menjawab perkataan Jinae. "Baiklah. Terserah apa katamu."

"Yoongi."

Yoongi pun menoleh dengan alis terangkat.

"Jangan pernah berbalik untuk melambaikan tanganmu ke arahku."

Jinae tahu mungkin itu akan terdengar aneh bagi Yoongi, tetapi ia sungguh tidak ingin menceritakannya. Ia tidak mau jika hal itu benar-benar menjadi kenyataan dan menyisakan penyesalan.

Dua minggu lalu Yoongi baru saja keluar dari rumah sakit dan Jinae tidak akan membiarkan Yoongi kembali dirawat di tempat itu.

"Apa?"

"Berjanjilah."

Kesabaran Yoongi benar-benar diuji ketika ia tidak mengerti mengapa Jinae bersikap aneh belakangan ini. Terkadang Yoongi memergoki Jinae sedang melamun, atau tiba-tiba saja berkeringat setelah bangun tidur. Yoongi tidak tahu apa yang terjadi sebab setiap kali Yoongi bertanya, Jinae selalu berkata jika dirinya baik-baik saja.

"Sebenarnya kau ini kenapa? Aku bukan mind reader. Aku tidak akan tahu apa yang kau pikirkan jika kau tak menceritakannya padaku."

Jinae menggelengkan kepalanya. Masih berusaha untuk meyakinkan Yoongi. "Aku tidak apa-apa, Yoongi. Sungguh."

"Apa karena ucapanku dua minggu lalu? Itu masih mengganggumu? Sudah kubilang jangan dipikirkan. Kau bahkan bisa melupakannya kalau memang kau ingin."

"Min Yoongi! Bukan seperti itu!" bentak Jinae. Kedua alisnya hampir menyatu sementara napasnya tersengal.

Ini bukan kali pertama mereka bertengkar, tapi rasanya selalu sangat menyebalkan jika Yoongi sudah berkata seenaknya sendiri.

Jinae tahu betul apa maksud Yoongi. Itu tentang lamaran yang Yoongi ucapkan ketika mereka di rumah sakit. Sekalipun Jinae belum menjawab apa pun tentang ajakan menikah itu, ia benar-benar tidak suka jika Yoongi menyuruhnya melupakan hal itu.

Yoongi memejamkan kedua matanya sambil mengembuskan napas panjang berusaha meredam emosinya pagi ini.

"Aku sungguh tidak ingin bertengkar denganmu. Jadi, lebih baik aku pergi duluan."

Yoongi berjalan ke arah pintu tanpa mengatakan hal apa pun lagi. Namun, saat ia bersiap untuk keluar dari unit apartemennya, tiba-tiba saja ia teringat akan satu hal.

"Dua pekan lagi, Mark akan dijatuhkan putusan terakhir di pengadilan. Kalau kau ingin datang, bilang padaku. Jangan ke sana sendiri atau aku akan benar-benar marah padamu."

Setelahnya Yoongi pergi begitu saja meninggalkan Jinae yang masih bergeming pada tempatnya berdiri.

"Hoi, Min Yoongi!"

Yoongi menoleh ketika seseorang baru saja menepuk bahunya. Ia pun hanya menatap orang itu dengan tatapan datar sebelum kembali menyesap kopinya sambil memandang ke luar jendela.

Merasa diabaikan, Seokjin pun hanya berdecak pelan. Untungnya ia sangat terbiasa dengan hal ini. Yoongi memang selalu seenaknya sendiri padahal jelas-jelas pemuda itu yang meminta Seokjin untuk datang ke coffee shop di kantor Big Boss Ent.

"Jadi, ada apa memanggilku kemari? Setengah jam lagi aku harus kembali ke kantor," ucap Seokjin setelah mengambil tempat duduk di sebelah Yoongi yang masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Mereka duduk bersebelahan menghadap jendela besar yang menampakkan keadaan di luar sana.

Alih-alih menjawab pertanyaan yang ada, Yoongi lebih memilih untuk menyemburkan napas gusar. Ia mengacak rambutnya asal dan itu membuat Seokjin semakin bertanya-tanya tentang apa yang membuat Yoongi terlihat begitu gelisah seperti ini.

"Cepat katakan padaku. Jangan seperti remaja yang sedang dicampakkan kekasihnya begitu," kata Seokjin asal. Ia segera menyesap kopinya.

"Aku melamarnya."

Hampir saja Seokjin tersedak kopi panas yang sedang ia minum saat dua kata itu dengan mudahnya meluncur bebas dari bibir Min Yoongi. Pemuda yang baru saja memasuki usia dua puluh sembilan tahun itu menoleh pada Yoongi dengan kedua mata yang membulat sempurna.

"A-apa katamu? Kau... apa?"

"Aku melamar Jinae, Hyung," ucap Yoongi sekali lagi. Ia menjatuhkan kepalanya di atas lipatan tangan. Terlihat berbeda dari Min Yoongi yang biasanya.

Seokjin tertegun untuk beberapa detik sambil mencerna baik-baik setiap perkataan Yoongi. Ia benar-benar tidak menyangka jika Yoongi sangat mencintai Jinae sampai berani melamarnya. Itu hal yang baik bukan?

Namun, mengapa Yoongi terlihat gelisah?

"Whoa, kau hebat sekali, Yoongi. Lelaki sejati. Kuakui kau keren," ucap Seokjin sambil menepuk-nepuk bahu Yoongi. "Tapi kenapa sekarang kau terlihat berantakan? Ada yang salah?"

Yoongi kembali mengangkat kepalanya. "Jinae belum berkomentar tentang apa pun. Sampai sekarang, dia belum menerima ataupun menolaknya."

"Ah, begitu." Seokjin mengangguk-anggukkan kepalanya sambil kembali menyesap kopinya.

"Apa aku telah melakukan hal yang salah? Aku harus bagaimana?"

Seokjin menyandarkan punggungnya pada kursi. Kedua matanya menatap lurus ke luar jendela. Siang ini trotoar jalan terlihat cukup ramai. "Tidak semua orang siap untuk menikah, Yoongi. Kau tahu kan, menikah itu artinya kalian akan hidup bersama. Aku yakin jika kalian memang saling mencintai, tapi bukan berarti menikah semudah itu. Butuh persiapan yang matang. Sekali pun kau siap, belum tentu dengan Jinae. Menikah itu tentang komitmen yang serius. Apalagi Jinae juga masih kuliah."

Lagi-lagi Yoongi mengembuskan napas panjang. Mencerna dengan baik setiap kata yang diucapkan Seokjin. Rasanya ia baru saja ditampar dengan keras. Apa ia pernah berpikir tentang kesiapan Jinae? Tidak. Yang ia pikirkan hanyalah bagaimana caranya agar tidak kehilangan gadis itu lagi.

"Kau kan tahu Jinae baru saja mengalami hal buruk. Kupikir itu yang membuatnya masih mempertimbangkan lamaranmu. Ia masih trauma dengan apa yang bajingan itu lakukan." Seokjin kembali menepuk bahu Yoongi. Memberikan semangat melalui senyum kecilnya. "Luka yang Jinae miliki bukanlah sebuah luka ringan yang akan sembuh jika hanya diberi obat merah. Kalian berdua harus merawat luka itu dengan baik supaya tidak meninggalkan bekas nantinya."

Yoongi mengembuskan napas gusar. Sialnya, ia benar-benar tidak berpikir sejauh itu.

Jinae menatap cincin pemberian Yoongi yang baru saja ia lepaskan dari jari manisnya. Sudah dua pekan cincin itu melingkar pada jemari tangannya dan ini adalah kali pertama Jinae melepasnya.

Pikirannya kembali berkelana. Membayangkan bagaimana selama ini Yoongi menyimpan cincin itu dan berjuang sendirian, membuat Jinae diselimuti perasaan bersalah. Harusnya ia sudah menerima lamaran Yoongi dua pekan lalu. Mereka saling mencintai, lalu apa masalahnya?

"Sudah menunggu lama?"

Jinae menoleh begitu seseorang yang sejak tadi memenuhi pikirannya, datang menghampirinya yang sedang duduk di bangku taman. Kedua matanya mengikuti pergerakan orang itu yang mengambil tempat duduk tepat di sebelahnya.

"Kenapa cincinnya dilepas? Jelek ya? Mau kau buang?"

Jinae benci sekali. Benci ketika Min Yoongi sudah mengeluarkan kata-kata seenaknya sendiri tanpa memikirkan apakah yang pemuda itu ucapkan menyinggung perasaan orang lain atau tidak.

Tapi bagaimana pun juga, itu memang sifatnya. Begitulah Yoongi. Dan Jinae sudah terbiasa dengan hal itu.

Mengabaikan perkataan Yoongi, Jinae justru memilih untuk mengembuskan napas panjang. Dari suara helaan napasnya saja, Yoongi yakin sekali jika ada sesuatu yang sedang Jinae pikirkan. Namun, kali ini Yoongi benar-benar tidak tahu apa itu. Entah tentang lamarannya waktu itu atau hal lain, Yoongi benar-benar tidak tahu.

Kali ini ia tidak bisa menebak apa isi kepala Jinae.

"Yoongi."

Jinae yang pertama kali bersuara setelah keduanya mengunci mulut mereka untuk beberapa menit. Dan anehnya, suara Jinae terdengar lelah sekali.

Yoongi masih enggan bicara, ia menyandarkan punggungnya. Kedua tangannya ia lipat di depan dada. Sementara pandangannya menuju permukaan air Sungai Han yang malam ini bergerak tak tenang akibat sapuan angin malam.

Sama seperti hatinya.

"Yoongi, maaf."

Entah permintaan maaf untuk apa, yang jelas Yoongi benar-benar tak bisa berkata apa pun. Bukannya tak ingin, tetapi bibirnya mendadak beku hanya karena terpaan angin di akhir musim gugur. Rasanya, setiap kata yang ingin ia ucapkan kali ini hanya akan terdengar sia-sia. Jadi, kali ini ia memilih untuk menjadi pendengar yang baik.

Jinae menunduk. Menyembunyikan kedua matanya yang tiba-tiba saja berair. Hatinya terasa gelisah. Ia merasa tidak yakin atas apa yang akan ia katakan, tetapi anehnya hanya itu yang terlintas di pikirannya saat ini.

"Yoongi, maafkan aku. Aku tak bisa menerima lamaranmu."

Saat itu juga tangis Jinae tak bisa terbendung lagi. Rongga dadanya terasa begitu sesak hingga membuatnya sulit untuk bernapas.

Ada banyak hal yang Jinae pikirkan belakangan ini. Tentang hidupnya, tentang Yoongi, dan tentang hidup mereka jika nantinya mereka benar-benar hidup bersama seperti harapan Yoongi.

"Aku benar-benar minta maaf."

Rasa sakit itu menjalar di setiap sudut hatinya. Hingga akhirnya ikut masuk di setiap aliran darah dan membuat kepalanya terasa ingin pecah. Bahkan dinginnya malam tak mampu mengalahkan rasa sakit yang ia rasa, sebab Jinae yakin rasa sakit itu bukan hanya miliknya seorang.

Yoongi.

Jinae yakin jika saat ini pun Yoongi merasakan hal yang sama.

Jinae baru saja menyakiti seseorang yang telah berjuang untuknya. Yang selalu menyimpan nama gadis itu di hatinya. Yang hampir saja mengorbankan nyawanya sendiri hanya untuk menyelamatkan Jinae.

"Yoongi, kau boleh membenciku jika kau mau," kata Jinae sambil meremas jemari tangannya. "Aku... memang tak pantas untuk mendapatkan cintamu. Kau terlalu berharga."

Detik itu juga Yoongi merengkuh Jinae masuk ke dalam peluknya. Memberinya sebuah pelukan hangat di tengah udara dingin yang berada di sekeliling mereka.

"Tidak." Yoongi mengeratkan pelukannya. Kedua matanya ikut berair. "Aku mencintaimu. Sampai kapan pun, aku akan tetap mencintaimu."

Sekalipun Yoongi masih tidak mengerti mengapa semua ini terjadi atau mengapa Jinae bersikap seperti ini, tetapi malam itu ia tak bertanya. Yoongi menyimpan semua pertanyaan itu sendiri. Hanya untuk dirinya sendiri. Dan ia bertekad akan menemukan jawaban atas semua pertanyaan itu.

Sementara Jinae, malam ini ia dikalahkan oleh keraguan yang tiba-tiba saja mengambil alih seluruh pikirannya. Keraguan yang berhasil menciptakan sebuah pukulan mundur baginya. Jinae juga takut jika pada akhirnya ia akan menyakiti hati Yoongi. Namun, tampaknya rasa takut untuk memulai hubungan baru yang serius justru terasa jauh lebih menakutkan.

Berdamai dengan masa lalu itu memang tidak mudah.

Dan Jinae belum bisa melakukannya.

Semoga kalian bisa menghargai keputusan Jinae ya:) penjelasan mengapa Jinae tidak menerima lamaran Yoongi akan ada di chapter berikutnya ya. Jadi, ayo kasih semangat aku biar cepet update huhu

Mohon maaf yaa update-nya kelamaan. Udah berapa lama kita nggak ketemu di cerita ini? 5 bulan ya? Kangen gak? Aku kangen kalian:') semoga kalian sehat terus yaa!!💜

Continue Reading

You'll Also Like

430K 34.5K 65
"ketika perjalanan berlayar mencari perhentian yang tepat telah menemukan dermaga tempatnya berlabuh💫"
1M 83.6K 29
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...
119K 8.5K 54
cerita fiksi jangan dibawa kedunia nyata yaaa,jangan lupa vote
42.4K 4K 41
Sebuah cerita Alternate Universe dari tokoh jebolan idol yang banyak di shipper-kan.. Salma-Rony Bercerita mengenai sebuah kasus masa lalu yang diker...