17. Sebuah Harapan Baru

8.4K 1.2K 208
                                    

Malam itu sungguh sepi. Selepas hujan mengucapkan selamat tinggal, lalu pergi begitu saja, yang Jinae lakukan adalah mengamati bagaimana indahnya paras seorang Min Yoongi sambil sesekali mengganti handuk guna mengompres keningnya. Ya, pemuda itu masih demam.

Sejak awal Yoongi berkata kalau ia hanya mengantuk, Jinae memang sudah tahu kalau pemuda itu hanya membual belaka. Memangnya Jinae anak kecil yang mudah dibodohi, apa? Mana ada demam tinggi hanya karena mengantuk? Dasar Yoongi ini, tetapi Jinae tidak banyak protes karena ia yakin kalau Yoongi hanya tidak ingin terlihat lemah di depannya.

Kalau dipikir lagi, Yoongi memang memiliki tingkat gengsi yang sangat tinggi. Seseorang yang tidak mau kalah. Ia juga tidak suka terlihat lemah di depan orang lain. Bahkan jika sedang khawatir dengan sesuatu sekali pun, Yoongi pasti memiliki alasan tertentu yang membuatnya jadi tidak terlihat begitu jelas. Ia benar-benar menjunjung tinggi harga dirinya.

Bahkan setelah mereka bertemu kembali, Jinae merasa Yoongi cenderung menjadi pribadi yang lebih tertutup, dan jarang tersenyum.

Namun, dibalik itu semua, Jinae tahu betul kalau Min Yoongi ini sesungguhnya adalah pribadi yang sangat baik. Peduli dengan orang-orang di sekitarnya, sekali pun tidak ia tunjukkan secara terang-terangan. Yoongi itu memiliki caranya sendiri, yang membuatnya selalu terlihat keren. Walau terkadang menyebalkan, sih.

Seperti sekarang.

Jinae masih bertanya-tanya, kenapa Yoongi kembali ke halte sore itu? Juga Hyera bilang, Yoongi mencarinya sampai malam bahkan tidak peduli dengan hujan yang mengguyur tubuhnya sekali pun. Kenapa Yoongi kembali setelah marah padanya? Seharusnya ia tinggal pergi saja, tidak perlu peduli pada Jinae.

"Dasar kau bodoh. Lihat, kau jadi sakit begini. Sudah tahu kehujanan, kenapa tidak mengganti pakaianmu, Yoongi? Astaga, ada apa dengan otak cerdasmu, itu?"

Jinae menggerutu sendiri sekali pun tidak ada yang mendengarkan, karena satu-satunya orang yang bisa mendengar ocehannya barusan masih terlelap dengan damaiㅡtanpa rasa terganggu sedikit pun.

Sepuluh menit. Sepuluh menit lagi Jinae akan membangunkan Yoongi, lalu menyuruh pemuda itu untuk makan malam. Setidaknya Yoongi harus mengisi perutnya. Membayangkan jika pemuda itu tengah demam dengan perut kosong sejak kemarin, benar-benar membuatnya tidak tega. Pasti sangat sakit.

Seluruh atensinya masih berpusat pada Yoongi yang terbaring di atas sofa sementara Jinae duduk di lantai. Gadis itu menumpu dagunya di atas kedua tangan yang terlipat di pinggiran sofa. Masih mengamati bagaimana wajah yang selalu terlihat tampan sejak dulu.

Dari arah samping seperti itu, Jinae bisa melihat lekukan wajah Yoongi yang terlukis dengan indah. Rahang yang keras, dan kokoh, hidung tinggi yang tidak terlalu besar, serta kedua kelopak mata kecilnya yang terlihat manis jika tersenyum. Oh, jangan lupakan bibir tipis yang sekarang sedang terlihat agak pucat itu. Bagaimana bisa seseorang yang sedang sakit seperti Yoongi, bisa tetap terlihat menggoda?

Sial. Jinae menoyor kepalanya sendiri. "Gila. Kau sudah gila. Otakmu bermasalah, Ji."

Kenapa Jinae jadi membayangkan hal yang aneh-aneh? Sebenarnya siapa yang berotak mesum di sini? Sungguh, Jinae malu dengan dirinya sendiri. Melihat Yoongi terlelap dengan deru napas yang teratur saja mampu membuat pipinya merona. Kalau saja Yoongi tahu, mau diapakan wajahnya itu? Aneh. Jinae sendiri tidak mengerti. Sebenarnya ada apa dengan dirinya?

"Sial. Kenapa kau harus setampan ini?"

Jinae mengoceh lagi. Masih tidak percaya jika Yoongi akan tumbuh menjadi pria gagah yang begitu tampan. Padahal dulu ia termasuk yang paling pendek di antara teman-teman sekolahnya, ya, walaupun begitu, Yoongi memang memiliki pesona tersendiri, bahkan ia tetap menjadi kapten basket. Sejak dulu Yoongi memang bertubuh kurus. Dia juga jahil. Sering sekali menjahili Jinae sampai membuat Jinae mengomel terus-terusan.

Fall in Love with Sweet DevilWhere stories live. Discover now