SEMESTA

By hfcreations

1.8M 187K 16.3K

Bintang, kerlap-kerlip yang menghiasi malam. Bintang dengan cahayanya yang terang dan Bintang yang selalu men... More

SEMESTA 1
SEMESTA 2
SEMESTA 3
SEMESTA 4
SEMESTA 5
SEMESTA 6
SEMESTA 7
SEMESTA 8
SEMESTA 9
SEMESTA 10
SEMESTA 11
SEMESTA 12
SEMESTA 13
SEMESTA 14
SEMESTA 15
SEMESTA 16
SEMESTA 17
SEMESTA 18
SEMESTA 19
SEMESTA 20
SEMESTA 21
SEMESTA 22
SEMESTA 23
SEMESTA 24
SEMESTA 25
SEMESTA 26
SEMESTA 27
SEMESTA 28
SEMESTA 29
GIVE AWAY
SEMESTA 30
SEMESTA 31
SEMESTA 32
PENGUMUMAN
SEMESTA 34
SEMESTA 35
SEMESTA 36
SEMESTA 37
SEMESTA 38
SEMESTA 39
SEMESTA 40
SEMESTA 41
SEMESTA 42
SEMESTA 43
SEMESTA 44
SEMESTA 45
SEMESTA 46
SEMESTA 47
SEMESTA 49
SEMESTA 50
SEMESTA 51
SEMESTA 52
SEMESTA 53
SEMESTA 54
SEMESTA 55
SEMESTA 56
SEMESTA 57
SEMESTA 58
SEMESTA 59
SEMESTA 60
SEMESTA 61
SEMESTA 62
SEMESTA 63
SEMESTA 64
SEMESTA 65
SEMESTA 66
SEMESTA 67
SEMESTA 68
SEMESTA 69
SEMESTA 70
SEMESTA 71 [TAMAT]
EKSTRA PART 1
SEMESTA 48

SEMESTA 33

21.7K 2.2K 316
By hfcreations

"Ngapain lo?" tanya Angkasa sambil menyimpan tasnya. Kemudian ia kembali memandangi Meteor yang tengah berbicara sendiri.

"Gue lagi mikir."

Angkasa menyerngit. Kelas hari ini kosong, kemarin tidak ada tugas dan besok tidak ada pemberitahuan akan ulangan. Tapi kenapa makhluk di sampingnya ini berpikir. Jelas ada yang salah.

"Tumben lo mikir? Apa lo udah beli otak di shopee?"

"Nggak! Kemarin gue beli di lazada, dapet diskon lima puluh persen sama gratis ongkir."

Kan, benar dugaan Angkasa pasti ada yang salah. Apalagi dengan mimik datar pada saat Meteor menjawab tadi. Sabar. Angkasa sudah terbiasa menghadapi hal seperti ini jadi ia bisa memaklumi.

Malas untuk meladeni, Angkasa mengiyakan saja. Biar cepat selesai.

"Emang lo lagi mikir apa?" setengah ragu Angkasa bertanya. Maklum saraf temannya ini kan agak terbelit jadi jangan harap dia akan serius. Tapi setengahnya lagi juga penasaran. Harap-harap cemas semoga tidak ada kata unfaedah lagi yang harus Angkasa dengar.

"Nyokap gue ngajak pergi ke arisannya, tapi gue takut di comblangin di sana. Apa gue bawa pacar aja kali, ya?" cerita cowok itu seraya menahan dagu dengan tangannya.

"Emang lo punya pacar," ceplos Angkasa tanpa dosa.

"Nah itu..." Bersamaan senyum yang tiba-tiba mengembang, naik turun alis Meteor juga ikut serta di sana. Tampak mencurigakan. Perasaan Angkasa mulai tidak nyaman.

"Gue bawa Bintang, ya," sambungnya yang detik itu juga langsung mendapatkan toyoran dari Angkasa.

Meringis pelan, Meteor tau akan reaksi itu.

"Lo pikir Bintang barang main dibawa-bawa. Nggak! Gue nggak mau! Enak aja."

"Yaelah... membantu sesama itu pahalanya besar, brader. Apalagi yang dibantu orang kesusahan kayak gue. Dijamin berlipat-lipat ganda dan berlapis-lapis wafer pahala lo."

"Otak lo tu yang perlu dibantu. Kalo bisa dibanting sekalian!"

"Sadis amat, Mas. Eike kan jadi takut," cibir Meteor. Lanjut berpikir bagaimana cara agar lolos dari ajakan nyokapnya.

Sedangkan Angkasa memutar bola mata jengah, merasa jijik melihat tingkah laku makhluk ini. Selang beberapa menit kemudian kembali Angkasa berbicara kepada Meteor.

"Sama Nebula aja. Lo lebih cocok sama dia," usul Angkasa. Kontan cowok itu langsung memuncratkan air yang tengah diminumnya.

Dengan terbatuk-batuk ia menjawab, "Nenek sihir? Lo nyuruh gue ngajak nenek sihir. Astagfirullah... luntur jutsu gue!"

"Kalian berdua cocok," seru Angkasa lagi. Tapi memang benar, bukan? Apa mungkin hanya Angkasa saja yang berpikiran seperti itu.

"Brader, yang namanya air sama minyak itu nggak bakalan bersatu," jelasnya sambil memperagakan dengan tangan. "Lo mau buat kejadian langka, atau mau liat Tunas Bangsa terguncang karena ulah dia. Gue sih ogah! Tiap hari ketemu aja udah buat enek. Iihhh..." Meteor bergidik sendiri membayangkannya. Nebula dan dia bersatu. Haha... lucu sekali. Dan jelas itu tidak akan terjadi.

"Air sama minyak memang nggak bisa bersatu. Tapi bukan berarti mereka juga nggak bisa berdampingan."

Meteor mengibaskan tangannya. "Masa bodohlah. Intinya jangan dia. Bisa-bisa tsunami hidup gue."

Jauh dari harapan Meteor untuk mendapatkan cewek bar-bar seperti itu. Sangat jauh. Terlebih, bisa-bisa mereka KDLP (Kekerasan Dalam Lingkup Pacaran) setiap hari.

"Astagfirullah..." Lagi-lagi Meteor mengucap.

"Sekarang aja lo bilang Astagfirullah. Nanti, Masya Allah cantiknya," ejek Angkasa sambil terkekeh pelan. Kontan saja Meteor langsung membelalak.

Mungkin untuk hari ini. Tidak untuk besok, lusa, bahkan minggu depan. Semua bisa berubah tanpa kita tau apa alasannya. Jadi, berhati-hatilah.

Karena apa yang terjadi itu pasti timbulnya dari diri sendiri. Baik keinginan yang tidak terlaksana ataupun penolakan secara tidak sengaja, semua itulah pemicunya.

"Keputusan yang dapat di simpulkan. Gue boleh bawa Bintang, kan?"

"Sekali nggak. Yang kedua atau yang ketiga tetep nggak!"

Mendengus karena tak mendapatkan bala bantuan, Meteor berpikir ulang. Apa perlu ia berguru lagi dengan Orochimaru untuk mendapatkan jutsu menghilang agar nyokapnya letih mencari. Namun jika ditelaah dari situasi berguru dengan Limbad lebih menjamin.

Ah, entahlah. Lama-lama berpikir daya otaknya bisa habis nanti. Tapi sebelum benar-benar ditutup sempat ia bertanya kepada Angkasa.

"Brader, Apa gue ajak Nebula aja, ya?"

***

Angkasa baru saja keluar dari ruangan Guru. Bertepatan ingin melangkah, pintu yang bertulisan ruangan Direktur di depannya juga ikut terbuka. Menampakkan sosok Bumi dengan muka tengilnya barusan keluar.

Menyerngit keheranan. Lantaran memang jarang sekali ada siswa yang dipanggil di sana jika bukan mengenai hal penting. Namun ketika melihat Bumi, sekilas saja Angkasa bisa menebak mengapa cowok itu bisa berakhir di ruangan tersebut. Apalagi kalau bukan permasalahannya.

Tak ingin terlalu memikirkan, Angkasa lanjut berjalan. Sedikit heran juga, sudah kelas tiga tapi tetap saja Bumi tidak berubah. Terhitung sudah lima langkah, kaki Angkasa mendadak berhenti.

"Jauhi Bintang!"

Angkasa berbalik badan, alisnya bertautan. Bukan hanya nama yang disebutkan tapi kalimatnya juga menjadikan Angkasa keheranan.

"Itu pernyataan?"

"Bukan. Itu perintah. Jadi, sebaiknya lo jauhi Bintang!"

Angkasa terkekeh pelan. Apa katanya? Jauhi Bintang. Yang benar saja. Tidakkah posisi mereka sedang terbalik saat ini.

"Seharusnya itu kalimat gue. Lo yang jauhi Bintang!" terang Angkasa. Bagaimana tidak. Lihat dampak yang Bumi berikan untuk Bintang, sampai-sampai mereka bolos sekolah kemarin. Jelas siapa yang seharusnya dijauhi.

"Lagipula, emang lo siapanya Bintang sampe berani nyuruh gue buat jauhi dia," sambung Angkasa yang mendapatkan senyum remeh Bumi di sana.

Masih mempertahankan senyum remehnya, Bumi maju beberapa langkah. "Mungkin sekarang lo bisa berdiri tegak atas ucapan lo itu, Angkasa. Nggak tau nanti."

"Apa maksud lo?"

"Kalimat gue akan tetap sama. Jauhi Bintang sebelum dia terluka."

Menyerngit tidak paham. Apapun alasannya, tetap Angkasa tidak bisa terima. "Atas dasar apa lo bisa bilang Bintang terluka? Selama ada gue. Gue bisa jamin hal itu nggak akan pernah terjadi."

Tapi semua itu udah lo lakukan tanpa lo sadari, brengsek!

"Tadinya gue juga berharap begitu." Bumi tersenyum sebelum tatapannya berubah tajam memandangi Angkasa. "Tapi kemungkinan terbesar seseorang terluka itu ada di orang terdekatnya."

"Jangan membaca kalau belum bisa mengeja. Hanya karena melihat situasi bukan berarti paham akan kondisi. Lo tau Bintang, belum tentu dengan orang terdekatnya. Jangan menilai hanya sekali pandang."

Andai kalimat Bumi ini tidak berat tanggungannya, mungkin sudah dari tadi ia layangkan dengan suka rela tanpa memikirkan apa efek ke depan yang akan diterima. Semua memang tak dibuat mudah. Mengalihkan emosi, yang dapat Bumi lakukan hanya bisa mengepalkan tangannya.

Tidak sekarang. Iya, belum saatnya untuk Bumi membongkar semua. Masih ada hal yang ia tuntaskan dan harus ia lindungi saat ini.

"Setidaknya gue udah peringatin lo. Jadi jangan menyesal kalo semuanya udah terjadi, Angkasa" Lantas Bumi melewati cowok itu begitu saja. "Ah, satu lagi," ujarnya seraya berbalik badan. "Jangan salahin gue kalo Bintang terluka nanti gue yang bakal gantiin posisi lo." Kemudian ia pergi tanpa melihat bagaimana reaksi Angkasa selanjutnya.

Karena gue juga nggak yakin kalian bisa bersama.

***

Normalnya ketika bel sudah berbunyi, para siswa akan berhamburan untuk cepat pulang ke rumah. Tapi lain hal yang dilakukan Bintang. Meregangkan badan, dengan santai ia terduduk di bangku taman sembari menyumbat telinganya menggunakan headset untuk mendengarkan sesuatu.

Dilihat sekilas, nampaknya gadis itu mulai bisa mengontrol diri pada saat mendengarkan suara hujan. Meresapi aliran suara yang masuk di sela-sela telinga, bahkan Bintang memejamkan mata guna meresapinya.

Ya, bisa dibilang hampir setiap hari Bintang mendengarkan suara hujan ini. Semula Bintang berpikiran bahwa tahap kedualah yang paling susah. Namun setelah sampai ke sini Bintang baru merasakan, tahap ketiga jauh lebih susah dan jauh dari bayangan yang Bintang kira.

Tak pelak juga ada setitik keinginan Bintang untuk berhenti. Ia lelah, ia ingin istirahat dan membiarkan saja, terlebih ia takut usahanya akan terbuang sia-sia yang berakhir tak menghasilkan apa-apa seperti hari dulu.

Namun seolah disadarkan kembali. Bintang teringat akan orang-orang yang menemaninya dan selalu mendukungnya dari belakang hingga semua keinginan tadi lenyap hanya dengan satu alasan, yaitu bertahan.

Iya, Bintang hanya perlu bertahan.

Lagi, yang dilakukannya saat ini juga merupakan persiapan. Bekal sebelum ia terjun langsung menghadapi hujan.

Bintang takut? Tentu saja. Setelah lama bersembunyi, pada akhirnya ia harus menampakkan diri.

Entah kali ini siapa lagi yang akan memang? Bintang atau hujan.

"Lagi ngapain?"

Bintang tersentak ketika mendapati bisikan dengan posisi sebelah headset sudah terlepas dari telinga. Menoleh ke samping, yang terlihat jelas adalah muka Angkasa.

"Ngagetin tau nggak," sungut Bintang. Untung saja ia tidak latah atau refleks memukul Angkasa. Kan bisa bahaya.

Angkasa terkekeh pelan lalu duduk di samping gadis itu. "Kamu dengerin apa?"

Mata Bintang tertuju pada ponselnya, senyum terbit di sana. "Mau denger nggak?" tawarnya yang dibalas anggukan dari Angkasa.

Bergerak pelan Bintang memasangkan sebelah headset yang terlepas tadi di telinga cowok itu. Reaksi pertama yang diperlihatkan adalah tatapan terkejut. Selanjutnya tergantikan oleh senyuman di beberapa detik kemudian.

"Serius? Jadi udah bisa beradaptasi?" tanya Angkasa yang tak ingin membendung rasa penasarannya.

Antara dua pilihan, mengangguk atau menggeleng sebagai bentuk jawaban. Menjatuhkan pilihan, Bintang tampak ragu. Alhasil ia hanya bisa berkata, "Masih mencoba beradaptasi. Awalnya sih agak berat tapi semakin ke sini aku menikmati."

"Setidaknya ada kemajuan. Aku ikut senang," ucap Angkasa sembari mengelus puncak kepala Bintang dengan sayang. "Aku yakin kamu pasti bisa melewatinya."

Dan inilah salah satu alasan dimana Bintang harus bertahan. Orang terdekat yang tak henti memberinya semangat walau apa yang dilakukan kadang terkesan biasa saja.

"Mendung. Ayo, aku antar kamu pulang."

Kontan Bintang langsung mengadahkan pandangan ke atas. Benar kata Angkasa. Cuaca mendung, terlihat dari awan yang sudah mulai menggelap. Aish... ramalan cuaca itu salah lagi. Jika terus begini, jelas saja sangat membahayakan.

Bersamaan kepalan tangan, saat itu juga genggaman hangat Angkasa mampu melunturkan keresahan Bintang.

"Ada aku," kata Angkasa meyakinkan, seakan tau apa yang ada dipikiran Bintang saat ini.

Mengalihkan pandangan ke arah Angkasa kemudian balik lagi ke tangan mereka. Tak butuh waktu lama untuk Bintang membalas genggaman cowok itu. Senyum keduanya mengiringi langkah selama berjalan menuju parkiran.

Tepat di depan motor Angkasa, sebuah jaket mendarat di pundak Bintang. "Biar nggak dingin," katanya yang lagi-lagi membuat Bintang tertegun.

Memang sudah sering kali Bintang mendapatkan perlakuan seperti ini tapi tetap saja Bintang tak bisa mengelak bahwa ia tersentuh atas perlakuan barusan.

"Terima kasih, kak." Angkasa mengangguk lalu membantu Bintang menaiki motornya.

Selama di perjalanan, hawa sejuk mulai menyelimuti Bintang. Bahkan cahaya matahari hampir mau tenggelam, yang siap tergantikan oleh awan gelap secara keseluruhan. Mendongak ke atas, tanpa disangka setetes rinai jatuh mengenai mukanya.

"Bintang..." panggil Angkasa ketika merasakan tangan gadis itu bergetar. Tak mendapatkan jawaban menjadikan Angkasa harus menghentikan laju motornya. Tergantikan dengan menangkup wajah Bintang yang sudah memucat.

Angkasa panik. Berkali-kali lipat dibuat panik. Bukan hanya keadaan Bintang tapi juga dengan rinai yang langsung menyerbu mereka tanpa aba-aba. Berpikir tenang, tidak mungkin juga ia melanjutkan perjalan. Alhasil yang dapat Angkasa lakukan adalah mencari tempat berteduh dengan kepala Bintang yang ia tutupi dengan jaketnya.

Di dalam dekapannya, Angkasa bisa merasakan tubuh ringkih Bintang. Seolah mencari perlindungan dengan semakin menenggelamkan wajahnya di sana. Angkasa mengelus punggung gadis itu untuk menenangkan.

"Cari tempat persembunyian yang pas. Jangan sampai mereka menertawakan kamu. Tutup semuanya tanpa celah. Tapi ingat, tidak untuk aku. Karena di manapun kamu, aku akan selalu berada di situ. Di samping kamu."

Tubuh ringkih Bintang mulai mereda.

"Masih ingat, kan manfaat hujan yang pernah aku sebutin?" tambah Angkasa. "Aku nggak bohong soal itu. Bahkan aku berterima kasih sama hujan, karena dia aku bisa ketemu kamu. Dan bisa sedalam ini cinta sama kamu."

Bintang mendongak, menampakkan wajahnya dengan linangan air mata yang masih merembes di pipi. Bahkan hidungnya sangat memerah membuat Angkasa ikut merasakan sakit di sana.

"Kamu kuat." Angkasa menyeka linangan air mata Bintang. "Kamu gadis kuat yang pernah aku temui. Dari awal aku udah bilang, kan. Kamu pasti bisa melewatinya."

Bintang memperhatikan dalam diam dengan genangan air mata yang sebentar lagi akan tumpah.

"Kamu ngertikan apa kata aku?"

Bintang mengangguk.

"Kalo ngerti apa?" tantang Angkasa.

"Aku kuat," jawab Bintang, khas suara serak habis menangis.

"Iya. Kamu kuat, sayang." Angkasa mendekatkan wajahnya lalu mencium puncak kepala gadis itu.

"Cara pengobatan yang terakhir. Mau coba nggak?"

Masih menimang. Tentu ini merupakan kesempatan terbaik, tapi tetap saja Bintang takut untuk menerima. Paham tentang teori tak membuatnya bisa langsung berdiri tegak menentang rinai itu.

Masih banyak yang benar-benar harus Bintang persiapkan. Terutama, mentalnya.

"Berdiam diri tak akan bisa membuat kamu maju. Sesekali keluar dari zona aman. Biar kamu bisa merasakan sensasi bedanya."

Apa Bintang harus melakukan ini? Tapi...

"Kamu nggak lupakan aku ada di samping kamu."

Tentu saja Bintang tidak lupa. Bintang ingin mencoba. Ingin mencoba keluar dari zona amannya. "Mau."

Tersenyum senang. Setelah menyimpan tas mereka, Angkasa langsung membawa Bintang di tengah hujan. Menyambut kedatangan, hujan itupun semakin deras membasahi keduanya.

Tubuh Bintang seakan mati rasa, bahkan kulitnya seperti ditusuki ribuan jarum. Napasnya kembali sesak dengan getaran semakin kuat. Bintang ingin luruh jika tidak ada tangan Angkasa yang menahannya.

"Ikuti aku, ya. Tarik napas kamu, buang secara perlahan."

Begitulah ucapan yang selalu Angkasa lontarkan secara berulang. Bintang mengikuti, terus mengikuti, dan tak henti untuk mengikuti hingga pernapasannya kembali stabil.

"Fokuskan pikiran kamu. Bayangkan manfaat hujan yang udah kamu pelajari. Suara hujan yang kamu dengari tadi."

Semakin lama, perasaan Bintang semakin tenang. Sedikit demi sedikit ia bisa merasakan bahwa tubuhnya tidak sesakit tadi.

Bintang menatap ke arah Angkasa yang tak henti memberinya instruksi. "Kak Angkasa."

"Kenapa? Ada yang sakit, bilang sama aku."

Menggeleng pelan, Bintang berucap, "Terima kasih," lirihnya yang ternyata mendapatkan sahutan dari atas sana. Bertepatan itu mereka berdua langsung luruh, terduduk diantara hujan yang mengelilingi.

"Lihat. Bahkan diantara hujan aku masih bisa melihat Bintang."

Sudah tak punya tenaga untuk menjawab, sebagai perwakilan gadis itu hanya bisa tersenyum.

"Kali ini kamu menang melawan hujan, Bintang."

***

"Gimana keadaan Bintang, Tante?"

"Bintang barusan istirahat. Kamu mau lihat?"

Angkasa menggeleng. "Nggak usah, Tante. Sekali lagi maafin Angkasa ya, karena udah buat Bintang kehujanan."

"Ini untuk pertama kalinya Tante melihat Bintang tersenyum setelah diguyur hujan. Kayaknya ada sesuatu yang membuat dia senang."

Kekehan Bunda memutarkan pikiran Angkasa akan aksinya yang mengajak Bintang kehujanan tadi. Jujur... Angkasa tidak tega tapi lambat laun Bintang juga pasti akan merasakan di posisi seperti itu.

Niat Angkasa sama. Ingin Bintang sembuh dari penyakitnya. Itu saja.

"Tante buatin air hangat dulu, ya."

Angkasa mengangguk kecil. Beberapa detik kemudian ia teringat akan tas Bintang yang masih berada di motornya. Tanpa menunggu lama segera ia beranjak.

Membawa masuk ke dalam dan meletakkannya di atas meja. Namun keadaan tas yang terbuka itu tak sengaja menarik perhatian Angkasa. Fokus mata tertuju pada buku kuning dengan posisi membelakangi.

Perlahan Angkasa membukanya. Tau ini sikap lancang, namun entah kenapa saat melihat buku tersebut perasaan Angkasa malah tertarik.

Dan Angkasa pun membaca halaman pertama buku itu.

Nama gue Bulan. Sosok periang dan paling suka bersenang-senang. Suka malam tapi tidak dengan kegelapan. Suka cahaya apalagi ada Bintang di sana. Suka cokelat tapi sering sakit gigi. Dan, suka hujan tapi tidak dengan kenangan, melainkan ketenangan.

Bercita-cita ingin menciptakan planet sendiri yang akan diberi nama Bulan. Harapan, semoga kesampaian.

Sampai di sini perasaan Angkasa masih biasa saja.

Keinginan sederhana, mempunyai obsevatorium di rumah. Keinginan sedang, saat bermain tidak dicegah. Keinginan luar biasa, melihat Bunda dan Bintang bahagia.

Oke! Cukup. Tidak. Ada satu lagi. Angkat tangan, siapkan suara. Jika ada yang membaca buku ini segera berteriak.

INI BUKU KERAMAT. JANGAN DI BACA. JIKA MASIH INGIN MEMBACA, BERSIAPLAH MENJADI JOMLO SEUMUR HIDUP.

Nb : Khususnya buat lo Bintang. Awas aja lo baca buku diary gue.

Angkasa menyerngit membaca tulisan itu, yang menurutnya sedikit lucu. Dari sini Angkasa bisa menilai bahwa Bulan dan Bintang memiliki karakter yang bertolak belakang.

Hingga pada tulisan terakhir, berhasil membuat napas Angkasa tercekat dengan degup jantung tidak beraturan. Tertera nama di sana benar-benar menghilangkan separuh nyawa Angkasa.

Salam : Chynzia Bulan Tisha (Cantik tiada tara. Lebih cantik dari Bintang pokoknya)

Berhasil. Buku itupun jatuh begitu saja. Tangan Angkasa mulai bergetar luar biasa. Ia tidak bisa berkata. Kepalanya seperti terhantam benda berat yang mengakibatkan pening secara mendadak. Bahkan kedatangan Bunda tak Angkasa sadari dan ia langsung beranjak pergi.

Jadi, yang kemarin itu bukan unsur kebetulan semata.

Ya, Tuhan. Takdir macam apa ini?!

*****

Pasti kalian penasaran kan siapa aja pemenang GA kali ini?

Sabar menunggu ya secepatnya bakal kita umumin. Karena, team sedang memilih pemenang GA.

Terima kasih telah membaca karya Ratna Fidelya.

Semoga semua pembaca suka dan Keep Read.

Jangan lupa comment dan votenya.

Instagram : gueralyaz

Instagram : hf.creations

Continue Reading

You'll Also Like

548K 44K 29
ace, bocah imut yang kehadirannya disembunyikan oleh kedua orangtuanya hingga keluarga besarnya pun tidak mengetahui bahwa mereka memiliki cucu, adik...
4.9M 371K 52
❗Part terbaru akan muncul kalau kalian sudah follow ❗ Hazel Auristela, perempuan cantik yang hobi membuat kue. Dia punya impian ingin memiliki toko k...
3.1M 261K 62
⚠️ BL Karena saking nakal, urakan, bandel, susah diatur, bangornya Sepa Abimanyu, ngebuat emaknya udah gak tahan lagi. Akhirnya dia di masukin ke sek...
5.4M 367K 68
#FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA⚠️ Kisah Arthur Renaldi Agatha sang malaikat berkedok iblis, Raja legendaris dalam mitologi Britania Raya. Berawal dari t...