Fall in Love with Sweet Devil

By coldautumn

334K 50.4K 10.9K

Jinae tidak pernah menyangka jika ia harus bertemu kembali dengan Yoongi, tetangga sekaligus teman masa kecil... More

[TRAILER]
Prolog
01. Awal yang Buruk
02. Kesialan yang Berakhir Baik
03. Tidak Seburuk Kelihatannya
04. Tersesat
05. Sesuatu yang Manis
06. Mencoba untuk Luluh
07. Pengantar Tidur
08. Hal Baru
09. Antara Khawatir dan Kesal
10. Sebuah Rahasia
11. Penyelamatan (Lagi)
12. Ragu-ragu
13. Mulai Penasaran
14. Alasan
15. Hujan dan Penyesalan
16. Salah Siapa?
17. Sebuah Harapan Baru
18. Gadis Bodoh
19. Rahasia Kecil
20. Kecewa itu Ada
21. Yoongi Mencurinya
22. Membangun Kepercayaan
23. Penawar Hati yang Luka
24. Sadar Diri
25. Harapan Semu
27. Pergi
28. Menghilang
29. Pilihan
30. Pengakuan
31. Air Mata dan Kebahagiaan
32. Dari Hati ke Hati
33. Deep in Love
34. Ketakutan Terbesar
35. Make a Deal with Yourself
36. Penantian Panjang
37. Dia yang Romantis
38. Kembali
39. Hati yang Bicara
40. Safe and Sound
41. Sweet Life
42. A new chapter begins

26. Alasan untuk Bertahan

6.5K 1.2K 452
By coldautumn

Daegu, 2010.

Siang itu langit berwarna biru cerah. Terbentang luas tanpa ada kumpulan awan yang menjadi penghalang. Yoongi baru saja keluar dari sebuah toko kelontong yang biasa ia lewati saat pulang sekolah. Anak lelaki yang masih mengenakan seragam sekolah itu menenteng sebuah kantung plastik hitam yang berisi dua batang es krim. Berjalan santai menyusuri jalanan yang cukup ramai oleh anak sebayanya. Saat ini memang kegiatan sekolah baru saja usai.

"Yoongi, jangan lupa. Dua jam lagi di lapangan dekat sungai. Kalau kau tidak datang, tim basket kita pasti kalah dan kita harus merelakan lapangan itu menjadi milik sekolah sebelah."

Seorang teman baru saja menepuk bahunya. Yoongi menoleh dan mendapati Joohyuk si anak laki-laki paling tinggi di sekolah, mengajaknya bicara.

Pun Yoongi tersenyum lebar, lalu mengacungkan jempolnya ke arah Joohyuk dan beberapa temannya yang lain yang datang bersama anak itu.

"Omong-omong, anak kelas satu yang biasa mengekorimu seperti anak ayam itu ke mana? Tumben sekali kalian tidak bersama," ucap Joohyuk sambil sesekali memerhatikan sekeliling Yoongi.

Namun, yang ditanya justru mengangkat bahunya tak acuh, lalu berbelok di persimpangan jalan sambil berkata, "aku ada urusan. Nanti aku menyusul."

Setelahnya Yoongi tidak peduli lagi dengan apa yang terjadi di balik punggungnya. Ia melangkah dengan mantap menyusuri jalan setapak dengan rerumputan yang mengering sebab hujan belum turun hampir dua minggu. Musim panas kali ini memang agak ekstrim. Kendati demikian, beberapa tanaman bunga terlihat tumbuh dengan baik.

Seolah sudah tahu ke mana tungkai kaki itu membawanya pergi, Yoongi tanpa ragu melewati beberapa petani semangka yang tengah sibuk memetik hasil jerih payahnya. Tanpa sadar, ia tersenyum kecil.

Matahari masih bersinar terik, bahkan saat sepasang irisnya menangkap sosok gadis pendek dengan seragam yang sama sepertinya sedang duduk di bawah pohon besar yang daunnya lebat.

"Jinae," panggil Yoongi setelag ia tiba di tempat itu.

Gadis itu pun menoleh saat mendengar seseorang menyebut namanya. Melengkungkan bibir ke bawah ketika Yoongi mengambil tempat duduk tepat di sampingnya. Keduanya duduk di atas rerumputan sambil memandangi padang ilalang yang bergerak mengikuti arah angin.

"Kenapa kau kemari?" tanya Jinae ketus.

Gadis yang baru saja genap menjadi murid SMP selama dua minggu itu merengut. Kenapa Yoongi bisa tahu kalau ia di sini, pikirnya.

Sementara Yoongi, ia malah melempar kantung plastik yang ia bawa ke atas pangkuan Jinae.

"Tadi ada yang memberinya padaku, tapi sayangnya rasa cokelat. Aku tidak suka. Jadi itu untukmu saja."

Kadang Yoongi memang seperti itu, entah apa maksudnya. Ia tidak suka jika orang lain tahu perbuatannya. Padahal jelas-jelas Yoongi yang datang sendiri ke toko lalu membeli es krim itu dan membawanya kemari. Hanya untuk Jinae, teman kecilnya.

Mendengar hal itu, Jinae segera melongok apa isi plastik tersebut. Kedua matanya berbinar lucu sementara bibirnya tidak bisa untuk tidak tersenyum saat tahu Yoongi memberinya dua batang es krim rasa cokelat.

"Sampaikan terima kasihku pada orang yang memberimu es krim ini, ya," kata Jinae sebelum merobek bungkus es krim itu dengan semangat menggebu. Perasaannya terasa jauh lebih baik saat lidahnya mengecap rasa manis dan dingin dari es krim favoritnya itu. Ia kembali tersenyum kendati berjam-jam lalu terus menekuk wajahnya.

"Jadi, kenapa anak baru sepertimu sudah berani bolos sekolah? Kau mau aku adukan pada Mama dan Papa?"

Jinae mendengus. Alih-alih melanjutkan makan es krim, ia malah menyipit kesal ke arah Yoongi. "Adukan saja. Nanti aku beritahu mereka kalau kau yang dua hari lalu membuatku berenang bersama ikan-ikan di sekolah sampai basah kuyup."

Sepersekon kemudian, tawa Yoongi meledak di udara. Menjadikan matanya yang sipit semakin membuat lengkungan manis. Ia kembali terpingkal saat teringat hal itu.

"Dasar menyebalkan!" Jinae meringsut mendekat, lalu menarik ujung rambut Yoongi tanpa ampun.

"Hei! Lepaskan aku! Dasar gadis barbar!" ucap Yoongi sembari berusaha untuk menjauhkan lengan Jinae. "Oke, oke! Aku minta maaf, Ji! Hei, aku minta maaf, lepaskan aku!"

Setelah dirasa cukup, Jinae melepaskan Yoongi, lalu kembali memakan es krimnya. Gadis itu diam-diam mengulum senyumnya saat Yoongi meliriknya tajam sambil mengusap-usap kepala. Dalam hati ia tertawa keras karena berhasil mengerjai seseorang yang selalu jahil padanya.

Yoongi menyemburkan napas panjang sebelum merebahkan punggungnya di atas rerumputan. Tidak terlalu ambil pusing atas perlakuan Jinae barusan. Toh, sudah biasa. Untungnya, dahan pohon yang berada di atas mereka itu cukup untuk menghalau terik cahaya yang lolos melalui celah-celah daun. Pemuda itu sedikit menurunkan pandangannya. Menatap langit bebas yang terbentang luas di atas mereka.

"Ji, kau punya impian?" gumam Yoongi tiba-tiba. Helaian rambutnya yang hitam legam, sesekali bergerak mengikuti sapuan angin.

"Tentu saja," sahut Jinae cepat. Es krim pertamanya telah habis, Jinae mulai memakan yang kedua. "Jika dewasa nanti, aku ingin menjadi seseorang seperti Papa. Mama bilang, Papa itu orang hebat, bisa mengatur bisnis yang tidak semua orang bisa lakukan. Jadi, aku memutuskan untuk jadi seperti Papa."

Polos sekali, pikir Yoongi.

"Kalau kau?" lanjut Jinae. Ia memeluk kedua lututnya, "ah, aku tahu. Kau juga ingin seperti Papa, kan? Yoonjung Oppa bilang, kalian berdua akan meneruskan bisnis Papa."

Yoongi memejamkan kedua matanya. Menikmati bagaimana embusan angin menerpa kulit wajahnya. Pikirannya melayang jauh. Menerka apa yang akan ia lakukan untuk hidupnya nanti.

"Tidak," ucap Yoongi pelan. "Aku punya sesuatu lain untuk diraih. Menurutmu, bagaimana kalau aku menjadi seorang produser musik? Apa Papa akan marah?"

Ah, Jinae ingat. Yoongi itu memang suka bermusik. Dia pandai memainkan beberapa instrumen musik. Pun tak jarang mengikuti lomba di sekolah. Bahkan Jinae ingat saat ia berulang tahun yang ke-sepuluh, Yoongi memberinya sebuah lagu yang ia mainkan sendiri dengan piano di rumahnya. Orang tua mereka pun lihat. Lantas, kenapa Yoongi bertanya seperti itu?

Lagi pula, Jinae pikir kedua orang tua Yoongi adalah orang baik, karena yang ia tahu, semua orang tua pasti seperti ituㅡseperti Papa dan Mamanya.

Pada akhirnya Jinae menggeleng pelan, kemudian memutar tubuhnya menghadap Yoongi. Gadis itu mengulas senyum tulus. "Mama bilang, saat Jinae menginginkan sesuatu, Jinae harus berusaha untuk mendapatkannya. Kalau tidak, nanti Jinae akan menyesal. Lagi pula, ada Mama yang akan selalu mendukung Jinae," tuturnya. Ia menelungkupkan tubuhnya di sebelah Yoongi. Menumpu dagunya sendiri dengan kedua tangan setelah melempar asal stik es krim miliknya. "Jadi, Papa Yoongi pun pasti tidak akan marah. Jinae yakin itu."

Mendengar penuturan Jinae yang sederhana, sedikitnya membuat Yoongi bisa merasa lebih lega. Perlahan, ia membuka kedua kelopak matanya. Mengedip beberapa kali sebelum menoleh ke arah Jinae yang tengah tersenyum lebar. Yoongi sangat sadar kalau Jinae kecil begitu lugu dan menggemaskan, makanya ia sering sekali menjahili Jinae. Ia hanya ingin mendapatkan perhatian gadis itu.

"Benarkah?" kata Yoongi sungguh-sungguh. Ia mengusap sudut bibir Jinae yang terdapat sisa es krim.

Jinae mengangguk antusias, lalu mengambil lengan Yoongi guna ia jadikan sebagai bantalan untuk kepalanya sendiri sebelum merebahkan diri di samping Yoongi. Ikut memandangi langit yang cerah.

"Apa pun yang terjadi, Yoongi harus berjuang. Kalau memang ingin menjadi seorang produser, Yoongi harus bisa mewujudkannya. Pokoknya, Yoongi tidak boleh menyerah atas impian Yoongi." Jinae meringsut mendekat, lalu mengacungkan jari kelingkinya di udara. "Janji?"

Walau sempat merasa ragu, Yoongi tersenyum kecil lalu menautkan jari kelingking mereka.

"Janji."

Saat matahari masih malu-malu untuk menampakkan diri, saat itu pula Min Yoongi masih terjaga. Pemuda itu bahkan tidak tidur semalaman. Sejak ia menunggu Jinae pulang, sampai gadis itu tiba pada pukul dua pagi, Yoongi tidak tidur meskipun hanya untuk satu detik. Ia masih duduk di atas sofa dengan dua gelas kopi yang telah habis isinya.

Yoongi menyemburkan napas panjang yang terasa begitu berat. Rasanya sesak hingga membuat kepalanya kembali berdenyut keras. Ia memilih untuk menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa selagi menutup kedua matanya rapat-rapat.

Kendati demikian, Yoongi tak benar-benar berdiam diri. Isi otaknya justru berkelana entah ke mana. Terlalu banyak yang ia pikirkan sampai-sampai ia sendiri tidak tahu harus berbuat apa.

Sejak ia memutuskan untuk hidup mandiri di Seoul setelah lulus SMP, Yoongi sudah terbiasa menyelesaikan masalahnya sendiri. Bersikap dewasa pada usia yang masih membutuhkan dukungan penuh dari orang tua. Tumbuh menjadi anak keras kepala dan tidak mudah menyerah, supaya tidak diremehkan oleh sang ayah. Meyakinkan diri sendiri bahwa ia mampu melewati masa-masa sulit itu tanpa bantuan orang lain.

Namun, seorang manusia selalu membutuhkan bantuan dari manusia lain, bukan?

Saat itu Yoongi masih tujuh belas tahun ketika ia gagal dalam sebuah kompetisi musik besar skala nasional. Sebuah lagu yang sudah susah payah ia persiapkan selama satu tahun tiba-tiba saja dicuri oleh temannya sendiri. Hingga membuatnya jatuh terpuruk karena gagal membuktikan kepada sang ayah bahwa ia mampu berjalan pada pilihan hidupnya sendiri.

Kedua orang tuanya datang ke Seoul. Ayahnya, yang memang tak pernah setuju jika Yoongi bersekolah di sekolah musik itu meminta Yoongi untuk menyerah pada mimpinya. Namun, Yoongi bersikeras bahwa ia mampu. Ia bisa. Bahkan ia berlutut di depan sang ayah agar diberi izin untuk terus mengejar impiannya. Karena Yoongi ingat, ia telah berjanji bahwa ia tidak akan menyerah pada mimpinya. Apa pun yang terjadi.

Dan saat itulah, Hyera, satu-satunya teman dekat yang Yoongi miliki, ikut berlutut di depan ayahnya. Ikut memohon agar Yoongi diberi izin untuk menggapai cita-citanya. Hanya dia, gadis yang tahan dengan Min Yoongi yang keras kepala. Gadis yang mati-matian mau membantu Yoongi disaat ia terpuruk. Gadis yang tahan dengan semua perkataan Yoongi yang kasar.

"Ah, sudah lama sekali," gumam Yoongi masih dengan mata terpejam.

Kembali teringat di mana ia mengalami masa-masa sulit sebelum sampai di titik ini. Saat itu, janjinya pada Jinae terus terngiang, dan menjadi motivasi terbesar bagi Yoongi agar ia tidak menyerah. Jinae memang membawa pengaruh besar dalam hidupnya. Gadis yang selalu Yoongi anggap kecil itu tak pernah ia lupakan sedikit pun. Kendati mereka harus berpisah untuk waktu yang lama.

Sepersekon kemudian, Yoongi membuka kedua matanya. Ia kembali meluruskan punggung. Lalu pandangannya tertuju pada dua pintu di depannya yang masih tertutup rapat. Yoongi tidak tahu apakah salah satu dari mereka telah terjaga atau bahkan keduanya. Yang Yoongi tahu, ia telah melukai hati kedua gadis itu.

Yoongi memang brengsek.

Dan ia sadar itu.

Kadang, Yoongi bertanya-tanya, apa ia terlalu egois jika ia ingin mempertahankan kedua gadis itu di sisinya? Sungguh, Yoongi tidak ingin kehilangan mereka. Keduanya.. sangatlah penting, meskipun dalam artian yang berbeda.

Ketika Yoongi masih sibuk termenung, salah satu dari dua pintu itu terbuka. Seorang gadis yang telah berpakaian rapi keluar dari dalam sana. Kedua pasang mata mereka sempat bertemu sebelum Jinae cepat-cepat mengalihkan pandangannya ke arah lain, lalu berjalan melewati Yoongi begitu saja. Tanpa menyapa lebih dulu.

Sadar bahwa ia baru saja melewatkan satu kesempatan besar, Yoongi buru-buru beranjak dari duduknya sebelum Jinae sempat keluar dari pintu apartemen yang telah terbuka.

Yoongi lebih dulu menarik lengannya, hingga tubuh Jinae terhuyung dan jatuh ke dalam peluknya.

"Bisakah kau mendengarkan aku dulu? Hanya sebentar." Yoongi melingkarkan tangannya di sepanjang bahu Jinae. Memeluknya erat kendati gadis itu menolak untuk diperlakukan seperti itu.

Sungguh, Yoongi tidak ingin Jinae berpikiran jauh lebih buruk dari apa yang semalam ia dengar. Ia tidak ingin kesalah pahaman ini terus berlanjut dan membuat situasi menjadi semakin tak terkendali.

"Lepaskan aku, Yoongi! Jangan memelukku setelah kau tidur dengan gadis lain! Aku tidak mau!"

Jinae terus memberontak. Susah payah ia melepaskan diri dari Yoongi, namun pemuda itu enggan melepaskannya juga. Ia terlalu lelah untuk menangis. Terlalu muak mendengar perkataan maaf dari bibur Yoongi. Pada kenyataannya, pemuda itu terus melakukan hal yang selalu membuatnya meminta maaf pada Jinae.

"Jinae! Dengar! Kau salah.. aku tidak seperti itu."

Jinae menggeleng. "Lepas! Lepaskan aku!"

"Bisakah kau mendengarku sebentar saja?"

"Tidak! Aku tidak mau!" Jinae bersikeras.

"Jinae," kata Yoongi sekali lagi. Kesabarannya sungguh diuji.

"Aku tidak dengar! Aku tidak dengar! Pokoknya, aku tidak dengar! Masa bodoh aku tidak mau dengar, Min Yoongi!"

Yoongi melepaskan pelukannya, lalu beralih meremat bahu Jinae dengan kuat. "JINAE!"

Gadis itu terperanjat. Tersentak kaget lantaran Yoongi baru saja membentaknya dengan keras. Cukup. Ia tidak bisa diperlakukan seperti ini. Apa salahnya? Kenapa Yoongi terlihat begitu marah? Jinae hanya tidak siap mendengar kemungkinan terburuknya. Ia tidak sanggup.

Apa lagi yang ingin Yoongi jelaskan? Bagi Jinae, semua terlalu terlihat jelas. Bagaimana Yoongi membawa Hyera pulang ke apartemennya saja sudah membuktikan bahwa pemuda itu begitu peduli pada Hyera. Brengsek. Rasanya Jinae ingin tertawa. Sebenarnya siapa yang bodoh di sini? Harusnya Jinae tidak berpikiran seperti ia tidak terima jika Hyera ada di sini. Jinae hanya menumpang, dan Yoongi bebas membawa siapa pun ke kediamannya. Atau mereka mau bercinta seharian penuh di tempat ini pun harusnya tak apa. Toh, tempat ini memang milik Yoongi.

Memangnya Jinae siapa bisa melarang?

"Yoongi." Jinae berkata dengan suaranya yang serak. Sepasang irisnya meredup saat menyelami kedua obsidian milik Yoongi yang menatapnya sendu. Terlihat memerah sebab gadis itu mati-matian menahan air matanya supaya tidak meluncur. "Kau tidak perlu menjelaskan apa pun padaku. Kautahu? Ini rumahmu, kau berhak membawanya ke sini. Lagi pula aku hanya menumpang. Dan kupikir, kau tidak perlu repot-repot menjelaskan alasan apapun karena kita tidak memiliki hubungan lebih dari teman."

Ya, mereka memang tidak memiliki hubungan khusus, bukan? Namun, kenapa rasanya seolah hati Jinae baru saja dipukul hingga hancur berantakan? Kenapa sakit sekali saat bibirnya meluncurkan kata-kata itu? Aneh. Jinae tidak biasanya begini dan seharusnya memang tak boleh seperti ini. Padahal dirinya sendiri selalu berkata bahwa ia belum siap untuk membuka hatinya kembali sebab luka di hatinya itu belum sembuh betul setelah apa yang Mark lakukan padanya. Ia masih berusaha mengobati luka itu. Tapi, kenapa rasanya sekarang malah seperti ada luka baru? Bukan di tempat yang Mark torehkan, melainkan di sisi yang lain.

"Aku sungguh tidak peduli dengan semua yang kau katakan. Kau bukan siapa-siapaku, Yoon."

Rasanya Yoongi baru saja ditampar dengan keras. Jantungnya mencelos. Ia tak mampu berkata-kata. Perlahan, Yoongi menarik tangannya menjauh dari tubuh Jinae selagi mereka masih saling tatap satu sama lain. Dia bercanda, kan? Apa selama ini Jinae tidak merasakan bahwa Yoongi menyukainya? Bahwa Yoongi selalu menganggap Jinae adalah seseorang yang penting di hidupnya? Sungguh, semua ini tidak masuk akal bagi Yoongi.

"Kebersamaan kita selama ini.. kau anggap apa, Ji? Kau juga tidak peduli tentang hal itu?"

Jinae menggigit bagian dalam bibir bawahnya kuat-kuat. "Aku tahu selama ini kau hanya kasihan padaku. Kalau bukan karena permintaan Mama, kau juga tidak akan menampungku di sini, kan? Jadi aku yakin kalau apa yang kau lakukan untukku selama ini juga hanya semata-mata rasa kasihanmu itu."

"Ciuman itu, kau pikir itu juga bagian dari rasa kasihanku?! Iya?!" Yoongi marah. Jelas saja. Kenapa Jinae berpikir seperti itu? Padahal Yoongi sendiri sudah pernah menjelaskan alasannya membiarkan Jinae tinggal di sini.

Sementara itu, Jinae stagnan. Ia membeku tatkala kedua obsidian Yoongi menatapnya lekat. Sebenarnya Jinae tidak berpikir bahwa itu adalah rasa kasihan, hanya saja, buat apa diperjelas? Toh, itu tidak akan memperbaiki hubungan mereka. Jinae tidak ingin berharap lagi. Ia tidak mau terluka lebih jauh lagi. Sungguh, ia terlalu takut untuk memulai sebuah hubungan baru. Atau lebih tepatnya, Jinae takut jatuh cinta kepada Yoongi.

"Itu sebuah kesalahan. Harusnya hal itu tidak boleh terjadi." Jinae mengalihkan pandangannya ke arah lain. Menatap Yoongi hanya akan membuatnya jatuh ke dalam pelukan pemuda itu lagi. Rasanya, Yoongi akan tahu seluruh pemikiran Jinae jika mereka saling pandang lebih lama lagi.

"Brengsek," Yoongi mengumpat.

Ia benar-benar tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Bagaimana bisa Jinae berkata seperti itu? Selama ini Yoongi memang tak pernah menyinggung soal perasaannya sendiri. Itu ia lakukan demi Jinae. Yoongi tahu bahwa gadis itu belum siap memulai sebuah hubungan serius. Ia masih terluka, dan Yoongi tidak ingin bertindak gegabah sebab ia pikir kalau ia memaksakan diri, yang ada Jinae malah semakin terluka. Yoongi selalu memikirkan perasaan Jiane.

Tapi, ia sungguh tidak tahu kalau semua akan berujung seperti ini.

"Ji, dengar," ucap Yoongi serius. Kedua irisnya menatap Jinae lamat. Seolah memenjarakan gadis itu agar tak pergi ke mana pun. Sungguh, ia tidak ingin kehilangan Jinae lagi. Cukup satu kali ia meninggalkan gadis itu dulu, kali ini tidak boleh terulang kembali. "Akuㅡ"

"Yoongi!"

Ucapannya terputus begitu Hyera berlari dari dalam kamarnya. Gadis itu tersenyum cerah dengan kedua mata berkaca-kaca. Lantas memeluk leher Yoongi seolah tidak peduli bagaimana atmosfer yang menyelimuti Yoongi dan Jinae.

"Aku menemukan dua tiket ke Hawai di kamarmu! Astaga, aku senang sekali kau benar-benar mengabulkan permintaan liburanku ke Hawai! Kupikir kau tidak ingin liburan berdua bersamaku lagi! Terima kasih, Yoongi!"

Hyera sungguh tidak peduli lagi. Ini satu-satunya cara yang ia miliki agar tak kehilangan Yoongi lagi. Cara terakhir yang harus ia tempuh guna memertahankan cintanya. Kendati akan melukai seseorang nantinya, ia tak peduli. Ia ingin egois, untuk kali ini saja. Sebab sejak tadi, ia sama sekali tidak tidur. Hyera mendengar semua ucapan Yoongi maupun Jinae. Gadis itu bahkan terjaga semalaman setelah Yoongi tak kunjung kembali ke dalam kamarnya.

"Aku menyayangimu!" ucap Hyera sekali lagi.

Oh, Tuhan, haruskah Jinae melihat ini semua? Bahkan gadis itu tidak tahu harus bereaksi seperti apa saat melihat Hyera datang dan memeluk Yoongi dengan gembira seperti itu. Di depan kedua matanya sendiri.

Gadis itu melangkah mundur. Kedua manik matanya bergerak gelisah. Ia benar-benar kehilangan arah sebelum seseorang menggenggam pergelangan tangannya.

"Jinae pergi bersamaku."

Semua terkejut sebab Jimin tiba-tiba saja hadir di antara mereka dengan rahang mengeras serta sorot mata tajam. Memandang Yoongi penuh benci sebelum menarik lengan Jinae.

"Hyung, kau tidak boleh egois," kata Jimin sebelum ia dan Jinae menghilang di balik pintu. Menyisakan Yoongi yang mematung di tempatnya berdiri.

Rasanya tubuhnya terlalu kaku untuk bergerak mengejar Jinae yang baru saja dibawa pergi oleh Jimin. Ia hanya mampu memandangi punggung kecil Jinae yang ia harap mau berhenti dan kembali berbalik ke arahnya. Namun, layaknya embusan angin yang pergi tanpa meninggalkan bekas, harapannya hanyalah sebuah angan yang tak akan tercapai. Nyatanya, gadis itu tak berbalik sama sekali. Yang tersisa hanyalah, ingatan Yoongi tentang sepasang iris Jinae yang menatapkan kecewa. Apa ini artinya, Yoongi akan kehilangan lagi?

Helloo! Sepertinya asik ya kalo dua minggu sekali updatenya, jadi ada rindu-rindunya gitu, kan? Hehe btw kaget aku tuh liat part kemarin 😂 banyak yg protes kasihan jinae wkak tenang gais, Jinae nggak selemah itu kok! Bakalan ada masanya dia bahagia hehe makanya ikutin terus yaa kisah merekaa, jangan bosan-bosan untuk vote dan komen:)) aku seneng banget liat komentar kaliaaaan💜

Btw mau nanya nih, jadi menurut kalian gimana, si Jimin ini ada di pihak siapa hayoo? Daan setelah ini, apakah Jinae akan tetap bertahan dengan Min Yoongi? Btw kejawab ya, jadi selama ini Hyera emang penting bgt buat Yoongi ya karena itu. Mereka beneran sahabatan kok.

Selamat berakhir pekan! Jaga kesehatan dan pola pikir yaa! Semangat terus untuk semua aktivitas kalian! Peluk hangat dari aku, Rin 💜

Continue Reading

You'll Also Like

472K 47.1K 37
Menceritakan tentang seorang anak manis yang tinggal dengan papa kesayangannya dan lika-liku kehidupannya. ( Kalau part nya ke acak tolong kalian uru...
194K 9.5K 31
Cerita ini menceritakan tentang seorang perempuan yang diselingkuhi. Perempuan ini merasa tidak ada Laki-Laki diDunia ini yang Tulus dan benar-benar...
127K 9.1K 57
cerita fiksi jangan dibawa kedunia nyata yaaa,jangan lupa vote
239K 36K 65
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...