Inayat Hati

By mawar_malka

591K 49.4K 2.6K

Aku mencintaimu tanpa henti. Bahkan Tuhan pun mungkin cemburu dengan rasa ini karenamu. Tapi sekilas waktu ka... More

Prolog
1. Kata Pisah
2. Cerita Kami
3. Yang Tak Kutahu
4. Bunga Di Luar
5. Ijinkan Aku Marah
6. Memilih Kejujuran
7. Mengikhlaskan
8. Hidupku sekarang
9. Melihat ke depan.
10. Kabar tentangnya.
11. Teman Bossy
12. Di manakah kebaikan?
13. Perempuan Yang Terluka
14. Dia lagi.
15. Wanita Hebat.
16. Kekuatan
17. Lepas Dari Sakit
18. Melepaskan Rasa
19. Lamaran Mas Al
20. Tak Terduga
21. Trauma
22. Kebingunganku.
23. Musibah itu jawaban.
24. Bulan Madu Sederhana
25. Sebuah Teka-Teki
26. Membingungkanku.
27. Pencerahan
28. Sebuah Kesempatan
29. Kekuatan.
30. Wanita Berlian.
31. Bidadari Surga.
32. Cerita Akhiŕ
Ekstra Part
Just Promote

Epilog

18K 1.4K 94
By mawar_malka

Tespack di tangan terus saja kupandangi. Ini sudah tes kehamilan entah kesekian puluh berapa kali. Aku terus saja memandanginya. Seandainya oh seandainya ada kekuatan magis yang datang tiba-tiba, aku ingin garis ini bertambah merah satu lagi. Jika perlu tiga garis juga tak apa karena kumerasa setengah putus asa. Kali ini aku hanya bisa duduk memandanginya terus menerus. Tak ada keajaiban. Garis merah itu tetap tegak lurus satu saja.

Walaupun mataku tengah berkabut karena air mata, aku tahu ada Mas Al yang datang. Dan aku tahu dia sedang memandangiku. Namun buat apa? Aku hanya perempuan mandul yang tak berguna. Walaupun pemeriksaan kemaren sudah menjelaskan bahwa keadaan Mas Al baik-baik saja. Aku juga baik-baik saja. Dokter cuma bilang, "Mungkin sedikit ada shock di rahim Nyonya karena keseringan meminum pil kehamilan dulu. Padahal rahim Nyonya belum pernah hamil."

Ingin rasanya mencakar wajah Akbar. Ini semua gara-gara dia. Aku salah memilih jodoh. Geram rasanya mengingat itu semua. Menikah dengan orang itu dulu cuma memberi unfaedah tak bermutu.

Tanpa tedeng aling-aling, aku menangis pelan lalu terisak lalu kemudian menangis cukup keras sampai tak terbendung lagi. Mas Al segera berlari memelukku.

"Hei, apalagi, Sayang?"

"Aku gak hamil-hamil, Mas. Dan ini semua gara-gara Mas Akbar siwalan itu!" racauku.

Mas Al merenggangkan pelukannya dan menyeka air mataku, "Sudahlah, kita ambil hikmahnya saja. Mungkin dengan begini, rahimmu hanya akan berisi janin nantinya yang akan menjadi anak dariku." Dalam keadaan sendu begini, Mas Al masih sempat-sempatnya terkekeh pelan. Wajahku lurus menatapnya

"Tapi kapan?"

"Usia Adinda manis sekarang berapa?" tanya Mas Al mencoba merayuku.

Aku melupakan angka di umurku sekarang, "Sudah melewati seperempat abad." Dan aku, melanjutkan tangisku.

"Ahh masih jauh dari usia menopause. Santai sejenak. Kita bisa jadi punya banyak waktu berdua, hemm?"

Dan begitulah seterusnya ....
Mas Al selalu bisa membuatku kembali tersenyum.

"Allah itu tidak akan menguji hamba-Nya, kecuali sesuai kemampuan si hamba."

Mas Al selalu bisa menggadaikan kesedihanku dengan doktrin keagamaan. Ya emang iya sih.

Pernah suatu hari aku bertanya, "Apa Mas Al mau cari ìstri lagi yang normal? Yang bisa kasi Mas Al anak?"

"Big No! You're the one for my life until jannah, My wife!"

Siapa perempuan yang tidak melted saat lelaki yang dicintainya mengatakan seperti itu?

🌿🌿🌿

Aku melangkahkan kaki menuju meja kerjaku di bagian keuangan seperti biasa. Senyum tak lepas dari bibirku. Aku bahagia, yah. Bahagia yang sesungguhnya. Beberapa pegawai teman kantorku tak heran melihatnya. Sebagai pegawai rendahan, aku cukup beruntung bersanding hidup dengan seorang investor terbesar di perusahaan ini. Dan bonusnya, ia begitu mencintaiku. Mungkin jika aku di posisi mereka, aku akan lebih iri lagi dengan bahasa tubuh sok acuh tak acuh.

Namun yang membuatku merasa lebih tenang lagi, si Anggrek sudah tak sering ke kantor ini lagi. Kerjasama periklanan dengan perusahaan ini sudah lama selesai. Jadi, untuk apa lagi dia ke sini. Jika dia masih sering ke sini ya itu hak dia, tapi silakan saja bila tak ada kepentingan cuma buat jual tampang. Sekali lagi, itu hak dia.

Setelah membuka file-file keuangan yang sudah sekian lama tak begitu kuperhatikan secara detail, kini aku mulai memeriksanya lagi. Aku memang sengaja menyerahkan banyak tugas pada Andi. Tapi sekarang sepertinya tugas Andi mulai sedikit ringan dengan keadaanku yang jarang ambil cuti.

Yah, kalo bukan karena istri dari seorang investor, mungkin karirku di kantor ini sudah lama tergantikan.

"Keknya lo lebih santai sekarang," sapa Selfi pada saat jam istirahat.

Aku melemparkan senyum padanya, "Alhamdulillah. Badai kayaknya udah berlalu."

"Syukur deh. Kerasa kan kalo waktu seneng kita lebih banyak timbang susahnya. Dan kerasa banget leganya, rasa syukurnya, kalo badai itu udah berlalu."

"Yapp. Kamu bener. Kerasa leganya. Kerasa plongnya. Cuma sekarang PRku adalah aku belum bisa kasi Mas Al anak."

"Udaah, pikirin nanti aja. Dipikirin semua ntar lu geblak. Enakan makan seblak aja daripada geblak. Kasi sambel dikit sama saos wal kecap. Pasti mantap. Ke kantin, yuk ah!"

"Aku bosen makan makanan kantin."

"Ya udah kita makan di resto seberang sana itu," ajak Selfi.

"Emang gak kejauhan?"

"Tetep cukuplah waktunya."

"Ya udah, yuk!"

Setelah merapikan meja dan meraih tas, aku dan Selfi menuju ke tempat yang kami tuju. Jalan kaki sedikit dan menyeberang jalan. Telat dikit tak apalah kupikir. Yang penting aku ingin memulangkan kejenuhanku ke tempatnya. Yaitu ke tepi jalan raya.

Sesampainya di resto yang kami rencanakan tadi, darah di ubun-ubunku langsung mendidih seketika. Ini bukan badai lagi namanya. Tapi Tsunami. Aku sudah bersabar dengan banyak badai. Sekarang kalau sudah tsunami datang sepertinya menyingsingkan lengan baju adalah solusi terbaik. Hello! Bunga bangbang itu membuat ulah lagi. Kali ini dia mencoba merayu suamiku. Tunggu! Aku tak sebodoh itu. Kupicingkan kedua mata untuk menghapus penglihatan tepi. Mas Al di sana memang tampak acuh tak acuh dan menganggap si Anggrek tak ada. Tapi tetap saja ini tak bisa dibiarkan. Kenapa mereka jadi satu meja begitu?

Segera kubesarkan langkah menuju ke arah mereka. Dan Anggrek menampilkan wajah keterkejutannya. Bulsyit! Wanita bertopeng.

"Ngapain Mas Al di sini sama si bangke?" gertakku langsung.

Mencoba sedikit menahan diri karena ujung telingaku seperti akan berubah jadi bara api.

"Istri cantikku, duduk dan lihatlah sejenak. Kita liat lakonan gratis," sahut Mas Al begitu tenang.

"Duduk!? Mas Al nyuruh aku duduk semeja sama pusat kesengsaraan ini? Gak tahu berapa banyak perempuan yang udah jadi korban dia," sindirku pada Anggrek.

Sudah tahu emosi tingkat puncak Jaya Wijaya, masih saja Mas Al bercanda dengan menyeretku dan duduk di sampingnya. Kali ini aku mengabaikan Selfi. Maafkan aku, Selfi. Aku harus menyelesaikan urusan dengan mereka dulu. Supaya syarafku selesai bercabang dengan pusat masalah.

"Gak usah merayu, Mas. Jelaskan ini semua!" pintaku tak sabar.

Dan lihatlah tingkah si Anggrek. Ia tersenyum geli sembari menatapku.

"Ambar, mestinya kamu tahu diri sebagai perempuan.
Kamu gak bisa ngasilin anak. Sadar dirilah siapa yang pantas buat Aldric. Gimana sama pewaris semua asetnya?"

Aku jadi ingin mengulek sambal pedas dan memberi sedikit pipi mulusnya itu dengan rasanya ujung ulekan bekas ngulek. Jika dulu aku bisa diam, tapi kali ini ..., sebentar. Kenapa Mas Al malah tersenyum miring? Apa ada kongkalingkong di sini.

Aku mulai curiga ....

Jangan-jangan yang dimaksud lakon di sini itu buat aku?

Apakah mereka ingin membuatku patah untuk yang kedua ketiga keempat kali?

Apakah Mas Al dan Anggrek sebenarnya ada main?

Apakah rayuan maut Mas Al kemaren hanya kamuflase untuk menambah rasa sakitku?

Kali ini aku tidak akan menangis. Siapa yang mau menyakitiku kali ini? Aku menantangi mereka sekarang!
Ini hati dan perasaanku.
Takkan kubiarkan siapapun menyentuhnya dengan sebuah luka lagi.

Aku menarik napas dalam.

Seseorang datang menghampiri kami. Aku mengenali langkah ragu itu. Segera kubalikkan badan.

Mas Akbar?!

Sebentar.

Ini ada apa sebenarnya? Bahkan Selfi sudah menghilang. Aku benar-benar dilingkari seribu pertanyaan.

"Mas Al, ada apa ini?" ucapku sembari tergagu.

Air di ujung mataku menetes. Apakah semua orang hanya bersandiwara untukku? Penglihatanku mulai menggelap. Lirih kupanggil Mas Al. Samar kulihat ia menangkap tubuhku yang kurasa bumi begitu dekat dengan tubuhku. Saat pandanganku akan menggelap sempurna, Mas Al segera memberikanku entah minuman apa yang rasanya manis. Otakku sempat mencerna kalau itu namanya teh manis berisi sedikit es batu karena lidahku mencecap manis dan dingin.

"Sayang, ayo bangun. Lakonan belum selesai," bisik Mas Al.

Ternyata ucapan 'lakon' membuatku lemah lagi. Saat mataku akan tertutup, pipiku dielus sedemikian rupa oleh Mas Al dengan membisikiku kata 'sayang' berkali-kali. Fix! Daku auto membuka mata. Mas Al membimbingku untuk duduk kembali. Kenapa seketika badanku terasa sangat lemas. Kusapu pandangan ke sekeliling, benar saja Selfi sudah menghilang. Kuyakin sekali ada sesuatu yang direncanakan di sini.

"Ekhm. Baiklah Anggrek, apa yang mau kamu bicarakan?"

Saat kutatap Anggrek, dia terlihat memalingkan wajah dari Akbar yang duduk di depannya.

"Aku cuma mau bilang Aldric kalo aku masih menyukaimu." Ucapan Anggrek nampak santai dan penuh kepercayaan diri.

Aku melihat ekspresi Akbar yang datar dan sulit sekali kutebak bagaimana isi hatinya. Mas Al, justru nampak santai menanggapi ucapan Anggrek.

"Bukannya di depanmu itu suamimu? Dan di sampingku ini ada istriku? Kenapa kamu malah mengatakan itu?" sahut Mas Al santai.

Anggrek nampak tersenyum miring, "Apa yang kamu banggakan dari seorang istri yang mandul? Dan apa yang bisa aku banggakan dari suamiku yang tak bisa memberi nafkah lebih ini? Mereka memang cocok kita jodohkan lagi seperti dulu. Dan kamu tahukan? Kalo aku terbukti lebih subur?"

Akbar nampak berdiri dan lantas menggebrak meja, "Oh, jadi kecurigaanku benar kalo kalian berdua ada main selama ini?"

Ucapan Akbar semakin membuatku menggaruk kepala, maksudnya ini gimana sih?

Aku melongo, tapi sebaiknya kudiam saja seperti Mas Al yang diam-diam mengedipkan sebelah matanya padaku.

Mas Al memajukan dadanya ke meja dan saling memasukkan jari jemarinya di atas meja, "Akbar, aku sudah memiliki berlian murni yang cantik, cerdas dan sabar." Mas Al meraih tanganku, menggenggam dan mengusapnya. Satu lagi, di depan Anggrek dan Akbar, ia bahkan mencium punggung tanganku begitu lembut. "Jadi maaf, tak ada tempat buat bunga-bunga lain di sini," tunjuknya ke dadanya sendiri. Maksudnya mungkin hati Mas Al.

"Oya? Tapi sayangnya dia mandul, Aldric? Sudah sekian tahun dia menikah dengan Mas Akbar dan sudah sekian bulan kalian menikah, mana tanda-tanda dia memiliki anak? Kalo bukan mandul lalu apa coba namanya?"

Aku menggeram kesal. Namun Mas Al seolah mengerti dan mempererat genggaman tangannya. Aku memilih bungkam.

"Oh ya? Masa?"

Mas Al melepas genggaman tangannya dan merogoh sesuatu dari dalam tas. Seperti sebuah berkas. Tak lupa ia membuka sebuah plastik kecil yang tak kumengerti apa isinya.

"Lihatlah garis di tespack ini," tunjuk Mas Al. "Dan berkas dari rumah sakit ini. Sebentar lagi, kami akan menjadi keluarga lengkap."

Lagi-lagi aku dibuat melongo. Itu tespack siapa? Mas Al memberikannya padaku. Golongan darah dan semuanya berisi identitas pribadiku.

"I-ini punyaku, tap-tapi?"

"Sayang, kamu kecapekan. Memakai semua tespack sampai satu paket tanpa memeriksanya lagi. Pas aku liat, tespack terakhirmu berisi dua garis. Hanya saja yang satu garis berwarna buram. Ditambah, waktu itu kamu nangis. Tambah buramlah garis yang satunya karena penglihatanmu tertutup kabut air mata. Setelah aku cek ke rumah sakit, dokter bilang, kamu positif hamil berusia di bawah satu minggu."

Mulutku terbuka sempurna dan aku bergeming. Tunggu! Apa aku tidak salah mendengar? Mas Aldric bilang apa barusan? Hamil? Aku hamil?

"Sayang ...," panggil Mas Al.

Tangannya melambai di depan mataku. Aku segera menutup mulut dan menoleh padanya.

"A-aku hamil?"

Mas Al mengangguk dengan senyum manisnya. "Tentu saja, Istriku tercantik."

Anggrek bangkit dari kursi dengan bersungut ria dan kemudian pergi begitu saja. Sementara Akbar mengejarnya. Dari kejauhan kulihat mereka berseteru. Akbar menatapku dengan tatapan terluka dari kejauhan. Lakon Tuhan yang sempurna.

Siapa yang memukul, akan merasakan sakitnya dipukul. Siapa yang melukai suatu saat akan terluka sendiri. Merasakan sakitnya sendiri.

Demikian itu disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri. Sesungguhnya Allah sekali-kali tidak menganiaya hamba-hamba-Nya.
(QS. Al-Anfal; 51)

🌸🌸🌸

Bersambung
Situbondo, 4 Januari 2019

Continue Reading

You'll Also Like

67.5K 11.2K 14
Wine memiliki begitu banyak daftar keinginan. Dan dari sekian banyaknya hal yang begitu ia harapkan, semua harus ia wujudkan bersama sang suami, Nare...
581K 1.1K 33
Kehilangan pekerjaan semasa pandemi Corona, Isabel diundang kekasihnya, Andi, tinggal bersama kakaknya, Abimanyu, di apartemennya untuk menghemat bia...
1M 43.3K 41
Bekerja selama tujuh tahun sebagai seorang sekretaris dengan model bos seperti Zhafran Afandi, benar-benar membuat Rachel harus memupuk kesabaran sel...
208K 14.1K 46
Seperti lautan malam, aura gelap dan perasaan dingin dari sosok Joshua Maximus membuat Sadriana enggan berhadapan dengan pria itu. Sudah cukup masa...