Unfailing (#4 MDA Series)

By ZenithaSinta

236K 20.6K 2.2K

Daisy tahu bahwa hidupnya tidak akan pernah sama lagi setelah bersinggungan dengan Maxwell Maynard Addison. P... More

Baca Dulu!
Prolog
Chapter 01
Chapter 02
Chapter 03
Chapter 04
Chapter 05
Chapter 06
Chapter 07
Chapter 08
Chapter 09
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Minta Pendapat
Chapter 33
Minta Pendapat (2)
Chapter 34
Pengumuman Open Pre Order
Chapter 35 (END) - 1
Diskon Besar-besaran!!!

Chapter 24

5.2K 624 149
By ZenithaSinta

Selamat membaca, pembaca setiaku yang manis!

Bacanya pelan-pelan, yaa. Diresapi :)

---

Keesokan harinya, semua anggota keluarga menikmati waktu pagi dengan sarapan yang telah disediakan oleh karyawan rumah Max. Agendanya cukup padat, mengingat berkuda dan memanah menjadi agenda yang paling ditunggu. Terlebih lagi keluarga tersebut selalu mendapat undangan khusus untuk menghadiri Royal Ascot. Kemungkinan besar karena kedekatan hubungan mereka dengan keluarga kerajaan Inggris. Entah dalam dunia bisnis juga dalam lingkar pertemanan.

Dua hari menjadi hari yang lebih dari cukup bagi Daisy untuk mengenal lebih dekat keluarga besar Max. Tanpa banyak bertanya atau bersikap ini itu, semuanya menyambut ramah. Menerima Daisy dengan tangan terbuka lebar. Tidak ada satu pun yang menunjukkan wajah atau ekspresi tidak suka. Seolah Daisy memang sudah ditakdirkan menjadi bagian dari mereka.

Bagian paling favorit bagi Daisy tentunya perhatian Max padanya. Pria itu selalu mengamatinya jika sedang tidak berdekatan. Max juga mengajarinya banyak hal terutama tentang teknik berkuda. Terpenting dari itu semua, Daisy dapat melihat sikap Max yang berbeda jauh dibanding biasanya. Suaminya itu terasa lebih hangat, sedikit humoris, dan banyak bicara. Sampai akhirnya Daisy berani mengambil simpulan bahwa setiap orang sering kali memiliki kepribadian yang berbeda jika berhadapan dengan teman, sahabat, rekan kerja, juga sahabat.

"Sekarang dia sudah menjadi milikmu sepenuhnya." Max berkata sembari tersenyum tipis pada Daisy. Matanya menyorot ke arah seekor kuda berwarna cokelat yang berdiri tidak jauh dari keduanya.

"Untukku?" tanya Daisy sembari berbinar riang.

"Tentu. Jenisnya berbeda dengan Nash dan Liz." Max menyebut dua ekor kuda kesayangannya yang merupakan jenis arabian dan thoroughbred. Dua ekor yang sedari tadi menjadi pokok pembicaraan mereka.

"Tapi tetap saja dia tetap kuda yang kuat, namun paling penting daripada itu dia kuda yang jinak dan setia. Kau menyukainya?"

"Walau aku tidak terlalu dalam mengetahui tentang kuda, tetap saja aku sangat berterima kasih. Dia kuda yang indah dan aku sangat menyukainya tadi." Daisy menjawab masih dengan senyum yang sama. "Semua kudamu terlihat sehat, terawat, dan kuat. Sudah terlihat jelas bahwa kau begitu menyukai kuda."

Kemudian secara reflek, Daisy memeluk Max untuk kemudian mendaratkan kecupan ringan pada pipi suaminya. "Terima kasih" ucapnya kembali. Kali ini dengan sorot mata yang menunjukkan rasa haru luar biasa. "Pengalaman dua hari ini tidak akan aku lupakan. Keluargamu begitu luar biasa dan kau beruntung menjadi bagian dari mereka."

"Jangan mulai lagi, Tertia!"

"Mulai apa?"

"Bertingkah seperti ini" ucap Max seraya menunjuk pergerakan jemari Daisy yang mengelus dada Max. "Kau membuatku ingin bercinta di sini. Di istalku. Di hadapan kuda-kudaku."

Daisy tertawa. Lalu sedikit berjinjit untuk kemudian mencium daun telinga milik suaminya itu. "Bukankah kita sudah melakukannya berkali-kali tadi malam? Bahkan kita juga melakukannya sebelum sarapan." Ucapan Daisy kali ini dilakukan dengan berbisik sensual hingga dirasa tangan Max menegang di pinggangnya.

"Kau benar-benar mengujiku." Max sedikit menggeram dan Daisy tetap menunjukkan tawanya.

"Aku belum pernah bercinta di alam terbuka sebelumnya dan aku harap suatu saat nanti kita akan melakukannya. Sekarang, ayo kita kembali sebelum aku gelap mata dan menyerangmu saat ini juga!"

"Dengan senang hati, Tuanku!" tanggap Daisy sembari tersenyum lebar. Tidak begitu peduli tentang perkataan Max yang baru saja terdengar begitu panjang dan berterus terang.

Sekembalinya mereka disambut dengan gelak tawa keluarga. Sebagian masih asyik dengan agenda berkuda dan memanah. Terlebih lagi anak-anak yang seolah tiada bosan menunjukkan keceriaan mereka dalam bermain. Mata Daisy mengamati setiap anggota keluarga dan menemukan "para tetua" sedang bercengkrama di tempat -semacam gazebo- dekat kolam renang. Di antara mereka juga termasuk Gavin dan Kaithlyn Addison yang sesekali tertawa.

Semuanya dirasa sempurna. Pas dan akan lebih bahagia lagi jika semuanya bisa hadir tanpa terkecuali. Setidaknya begitulah impian Daisy ke depan. Sebagai orang yang hidup dengan kebiasaannya "menanggung seorang diri" tidak membuat Daisy merasa kesulitan beradaptasi. Justru ada semacam ketenangan serta kenyamanan seolah dia telah terlindungi oleh kekuatan besar bernama keluarga.

"Daisy Sayang!" seruan berasal dari Gilda. Bibi Max yang duduk di samping Regan Cavan, suaminya. "Kemarilah!" pintanya dengan nada ramah yang tanpa disuruh dua kali membuat Daisy mau tidak mau melepas diri dari pelukan Max.

Cukup dengan bahasa tubuh, Daisy meminta izin Max agar mendekat ke arah Gilda yang segera mendapat persetujuan berupa anggukan dari suaminya itu. Maka setelahnya Daisy menghampiri bibi suaminya itu dengan senyum lebar.

"Duduklah di sampingku!" pinta Gilda sembari menepuk kursi kosong di sampingnya. Daisy pun duduk diikuti oleh Max yang merasa perlu mendampingi istrinya di hadapan para tetua keluarga.

"Aku sudah menahannya sejak kemarin, hanya saja aku tidak memiliki kesempatan untuk berdekatan denganmu." Gilda mulai menjelaskan maksud panggilannya terhadap Daisy. "Max benar-benar pintar memilih seorang istri. Kau terlihat begitu cantik. Tapi tetap saja rasanya janggal jika aku tidak bertanya langsung padamu. Kecantikanmu ini mengingatkanku pada seorang wanita yang aku kenal bernama Abey Camilla. Kau mengenal nama itu?"

Pertanyaan tidak terduga dan tidak pernah disangka oleh Daisy hingga senyum lebarnya mendadak musnah dari wajah cantiknya. Dia mana pernah menduga bahwa salah satu anggota keluarga suaminya mengetahui nama ibu kandungnya?

"Aku ..." alhasil Daisy pun bingung menjawab. Terlebih lagi dia sekarang berada di tengah orang-orang yang memiliki kekuasaan penuh atas keluarga besar. Dia mana mungkin menyembunyikan fakta tentang dirinya dari keluarga yang memiliki pengaruh besar tersebut?

"Itu adalah nama ibu kandung Daisy, Bibi. Bibi mengenalnya?" Max pun membantu menjawab pertanyaan bibinya. Sikap tenang Max membuat siapa pun tidak akan mengira bahwa pria itu memiliki andil besar dalam menyembunyikan identitas Daisy.

"Serius?" tanya Gilda dengan nada heran lengkap dengan alis mengerut bingung. "Aku mengenal Abey Camilla sebagai seorang wanita mandiri, keras kepala, dan tidak terlalu menyukai anak kecil. Kau benar-benar putrinya?"

Mau tidak mau Daisy pun mengangguk.

"Jika benar kau adalah putri kandung dari Abey Camilla, itu berarti kau putri dari Gabriel Ashton?" pertanyaan telak kembali terlontar. Kali ini dari Regan, suami Gilda. Membuat Daisy sulit hanya sekadar menelan ludah.

"Setahuku Gabriel Ashton hanya memiliki satu putri yaitu Elma Cornelia. Oh, tidak! Jangan sampai aku berpikir buruk tentang seorang putri yang sengaja disembunyikan dari publik?"

"Dan sayangnya itulah faktanya, Mom." Max membenarkan praduga ibunya yang tentu saja menimbulkan suara kesiap dari orang-orang yang mendengarnya.

Daisy tahu cepat atau lambat, hubungannya dengan Gabriel akan terkuak begitu mudah di hadapan keluarga suaminya. Tapi tentu saja tidak di depan para tetua dari keluarga Addison, Camilo, Cavan, dan Rodney seperti saat ini. Tidak juga secepat ini yang mana dia tidak tahu harus melakukan pembelaan diri seperti apa. Tiba-tiba saja Daisy merasa begitu ketakutan akan penolakan yang kemungkinan akan kembali didapatkannya. Tapi tetap, dia menetralkan ekspresi wajah seolah menjadi seorang putri yang disembunyikan bukanlah apa-apa baginya.

"Jangan pernah berpikir bahwa kami akan menolak kehadiranmu di keluarga ini, Sayang." Kaithlyn bersuara dengan nada penuh simpati. Mata birunya berkaca-kaca menatap menantunya yang memasang wajah datar.

"Kami bukan orang suci yang harus menerima golongan tertentu untuk menjadi bagian dari kami." Gavin Addison angkat bicara dengan suaranya yang penuh wibawa.

"Kami juga bukan seorang pemilih hingga harus memiliki kriteria tertentu dalam menentukan anggota keluarga baru." Ben Camilo yang sedari tadi diam menimpali perkataan Gavin Addison. Sedang yang lain mengangguk menyetujui karena tidak ada satu pun dari mereka yang merasa lebih unggul dibanding lainnya.

"Kau tetap diterima, Sayang." Gilda kembali bersuara seraya membelai lembut pundak Daisy. "Aku tahu benar watak ibu kandungmu dan pasti rasanya begitu berat."

Daisy memilih tersenyum tipis. Dia tidak ingin dikasihani dan memutuskan untuk tidak berucap apa-apa. Daisy hanya lupa bahwa dia sekarang berhadapan dengan keluarga berpengaruh. Keluarga yang akan mencari tahu tentang sebuah permasalahan sampai ke akar-akarnya. Termasuk alasan Gabriel Ashton yang memutuskan menyembunyikan Daisy di hadapan publik.

Tinggal menunggu waktu dan mereka secepatnya akan tahu.

Daisy bahkan memilih untuk tidak banyak cakap setelahnya dan Max tahu benar tentang perubahan itu. Sikap Daisy begitu mudah ditebak. Setidaknya istrinya itu menunjukkan sedikit protes tentang kelancangan Max dalam membeberkan identitasnya di hadapan keluarga.

"Masih belum selesai tindakan protesmu terhadapku?" adalah pertanyaan Max setelah mendapatkan Daisy seorang diri di dapur.

Semua orang masih berada di kebun belakang yang langsung mengarah ke tanah lapang serta istal. Pemandangan indah dengan hawa sejuk membuat orang betah berlama-lama di sana.

Daisy yang mendapatkan pertanyaan memilih tidak segera menjawab. Dia melanjutkan aktivitasnya menyiapkan beberapa makanan kecil yang terbagi ke dalam beberapa piring.

"Sampai kapan, Tertia? Sampai aku memberikanmu sebuah hukuman karena telah berani melayangkan protes padaku?" Max kembali bersuara yang kali ini berhasil membuat Daisy berbalik.

"Sebegitu mudahnya kau menceritakan identitasku pada keluargamu, Max. Tidakkah kau ingin bertanya terlebih dahulu padaku tentang iya atau tidaknya?"

Max menghembuskan nafas pelan. Dia jelas merasa bersalah. "Aku pikir tidak ada yang bisa kita lakukan selain mengatakan sebuah kebenaran. Kau tahu keluargaku seperti apa, Tertia. Secepatnya mereka akan tahu."

"Tapi, mereka berubah menjadi kasihan padaku. Aku tidak ingin ..."

"Sshh ..." Max menghentikan ucapan Daisy dengan meletakkan jari telunjuknya pada bibir istrinya itu. Lalu memberikan kecupan ringan di atasnya. "Mereka tidak kasihan padamu. Mereka menyayangimu, Tertia. Terlebih lagi Mom yang tahu benar keadaanmu karena Yasmine pernah berada di posisimu. Disembunyikan keberadaannya di hadapan publik."

"Jadi, keluargamu akan benar-benar mencari tahu tentang alasan Gabriel menyembunyikanku selama ini? Atau lebih tepatnya tidak pernah menganggapku sebagai putrinya?"

"Tentu. Mereka tidak akan tinggal diam. Setidaknya aku bisa meminta bantuan keluargaku untuk menguak fakta tentang hidupmu."

"Jadi, apakah aku harus merasa berterimakasih padamu karena ini?"

"Tentu saja." Max menjawab cepat.

"Dengan cara apa?"

"Bercinta. Saat ini. Di sini."

"Kau gila! Bagaimana jika tiba-tiba ada orang lain masuk ke dapur ini?"

"Mereka tidak akan protes. Setidaknya aku memiliki kebebasan untuk berbuat semauku dengan istriku sendiri. Kita tidak sedang berselingkuh bukan?"

"Tidak. Ini terlalu berisiko." Rupanya Daisy tetap bersikeras dan tentu saja dia tidak akan menyetujui permintaan Max yang bisa disebut terlalu ekstrem dan berbahaya itu.

"Tertia ..." Max menggeram dengan tangan yang nyaris merobek rok Daisy sebelum suara dehaman membuatnya tertahan.

Di belakang mereka telah berdiri Nicholas dan Erick. Keduanya menyeringai penuh. Merasa terhibur ketika mendapatkan pemandangan langka dari seorang Maxwell Maynard Addison.

"Kau telah hilang kontrol, Bung!" seru Erick lengkap dengan tawa lebar yang diikuti oleh Nicholas. Gelak tawa keduanya memenuhi dapur hingga membuat Daisy merasa terbebas dari tekanan Max.

Merasa ada kesempatan untuk kabur, Daisy pun pergi berlalu dengan satu piring di masing-masing tangannya. Wajahnya jelas merona merah dan menyalahkan nafsu Max yang seolah tak pernah surut.

"Sial!" umpat Max dengan rahang mengetat keras. Matanya menyorot tajam penuh kekesalan ke arah dua orang sahabat yang saat ini ingin ditenggelamkannya ke inti bumi.

"Akhirnya kau bisa merasakan siksaanmu, Max." Kali ini Nicholas bersuara yang segera disusul dengan gelak tawanya bersama Erick. Sama-sama menertawakan keadaan Max yang bagi mereka berdua tidak akan lagi bisa dilihat untuk kali kedua.

"Hanya tinggal menunggu waktu Erick saja jika begitu." Max tetap menyahut, walau kekesalannya sudah berada di ubun-ubun. Dalam hati dia bersumpah untuk memberi Daisy pelajaran karena berani menolak kemauannya.

"Jika sudah ingin, ternyata kau sama saja. Tidak mengenal tempat." Rupanya Erick masih belum puas menggoda Max.

"Hei, jangan meremehkan seorang pria dan segala kebutuhannya, Bung!" Nicholas memberi tanggapan. Sedang Max memilih bersedekap melihat tingkah usil keduanya.

***

Baik Max maupun Daisy, tidak memerlukan sebuah batasan dalam menunjukkan kemesraan mereka. Semua keluarga tidak merasa ragu bahwa keduanya benar-benar saling mencinta hingga memutuskan untuk menikah. Setelah menunjukkan ketertarikan secara seksual, keduanya benar-benar dirasa menjadi lebih dekat. Bahkan Max tak pernah mengingatkan Daisy tentang sebuah batasan hingga wanita itu mengira bahwa hubungannya dengan Max memanglah hubungan suami istri tanpa ada perjanjian saling menguntungkan sebelumnya.

Hubungan Max dan Daisy semakin lama semakin menunjukkan kemajuan yang membuat keduanya terlena. Daisy berusaha melupa tentang fakta buruk yang berhubungan dengan Daisy Whitney dan mencoba untuk bersikap egois. Tidak ada hal lain yang harus menjadi beban pikir, selama dirinya merasa luar biasa bahagia. Max sendiri selalu berhasil menempatkan Daisy ke posisi yang dipentingkan hingga Daisy berpikir bahwa kemungkinan Max telah jatuh hati padanya.

Namun ternyata, semua perkiraan Daisy adalah sebuah kesalahan. Mutlak. Menjadi musnah tak berbekas setelah Daisy mendapatkan amplop cokelat berisi foto adegan ciuman Max dengan seorang wanita cantik berambut pirang. Pada awalnya Daisy memang terkejut. Memutuskan untuk tidak percaya dan menilai perbuatan tersebut adalah salah satu perbuatan orang yang ingin merusak kebahagiaannya.

Daisy bukan tipe orang yang mudah percaya begitu saja. Setidaknya sebelum ia melihat secara langsung seperti apa kejadiannya. Hingga suatu hari, tepatnya ketika hujan turun Daisy memilih untuk berhenti di sebuah restoran jepang langganannya. Dia berniat untuk membeli makanan khas negara matahari terbit tersebut karena entah mengapa tiba-tiba ada keinginan terkuat untuk membeli.

Dia menyuruh sopir pribadinya menunggu karena dia sendiri yang ingin membelinya secara langsung. Kemudian dirinya mulai melangkah masuk dengan langkah dipercepat. Tidak lupa memakai topi hitam guna menutupi sedikit wajah, Daisy bersiap memesan. Namun, langkahnya tertahan di pintu masuk ketika mata birunya menangkap keberadaan Max sedang duduk berhadapan dengan seorang wanita berambut panjang.

Kemungkinan adalah Elsa -sekretaris Max- begitulah awal perkiraan Daisy. Hingga akhirnya Daisy menyadari satu hal bahwa sekretaris Max tidak pernah mengurai rambut panjangnya. Lagi pula yang kini dilihatnya adalah warna pirang, bukan warna hitam. Dari segi warna rambut saja berbeda dan itu merupakan alasan terkuat agar Daisy segera menghampiri Max.

"Hei!" Daisy menyapa Max dengan senyum lebar. Dia mengamati perubahan wajah Max dan menemukan sedikit keterkejutan di wajah suaminya itu.

Ekspresi suaminya itu mengingatkan Daisy tentang pesan pendek Max yang memberitahukannya bahwa malam ini pria itu tidak akan bisa pulang. Katanya akan tinggal di apartemen dekat kantor yang sampai detik ini Daisy tidak pernah diajaknya ke sana.

"Hei" tidak bisa dipungkiri lagi, Max berbalik menyapa. Pria itu tersenyum tipis pada Daisy.

"Aku tidak tahu kau juga menyukai makanan restoran ini." Daisy berucap dengan nada suara yang diusahakannya penuh kontrol. Terlebih lagi matanya menangkap wajah wanita yang duduk berhadapan dengan suaminya itu. Wajah cantiknya sama dengan wajah yang ada di setiap foto yang akhir-akhir ini diterimanya.

"Max dan aku memang sering kali ke mari" wanita itu tanpa permisi segera menjawab pernyataan Daisy. "Setidaknya sebelum memutuskan untuk menikah denganmu, Nona Daisy."

"Oh" Daisy berseru ragu. Mimik wajahnya diusahakan untuk tetap netral seolah interupsi pembicaraan yang baru saja terjadi tidak memiliki pengaruh apa pun. "Rekan bisnismu, Max?" tanya Daisy yang segera beralih pada suaminya.

"Teman baikku, Nikki Lenora ... dan Nikki dia Daisy Tertia, istriku." Max memperkenalkan Daisy pada Nikki yang tetap menunjukkan senyum lebarnya pada Daisy.

"Senang berjumpa denganmu, Daisy Tertia! Sebagai model terkenal, aku mudah mengenalimu. Terlebih lagi kau istri dari teman baikku." Nikki memperkenalkan diri dengan senyum yang tetap mengembang di bibir. Mengulurkan tangan yang mau tidak mau Daisy membalas uluran tangan itu dengan sama eratnya.

"Ya, senang pula berjumpa denganmu" demikian kalimat balasan Daisy yang mana sekuat mungkin dia berusaha untuk tidak terlalu menuntut tanya. Nanti atau besok saja, begitu pikirnya.

"Jadi Nikki ... aku akan menemani istriku terlebih dahulu. Ayo!" tanpa menunggu jawaban Nikki, Max segera berdiri lalu dengan lembut menarik tangan Daisy. Perlakuan Max itu setidaknya membuat Daisy sedikit lega karena berpikir suaminya itu masih berusaha menjaga perasaannya sebagai seorang istri.

"Benar dia teman baikmu?" begitulah pertanyaan Daisy setelah keduanya berada agak jauh dari meja Nikki.

"Benar." Jawaban super pendek yang membuat Daisy mengangguk dan memilih untuk percaya.

"Dan kau pernah berciuman dengannya?" pertanyaan sensitif dan terlalu lancang, namun Daisy sudah tidak bisa menahannya lagi. Hingga terdengar helaan nafas kasar dari arah Max. Menjadikan Daisy khawatir jika Max tiba-tiba menjadi monster menakutkan karena merasa tersinggung akan pertanyaannya.

"Pertanyaan konyol" tanggap Max setelah tertunda beberapa saat karena pria itu membantu Daisy dalam memesankan makanannya.

"Tapi penting bagiku." Daisy bersikeras.

"Tentu saja pernah. Kita berteman baik dan berciuman adalah hal wajar dalam lingkup pertemanan, Tertia." Max menjelaskan lebih panjang lagi dan hal itu sedikit menyulut rasa cemburu Daisy.

"Dia cantik. Kau tidak pernah jatuh hati padanya?"

"Aku pikir pertanyaanmu sudah terjawab dengan keadaanku saat ini."

"Maksudmu?"

"Jika aku jatuh hati dengannya, aku tidak akan pernah berniat untuk menikahimu." Jawaban telak yang segera membungkam bibir Daisy agar tak lagi bersuara.

Selanjutnya keduanya disibukkan dengan menunggu pesanan. Reaksi Max adalah reaksi yang wajar. Tidak ada yang perlu dibuat curiga dan suaminya juga terdengar begitu jujur hingga Daisy tidak memiliki alasan untuk cemburu. Lagi pula Daisy takut melebihi batas di antara mereka hingga diam dan menunggu tentang akan apa yang terjadi merupakan tindakan paling tepat untuk saat ini.

Terlebih lagi tindakan Max secara terang-terangan menunjukkan sikap mesranya pada Daisy di depan Nikki sudah lebih dari cukup. Max tidak segan lagi mencium bibir Daisy tepat di depan wanita yang dikatakan sebagai teman baik Max itu.

"Ingat, jangan menungguku malam ini" adalah kalimat Max setelah memastikan Daisy masuk ke dalam mobilnya sendiri. Tidak lupa juga berpesan pada sopir pribadi agar lebih berhati-hati.

Perlakuan Max yang membuat Daisy lega luar biasa. Setidaknya dia sadar bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Namun rupanya masalah tersebut bagai bom waktu yang dapat meledak kapan saja. Karena keesokan harinya, Daisy mendapat kiriman sebuah foto yang menunjukkan Max keluar dari apartemen yang sama dengan seorang Nikki Lenora. Lengkap dengan foto masa lalu keduanya di tempat-tempat privat dan tertutup. Rupanya Max memang bukan pecinta sesama jenis dulunya, namun pria itu berkamuflase sempurna hingga berhasil mengecoh penglihatan orang lain tentang pria itu.

"Ini jebakan" Daisy berucap dan berusaha menenggelamkan pikiran buruknya tentang Max. Ada orang lain yang sengaja menunjukkan perilaku buruk Max di mana nantinya akan memengaruhi hubungannya dengan pria itu.

Daisy berpikir adalah wajar jika Max bertamu ke apartemen Nikki karena wanita itu adalah teman baik suaminya. Perilaku Max akhir-akhir ini juga sama seperti biasanya. Tidak ada yang perlu dicurigai mengingat Max tetap menunjukkan perlakuan baiknya sebagai seorang suami.

Guna menghapus kecurigaannya, Daisy pun memutuskan untuk bertanya letak apartemen Max pada Calvin. Setelah mendapatkan alamat lengkapnya, Daisy berniat untuk datang berkunjung. Namun tindakan tersebut tidak terlaksana karena mendadak pria yang ingin ditemuinya telah berdiri di depan pintu rumah. Pastinya mengagetkan Daisy, namun wanita itu tidak mengatakan apa-apa. Hanya menunjukkan senyum sebagai bentuk sambutan untuk sang suami.

"Aku berpikir untuk mengunjungi apartemenmu hari ini" Daisy memberitahukan niatnya dan itu sukses memunculkan kerut pada kening Max.

"Apartemen yang mana?"

"Apartemen yang kau bilang dekat kantormu."

"Memangnya kau mengetahui alamatnya?"

"Aku sudah bertanya pada Calvin."

"Tapi sepertinya sekarang bukan waktu yang tepat." Max memberitahu sembari berjalan melewati Daisy. Setelahnya pria itu mengambil posisi duduk di salah satu sofa ruang tamu.

Dari bahasa tubuh juga ekspresi wajah Max, jelas terlihat pria itu memiliki sebuah permasalahan. Entah apa dan pastinya disembunyikan dari Daisy.

"Ada masalah?" Daisy memberanikan diri untuk bertanya lalu mengambil posisi duduk di samping Max.

Max menggeleng sembari melonggarkan dasi yang dirasa semakin lama semakin mencekik. "Boleh aku berbantal pahamu?" tanyanya dengan nada gusar dan Daisy pun mengangguk mengiyakan.

Selang beberapa detik, Max telah berbaring dengan kepala berada di pangkuan Daisy. Menutup mata dan sesekali menghela nafas panjang. Melihat keadaan Max itu, Daisy tak sampai hati banyak bertanya hingga tangannya secara reflek mengusap lembut pucuk kepala suaminya. Berulang kali hal itu dilakukannya sampai tubuh Max dirasa lebih rileks dibanding sebelumnya.

"Max bukan jenis pria yang jahat dan tak berperasaan, bukan?" begitulah kalimat yang sedari tadi berkeliaran di otak cantik Daisy. Tentunya tidak ia suarakan hingga Max tidak tahu apa-apa mengenai pertanyaannya itu.

Mata biru Daisy mengamati setiap lekuk wajah suaminya. Tampan. Berkharisma dan sempurna. Siapa wanita yang tidak jatuh hati pada suaminya itu? Namun yang menjadi permasalahannya siapa yang akan menjadi pemenang di hati suaminya jika banyak wanita berkeinginan untuk memilikinya? Ah ... rasa-rasanya dada Daisy semakin sesak ketika otaknya dipaksa untuk berpikir lebih keras. Terlebih lagi dia sudah mulai menikmati perannya sebagai istri dari seorang Maxwell Maynard Addison. Sebagai nyonya Addison yang terhormat.

Daisy lupa bahwa masih ada yang belum dimilikinya yaitu hati sang putra sulung. Dia memang memiliki kepedulian Max, namun dia tidak tahu seberapa besar kepedulian itu. Memikirkannya membuat Daisy mau tidak mau harus mengakui bahwa sedikit banyak dia telah jatuh hati pada Max. Pada pria yang selama ini menawarkan sebuah perlindungan nyata baginya.

"Aku harus memberitahumu satu hal, Tertia" tiba-tiba Max bersuara setelah keduanya tenggelam dalam sebuah keheningan panjang.

"Apa?"

"Untuk beberapa hari ke depan aku meminta izinmu agar memperbolehkan Nikki tinggal di sini."

Pemberitahuan tiba-tiba hingga menghentikan seluruh pergerakan Daisy. Bahkan wanita itu sempat mengira bahwa ia salah mendengar kali ini.

"Teman yang kau kenalkan padaku kemarin?" tanya Daisy setelah terdiam beberapa saat.

"Ya."

Jawaban singkat, namun mampu membuat remuk redam hati Daisy. "Sebutkan sebuah alasan mengapa aku harus mengizinkannya tinggal di sini!" ucapnya sembari berusaha mengontrol suaranya agar tak terdengar sumbang.

"Karena dia sedang mengandung."

"Bukan sebuah kewajiban untuk mengurusnya, Max. Dia sedang mengandung, bukan sedang sekarat karena akan mati." Daisy mengatakannya dengan lirih namun tetap saja kalimatnya mampu membuat Max tiba-tiba mengubah posisi menjadi duduk kembali.

Tidak ada sahutan dari Max. Pria itu justru memijat pangkal hidungnya sebagai tanda frustasi. "Menjadi kewajiban jika yang dikandungnya adalah anakmu." Daisy kembali bersuara dan terdengar Max menggeram.

"Hentikan pikiran burukmu itu, Tertia!" sergah Max dengan nada datar. "Aku hanya ingin memastikan Nikki dalam keadaan baik-baik saja. Terlebih lagi keadaannya sedang mengandung sekarang."

"Lalu mengabaikan perasaanku sebagai istrimu?"

Max menyeringai. Matanya berkilat penuh emosi. Memandang tajam ke arah Daisy. "Istri? Sejak kapan kau memiliki hak untuk melarangku melakukan ini itu?"

Daisy tertawa sumbang. Tidak habis pikir Max melontarkan kalimat yang terdengar begitu menyakitkan baginya. "Lantas kenapa harus meminta izinku terlebih dahulu? Ini rumahmu. Kau berhak menentukan siapa saja yang ingin tinggal atau pergi dari sini."

"Aku hanya ingin menghargaimu sebagai nyonya rumah di sini."

"Dan faktanya aku tidak memiliki hak penuh untuk itu. Kau masih membatasi tindakanku di rumah ini, Max. Baru saja kau melakukannya."

"Itu karena kau tidak memiliki hati sama sekali. Apakah kau tega membiarkan Nikki berjuang seorang diri menyelamatkan diri beserta bayinya? Sedang aku adalah teman dekatnya yang memiliki kewajiban untuk melindunginya, Tertia."

Kembali Daisy tertawa sumbang. Kalimat Max sungguh melukai hatinya sebagai seorang manusia yang masih memiliki hati. "Karena aku tidak tahu akar permasalahan yang dimiliki teman dekatmu itu hingga harus memiliki kewajiban untuk turut melindunginya. Kau sepertinya mati-matian melindunginya, Max."

"Ya, karena dia teman dekatku."

"Dan aku istrimu!" Daisy berteriak lalu berdiri guna menentang Max yang semakin lama semakin membuatnya merasa ingin meledak saat ini juga.

"Tertia!" Max rupanya juga hilang akal hingga balas berteriak. Matanya menatap tajam ke arah Daisy dengan ekspresi penuh amarah. "Bahkan sebelum aku mengenalmu, aku mengenal Nikki terlebih dahulu. Kau hanya pendatang baru di antara Nikki dan aku. Menjadikanmu istri pun karena rasa peduliku padamu."

"Max ..." Daisy bahkan tak percaya Max seterbuka itu mengungkapkan perasaannya secara gamblang. Ditambah mata biru Daisy menangkap kedatangan Lily, Calvin, dan Ronald. Kemungkinan besar ketiganya merasa khawatir karena tiba-tiba mendengar antara dirinya dengan Max saling berteriak satu sama lain.

"Tidak ada yang istimewa di antara kita selain sebuah status sebagai sepasang suami istri, Tertia. Diri kita masih memiliki kebebasan masing-masing untuk menjalani hidup."

"Terima kasih karena mengingatkanku tentang posisiku sebenarnya, Max. Terima kasih karena pernah menjadi penolong atas rasa pedulimu yang sekarang terdengar seperti sebuah omong kosong." Begitulah kalimat yang Daisy utarakan sebelum berbalik meninggalkan Max.

Daisy melangkah menuju kamar pribadinya. Selama ini dia telah lupa tentang posisinya. Lupa tentang tujuan awal pernikahannya dengan Max. Lupa tentang batasan yang pernah disinggung Max. Dia lupa ada hati yang turut serta jika berlagak menjadi pemeran utama dalam sebuah sandiwara.

Jika Gabriel selalu mempermalukannya di depan Elma serta orang-orangnya. Lain lagi dengan Max. Pria itu berhasil merendahkan dirinya tepat di depan Lily, Calvin, dan Ronald. Max kembali membuatnya tak berkutik hingga rasanya tak ada yang dilakukan selain menangis.

Ya, Daisy lagi-lagi menangis. Mengeluarkan air mata berharganya karena orang di sekitarnya. Orang yang diharapkan peduli, namun ternyata tidak begitu peduli. Alasannya jelas karena saat ini Daisy dapat mengukur tingkat kepedulian Max tidak terlalu dalam. Setidaknya tidak begitu dalam jika dibandingkan dengan kepedulian Max terhadap Nikki.

Daisy tahu bahwa dirinya memang tidak akan pernah menjadi orang yang paling diprioritaskan. Selalu menjadi orang terpinggirkan dan memiliki nomor urut kesekian di hati orang-orang sekitarnya.

Jadi, jangan salahkan Daisy jika sekiranya dia sudah tidak memiliki harapan hidup untuk ke depannya. Semua kembali terlihat suram karena dirasa tidak ada satu orang pun yang tulus mencintainya.

---00---

Don't copy without my permission!

Maaf ya belum sempat balas komen di chap sebelumnya. Tapi tetap saja terima kasih banyak untuk kalian yang masih setia menunggu cerita ini. Peluk hangat dariku teruntuk kalian :)

Jangan lupa untuk vote dan komen, biar jadi asupan semangat nulis ;)


Continue Reading

You'll Also Like

37.6K 2.3K 33
(Tamat) Sequel from The Unexpected *** Ketika semua sudah berlalu, Allison Travers sekali lagi merasa hidupnya sangat sempurna. Dia memiliki karier y...
2.1M 10.2K 17
LAPAK DEWASA 21++ JANGAN BACA KALAU MASIH BELUM CUKUP UMUR!! Bagian 21++ Di Karyakarsa beserta gambar giftnya. 🔞🔞 Alden Maheswara. Seorang siswa...
1.9M 93.5K 56
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
223K 34.1K 31
Ken Ishmael Kendrick (30) menjalani rehat dari dunia kedokteran setelah uji klinisnya gagal total. Terbang 13 jam untuk menghindari rumah sakit hingg...