Fall in Love with Sweet Devil

By coldautumn

334K 50.4K 10.9K

Jinae tidak pernah menyangka jika ia harus bertemu kembali dengan Yoongi, tetangga sekaligus teman masa kecil... More

[TRAILER]
Prolog
01. Awal yang Buruk
02. Kesialan yang Berakhir Baik
03. Tidak Seburuk Kelihatannya
04. Tersesat
05. Sesuatu yang Manis
06. Mencoba untuk Luluh
07. Pengantar Tidur
08. Hal Baru
09. Antara Khawatir dan Kesal
10. Sebuah Rahasia
11. Penyelamatan (Lagi)
12. Ragu-ragu
13. Mulai Penasaran
14. Alasan
15. Hujan dan Penyesalan
16. Salah Siapa?
17. Sebuah Harapan Baru
19. Rahasia Kecil
20. Kecewa itu Ada
21. Yoongi Mencurinya
22. Membangun Kepercayaan
23. Penawar Hati yang Luka
24. Sadar Diri
25. Harapan Semu
26. Alasan untuk Bertahan
27. Pergi
28. Menghilang
29. Pilihan
30. Pengakuan
31. Air Mata dan Kebahagiaan
32. Dari Hati ke Hati
33. Deep in Love
34. Ketakutan Terbesar
35. Make a Deal with Yourself
36. Penantian Panjang
37. Dia yang Romantis
38. Kembali
39. Hati yang Bicara
40. Safe and Sound
41. Sweet Life
42. A new chapter begins

18. Gadis Bodoh

8.1K 1.3K 410
By coldautumn

Semenjak Yoongi berkata bahwa ia ingin menghabiskan waktu dengan Jinae lagi, Jinae pikir pemuda itu setidaknya akan berubah menjadi lebih manis. Atau, sekurang-kurangnya tidak menyuruh Jinae ini itu lagi layaknya seorang pesuruh. Namun, ketika ekspetasi Jinae tidak sejalan dengan realita yang ada, gadis itu hanya mampu mendengus kesal, sambil sesekali mengumpat pelanㅡtanpa sepengetahuan Yoongi.

Oh, bayangkan saja. Hari ini akhir pekan, tetapi Jinae malah mengerjakan pekerjaan rumah yang tidak ada habisnya. Juga mengurusi bayi besar yang katanya masih kurang sehat. Cih, Jinae tahu betul kalau itu hanya alibi seorang pemudaㅡyang kulit pucatnya melebihi wanitaㅡuntuk mengerjai Jinae. Dia pikir menyenangkan apa menyapu lantai atau sekedar memungut sampah yang ia tinggalkan?

"Yoongi, kau masih memiliki tangan dan kaki yang lengkap, setidaknya buang sampah itu ke tempatnya. Dasar pemalas," cibir Jinae begitu kembali ke ruang tengah setelah berkutat dengan mesin cuci di dapur.

Gadis itu memungut bungkus camilan yang berserakan di atas karpet. Sesekali melirik tajam si pemalas yang ia panggil tadi, namun yang ada Yoongi malah mengangkat bahunya acuh seraya menekan remot tv. Entahlah, Jinae juga tidak mengerti apa yang sedang Yoongi tonton, pasalnya sejak tadi ia hanya mengganti saluran televisi terus-menerus tanpa minatㅡsambil mengunyah kripik kentang.

Benar kan dugaan Jinae kalau Yoongi itu hanya pura-pura saja? Mana ada orang sakit yang berperilaku seperti pria itu?

"Buat apa repot-repot? Kan ada kau yang akan membereskan semua ini. Lagi pula, sudah aku bilang kalau aku masih sakit, Jinae. Orang sedang sakit itu kan seharusnya tidak melakukan apa-apa."

Oh, sabar Jinae, sabar. Setidaknya Yoongi sudah membantumu selama ini, dan hanya ini yang bisa kau lakukan untuk membalas kebaikannya itu. Mau tak mau Jinae melengos ke arah dapur, membuang bungkus makanan ke dalam tong sampah. Setelahnya ia kembali lagi ke ruang tengah. Mengambil tempat duduk di samping Yoongi, terkulai lemas seperti orang yang kehilangan nyawa.

"Hah, aku lelah," keluh Jinae disusul dengan helaan napas panjang. Bahu dan lengannya terasa pegal karena seharian ini tubuh kurus itu bekerja keras untuk membersihkan apartemen. Terlebih lagi kekacauan yang dibuat orang di sebelahnya itu. "Yoongi, aku lapar."

Tak pelak membuat Yoongi menoleh ke arah Jinae. Sedikit menyunggingkan senyum kecil begitu melihat bagaimana keadaan gadis itu sekarang. Sebenarnya Yoongi tidak sepenuhnya bohong, benar kok kalau ia masih sakit. Buktinya kepalanya masih agak terasa pusing, dan ia masih beberapa kali bersin yang membuat hidungnya terasa berair. Tapi kalau berbaring terus-menerus di kamar, yang ada Yoongi malah semakin merasa sakit. Makanya ia lebih memilih untuk merecoki Jinae hari ini.

Namun nampaknya Yoongi agak keterlaluan. Ia bahkan bisa melihat bagaimana peluh yang menngalir dari pelipis Jinae. Sepertinya gadis itu benar-benar kelelahan.

"Mau pesan makanan?" tawar Yoongi. Ia meletakkan remot televisi yang sedari tadi ia pegang ke atas meja. Kemudian beralih untuk mengangkat tangannya guna mengusap peluh yang ada di pelipis Jinae dengan ujung lengan baju yang ia kenakan.

Pun membuat Jinae agak terkejut dengan perlakuan manis Yoongi. Gadis itu menatap Yoongi dengan celah bibir yang sedikit terbuka sementara otaknya mendadak kosong. Kendati demikian, ia membiarkan pemuda itu melancarkan aksinya. Tubuhnya terlalu lelah bahkan untuk sekedar menepis lengan Yoongi. Lagi pula, ia menikmati waktunya kok. Bisa mengamati wajah tampan Yoongi dari jarak sedekat ini, lumayan menguntungkan. Coba saja Yoongi itu tidak menyebalkan, mungkin Jinae sudah sangat berdebar karenanya.

Namun, Yoongi tetaplah Yoongi. Ia memiliki daya tarik tersendiri yang membuat Jinae betah berlama-lama dekat dengannya, sekali pun ia bersikap menyebalkan.

"Bagaimana kalau aku memasak saja?" kata Jinae dengan bola mata yang berbinar saat menatap Yoongi. Sedangkan pemuda itu malah mengerutkan sedikit keningnya, lantas menarik tangannya menjauh dari sisi wajah Jinae.

Mendengar kata memasak, agaknya membuat Yoongi sedikit tercengang. Teringat kembali saat dimana Jinae mencoba melakukan pekerjaan yang satu itu. Oh, jangan ingatkan Yoongi karena ia tidak pernah lupa rasa sakit yang ia rasakan setelah menghabiskan seluruh hasil masakan yang Jinae buat dengan tangannya sendiri. Sungguh, Yoongi tidak bohong kalau masakan Jinae memang sangat buruk sampai membuatnya sakit perutㅡkendati demikian, ia tetap menghabiskannya tanpa sisa. Menghargai usaha gadis itu.

"Kau yakin?" tanya Yoongi yang mendapat anggukan antusias dari Jinae. Bahkan beberapa helai rambutnya ikut bergerak dan jatuh mengenai pipi saking antusiasnya. Hei, seharusnya itu pertanyaan untuk dirinya sendiri. Apa Yoongi yakin akan memakan masakan Jinae lagi?

"Kali ini aku akan memasak apa yang biasa aku masak, Yoon. Jadi, tidak perlu khawatir akan membuatmu sakit perut lagi. Yang jelas bukan masakan Korea, aku sangat payah dalam hal itu. Bahkan rasanya melihatmu mengolah bahan-bahan masakan sampai menjadi sesuatu yang sangat lezat, membuatku iri. Bagaimana aku memasak untuk suamiku nanti? Ah, aku sangat payah."

Jinae sedikit menundukkan kepala. Dalam hati merasa bahwa ia adalah wanita payah yang pernah ada. Kenapa ia tidak bisa memasak seperti kebanyakan gadis di luar sana? Bahkan, kadang ia merasa malu pada Yoongi. Pemuda itu jelas bisa mengolah bahan masakan apa pun menjadi sesuatu yang terasa enak di lidah. Berbeda sekali dengannya.

Agaknya Yoongi mengerti bagaimana perasaan Jinae sekarang. Ia tersenyum kecil, lalu mengusap pelan pucuk kepala Jinae.

"Jangan memaksakan dirimu hanya demi memuaskan orang lain. Kalau memang saling mencintai, seharusnya saling melengkapi satu sama lain. Bukannya malah memaksakan kehendak."

Pun membuat Jinae segera mengangkat wajahnya lagi lalu menemukan presensi Yoongi yang terlihat berbeda. Ia terlihat sangat dewasa. Sungguh, Yoongi dengan kata-kata bijaknya itu terlihat sangat berbeda dari pada Yoongi yang biasanya membuat Jinae merasa kesal. Kalau seperti ini jadinya, Jinae percaya jika pemuda itu memang lebih tua darinya. Namun, tetap saja, untuk memanggilnya dengan sebutan Oppa, itu sungguh menggelikan. Jangan pernah paksa Jinae untuk itu.

"Wah, Min Yoongi.. aku pikir kau hanya bisa mencela dengan mulut tajammu itu. Aku tidak pernah menyangka kalau kau bisa berkata bijak seperti itu."

Setelahnya Jinae malah terkikik geli sambil memegangi perut. Ia tidak bisa menahan tawanya saat mendapat perubahan ekspresi yang signifikan pada wajah Yoongi. Pemuda itu menatapnya datar dengan bibir yang membentuk sebuah garis lurus. Oh, ayolah, padahal Yoongi sungguh-sungguh dengan ucapannya tadi. Sial. Ia jadi merasa menyesal.

"Dasar Jinae gadis bodoh," umpat Yoongi. Kemudian bangkit dari duduknya setelah melirik Jinae melalui ekor mata. "Cepat bangun. Mau sampai kapan kau di situ, hah? Kau bilang lapar? Tadinya sih, aku sudah berniat baik ingin mengajari memasak, tapi melihat kau terus-terusan tertawa mengejekku begitu, tidak jadi."

"Apa?" gelak tawa Jinae terhenti detik itu juga. Segera menilik Yoongi yang sudah melengos menuju pantry lengkap dengan wajah datar seperti biasanya. Hei! Jinae tidak salah dengar kan? "Yoongi, kau serius?"

Sepersekon kemudian Jinae meluruskan punggungnya. Lantas mengekori Yoongi seperti anak itik. Menatapnya penuh dengan kedua mata berbinar. Namun, pemuda itu justru mengabaikannya, dan malah mengambil panci berukuran sedang lalu menuju keran wastafel, mengisi hingga separuh.

Sementara Jinae, ia cemberut. Yoongi benar-benar menyebalkan. Apa dia tidak mengerti kalau ucapan Jinae tadi hanya lelucuon? Ia tidak sungguh-sungguh kok. Ah, apa di kehidupan sebelumnya Yoongi iti seorang kakek tua yang tidak memiliki selera humor sama sekali?

"Yoongi, hei, aku bicara padamu," Jinae menarik ujung baju Yoongi. Sementara pemuda itu masih tak menggubrisnya sama sekali. Eh, memangnya menyenangkan sekali ya mengabaikan orang lain? "Uh, rasanya seperti aku bicara dengan patung saja!" Jinae menghentakkan kakinya kesal. Masih mengekori Yoongi yang kini tengah meletakkan panci berisikan air tadi ke atas kompor.

"Memangnya kau pernah bicara dengan patung? Dasar idiot," sahut Yoongi tanpa melirik Jinae sedikit pun.

Tak pelak membuat Jinae semakin merasa kesal. Tadi dibilang bodoh, sekarang idiot, uh, dasar tidak berperasaan. Untung saja Jinae sabar dalam menghadapi mahluk menyebalkan sepertinya.

"Pernah! Kau, patungnya!" seru Jinae kesal, lalu menjauhkan tangannya dari ujung baju Yoongi.

"Yasudah, jangan bicara denganku lagi."

Bibir Jinae mengerucut sebal. "Ish, Yoongi!"

"Apa?!" akhirnya Yoongi menoleh. Namun, masih menatap Jinae kesal.

"Kau menyebalkan!"

"Memang. Kau baru tahu?"

Oh, God. Jinae menyemburkan napas kesal. Bicara dengan orang keras kepala sekaligus menyebalkan seperti Yoongi, memang tidak akan ada habisnya. Lihat, dia bahkan mengakui kalau dirinya menyebalkan. Tetapi anehnya, ini terasa lebih baik dibandingkan Yoongi mengabaikannya atau menganggap dirinya seperti tidak ada. Jinae paling benci diabaikan. Ia tidak suka.

"Kuadukan pada Mama kalau kau menjadikan aku pesuruhmu, baru tahu rasa!" kata Jinae kesal. Masih belum mau mengalah.

Yoongi menaikkan satu alisnya. "Silakan, kalau kau tidak mau tinggal di sini lagi."

"Oke, aku mengerti!"

Jinae memutuskan untuk menyudahi perbincangan yang semakin membuatnya kesal ini. Uh, bisa gila dia kalu terus-terusan menanggapi ucapan sarkas dari Yoongi. Jinae segera memutar tubuhnya, baru hendak melangkah keluar dari pantry, namun Yoongi sudah lebih dulu menangkapnya. Mengurungnya dalam sebuah dekapan yang terasa hangat.

"Jangan coba-coba pergi dari sini, atau kau akan menyesal."

Jinae tersenyum kecut begitu kedua tangan Yoongi bergerak untuk memeluk punggungnya dengan erat sementara napas hangat pemuda itu terasa di atas bahunya yang sedikit terbuka. Eiy, sebenarnya apa yang dipikirkan pemuda ini? Apa Yoongi benar-benar mengira kalau Jinae akan pergi dari apartemennya? Gila saja, Jinae tidak sebodoh itu.

"Kau yang menyuruhku barusan."

"Tidak. Aku kan hanya memberikan pilihan," ucap Yoongi membela diri. Sementara Jinae kembali cemberut dibuatnya. Kendati demikian, Jinae malah membalas pelukan Yoongi dengan melingkarkan tangannya pada pinggang pemuda itu. Ah, kenapa berada di dalam pelukan Yoongi selalu membuatnya nyaman dan betah berlama-lama di dekatnya, ya?

"Ya, ya, terserah kau saja, Min Yoongi. Jadi bagaimana? Masih mau mengajariku memasak atau tidak?"

Yoongi berdecak pelan, "Kau mau makan apa? Aku akan memasak untukmu, gadis kecil. Cukup kerjakan saja tugasmu membereskan tempat ini."

"Hei, kau pikir aku akan tinggal denganmu selamanya?" Jinae memukul punggung Yoongi. "Bagaimana dengan anakku nanti kalau Ibunya tidak bisa memasak?"

"Ada aku. Aku bisa memasak untuknya. Aku kan Ayahya."

Hampir saja Jinae tersedak salivanya sendiri ketika rungunya mendengar sesuatu yang mampu membuat tubuhnya merinding. Auh, Min Yoongi dengan mulutnya itu memang sesuatu! Sudah berapa kali Jinae bilang kalau Yoongi itu memang tidak pernah berpikir dulu sebelum mengucapkan sesuatu? Tidak sadar apa kalau ia mengucapkan hal-hal seperti itu terus akan berefek buruk pada kesehatan jantung Jinae?

Gadis itu segera mencubit kencang pinggang Yoongi sampai pelukan mereka terlepas. Kemudian tersenyum lebar dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Merasa menang atas Yoongi yang tengah mengaduh kesakitan.

"Sudah kubilang kalau aku akan menghancurkan milikmu itu sebelum kau menghamiliku. Dasar pria tua mesum."

Yoongi mendengus kesal sambil memegangi pinggangnya yang terasa nyeri. Uh, selain tendangan maut Jinae, ternyata cubitannya cukup menyakitkan juga. "Semua pria memang seperti itu. Kau tanya saja pada Papa kalau tidak percaya. Dasar gadis bar-bar."

"Uh, Papa tidak pernah mengajariku seperti itu! Ah, aku benci sekali dengan pria mesum seperti itu! Yoongi, berhenti membahas hal-hal seperti itu! A-aku takut kau sepertiㅡah, tidak, lupakan."

Menyadari kebodohannya, Jinae segera menghentikan ucapannya. Hendak melengos pergi, namun Yoongi sudah lebih dulu menahan kedua bahunya.

"Seperti? Apa ada sesuatu yang kau sembunyikan dariku?" Saat Yoongi menatapnya penuh selidik, pupil mata Jinae justru mengecil. Bibirnya terbuka dan sedikit bergetar. "Jinae, jawab aku."

"B-bukan. Bukan seperti itu, Yoon." Jinae menggelengkan kepalanya, dan hal itu malah membuat Yoongi semakin merasa curiga kalau ada hal yang memang sengaja Jinae tutupi darinya. "Yoongi.. jangan menatapku begitu. Aku tidak suka."

Pemuda itu menghela napas berat, lalu tatapannya melunak. Ia menangkup sisi wajah Jinae dengan telapak tangannya yang lebar. "Kalau begitu ada apa? Kau bisa mengatakan padaku apa pun itu, Jinae." Suaranya terdengar lembut.

Jinae justru mengunci rapat-rapat bibirnya sekali pun ia tahu bahwa Yoongi sungguh-sungguh dengan ucapannya barusan. Gadis itu masih terlalu takut untuk mengungkapkan suatu hal yang memang sengaja ia tutup rapat dari siapa pun, termasuk keluarganya.

Dan, detik selanjutnya, Jinae sungguh berterima kasih pada seseorang yang baru saja menekan bel apartemen Yoongi, karena hal itu, membuat Yoongi melepaskannya. Walaupun hanya sementara.

"Kau berhutang satu penjelasan padaku, Ji."

Oh, apakah tadi Jinae bilang ingin berterima kasih kepada seseorang yang baru saja memencet bel apartemen Yoongi? Sepertinya, Jinae ingin menarik lagi ucapannya barusan. Karena pada kenyataannya orang tersebut adalah Hyera. Rasanya Jinae belum bisa berdamai dengan gadis itu sekali pun Hyera tidak memiliki dosa yang tidak terampuni pada Jinae.

Jinae hanya tidak suka saja melihatnya. Ia tidak suka dengan caranya menatap Yoongi. Ia tidak suka dengan suara tawanya yang berbaur dengan suara tawa Yoongi. Jinae juga tidak suka caranya memegang bahu Yoongi kalau sedang tertawa. Ah, pokoknya Jinae tidak suka.

Kenapa sih, gadis itu terlihat sangat dewasa sekali pun cara berpakaiannya agak tomboy? Berbeda sekali dengan Jinae yang selalu terlihat seperti gadis kecil dengan kaus berwarna kuning bergambar bebek besar di depannya.

Kalau saja Jinae tahu orang yang berada di balik pintu masuk itu adalah Hyera, setidaknya Jinae akan mengganti pakaiannya lebih dulu lalu memoles sedikit wajahnya dengan bedak, dan sapuan liptint. Kalau sudah begini, Jinae bisa apa? Ia benar-benar terlihat seperti itik buruk rupa.

Oh, apa lagi melihat keakraban mereka di ruang tamu benar-benar membuatnya gerah. Bahkan setelah satu jam Jinae menghabiskan waktunya untuk berendam dan membersihkan diri, gadis itu belum juga pergi.

"Mau kemana?" tanya Yoongi setelah Jinae melewati ruang tamu dengan pakaian yang sudah lebih rapi. Lengkap dengan tudung jaket yang menutupi sebagian wajahnya. Pagi ini langit agak mendung, jadi Jinae pikir itu sesuatu yang baik mengenakan jaket hari ini.

"Cari makan. Lapar. Kan tidak jadi makan gara-gara ada tamu yang datang pagi-pagi."

Setelahnya Jinae melengos begitu saja tanpa melirik mereka sedikit pun. Hendak mengganti sendal, sebelum Hyera berseru, "Kita bisa makan sama-sama, Jinae. Aku bawa sarapan yang cukup untuk kalian berdua."

Namun, Jinae tidak berbalik sedikit pun, dan malahan berkata, "Tidak. Terima kasih. Aku makan di luar saja. Sekalian cari udara segar, di sini banyak debu." Kemudian gadis itu menarik tuas pintu dan melenggang pergi. Tidak peduli bagaimana Yoongi menatapnya marah karena bersikap tidak sopan seperti itu.

Sebenarnya Jinae tidak berniat bersikap seperti itu, tetapi entah kenapa tiap kali melihat Hyera, Jinae selalu merasa kesal. Padahal Jinae tahu kalau gadis itu orang baik. Bayangkan saja, ia datang sepagi itu hanya untuk menjenguk Yoongi dan membawakan sarapan untuknya. Uh, perhatian sekali bukan? Rasanya Jinae ingin tertawa. Apa dia pikir Jinae tidak bisa mengurus Yoongi? Apa dia takut Yoongi keracunan lagi karena memakan masakannya?

Memikirkan mereka, malah membuat perut Jinae keroncongan minta di isi. Jinae jadi ingin cepat-cepat sampai di kedai bubur yang hanya berjarak satu blok dari sini. Sepertinya menikmati seporsi besar bubur abalone di hari yang mendung ini, adalah pilihan yang pas. Uh, Jinae jadi semakin lapar!

"Jinae?"

Oh, suara ini.

Begitu keluar dari lift, dan memasuki lobby, Jinae memang sengaja menundukkan wajahnya karena suhu di bawah sini ternyata jauh lebih dingin. Tetapi, begitu ada suara lembut yang memanggil namanya, Jinae segera mengangkat wajahnya kembali. Dan menemukan presensi seseorang yang cukup membuatnya terkejut.

"Jimin?" kening Jinae merengut samar. "Sedang apa di sini?"

Awalnya Jimin pikir itu bukan Jinae, namun begitu ia dekati, ia yakin kalau gadis di balik jaket kebesaran itu adalah Jinae. Lucu sekali mendapati tubuh mungil gadis itu tenggelam di balik jaket itu.

Jimin berjalan mendekat dengan senyum mengembang. "Aku? Ah, aku sedang menjemput kakak sepupuku. Dia sedang berkunjung ke tempat kekasihnya? Atau, ah tidak tahu. Hubungan mereka rumit, aku juga tidak mengerti."

"Ah, begitu rupanya. Kupikir sedang apa."

Jimin tersenyum jahil, "Jangan-jangan kau pikir aku ke sini untuk mengunjungimu, ya?"

Mendadak tawa Jinae meledak, "Tentu saja tidak. Buat apa?"

"Siapa tahu kau merindukanku," jawab Jimin. Kedua bahunya terangkat dengan acuh.

"Jangan menggombaliku, Jim. Tidak mempan. Omong-omong, kau mau ikut sarapan denganku? Aku ingin ke kedai bubur dekat sini."

Jimin membuang napas panjang. Kemudian menggaruk tengkuknya asal. "Ah, aku ingin, tapi kakak sepupuku bilang kalau ia akan segera turun. Kami memiliki janji setelah ini, danㅡNoona!"

Tak pelak membuat Jinae ikut menyorot arah pandang Jimin. Dan, sialnya, Jinae lupa akan satu hal. Bahwa Jimin dan Yoongi saling mengenal. Ditambah lagi Jimin baru saja meneriaki gadis yang membuatnya keluar di pagi yang mendung seperti ini.

"Itu, Noona-ku, Ji, dan pemuda di sebelahnya itu Yoongi Hyung. Orang yang dibilang Taehyung waktu itu."

Kedua orang itu lantas mendekat, Jinae benar-benar tidak bisa mengalihkan pandangannya sedetik pun. Sekarang semuanya masuk akal. Perhatian yang Hyera berikan pada Yoongi tentu saja lebih dari sekedar teman. Ah, Jinae bodoh. Kenapa tidak sadar akan hal itu? Harusnya Jinae tahu kalau mereka memang lebih dari teman.

"Jimin, Jinae, sedang apa? Kalian saling kenal?" tanya Hyera, menyorot ke arah keduanya secara bergantian.

Sontak membuat Jimin terkejut. "Loh, kalian saling kenal?"

"Jinae, kau bisa kembali ke atas. Tidak perlu makan di luar, lagi pula aku akan pergi sekarang," kata Hyera mengabaikan keterkejutan Jimin. Sementara Yoongi, ia memandang datar Jinae, masih agak kesal karena gadis itu bersikap buruk.

"Kau tidak dengar? Kenapa masih di sini? Ayo naik, sekarang," Yoongi segera meraih pergelangan tangan Jinae, namun gadis itu menepisnya.

"Kalian pacaran? Kenapa tidak bilang? Kenapa malah membuatku terlihat seperti orang bodoh? Aish, aku benar-benar merasa seperti perusak hubungan orang. Maaf jika keberadaanku membuat kalian tidak nyaman," tutur Jinae. Ia hampir saja menangis kalau saja ia tidak bisa menguatkan dirinya sendiri. "Tenang saja, kalian bisa melakukan apa pun. Aku hanya menumpang di tempat Yoongi untuk sementara waktu, Hyera. Jangan khawatir. Kalau begitu, aku pergi dulu."

Setelahnya gadis itu berbalik memunggungi mereka. Berjalan cepat, lalu menghilang di balik pintu kaca.

Yoongi segera menilik Jimin tajam. Meraih kerah bajunya. "Apa yang kau katakan padanya, brengsek?!"

Tentu saja menyulut emosi Jimin juga. Ia sungguh tidak mengerti dengan apa yang terjadi, namun melihat Jinae pergi dengan raut sedih dan bersalah seperti itu, Jimin pikir itu ada hubungannya dengan mereka. "Sialan, seharusnya aku yang tanya! Bagaimana bisa Jinae menumpang di tempatmu? Apa yang sebenarnya terjadi, hah? Kenapa kau tinggal dengan gadis lain sementara ada Noona-ku? Kau benar-benar brengsek, Hyung!"

"Hei, berhenti!" Hyera berdiri di antara mereka, melepaskan cengkraman Yoongi dengan paksa. Lalu menarik Jimin menjauh. "Jimin, kau diam dulu, nanti Noona jelaskan semuanya. Dan kau Yoongi, cepat kejar Jinae. Cepat!"

Setelahnya Yoongi kembali melirik Jimin tajam sebelum ia sadar bahwa Jinae lebih penting. Pun pemuda itu berlari mengejar Jinae, meninggalkan Hyera yang hanya mampu menatapnya sendu.

"Noona! Kau bodoh? Kenapa membiarkan si brengsek itu mengejar gadis lain?" Jimin berdecak kesal. Namun, satu hal yang pasti, kenapa harus Jinae? "Argh, sial!"

Sementara itu, Hyera hanya mampu membisu. Menatap punggung Yoongi yang kian mengecil karena sekeras apa pun ia mengejar Yoongi, nyatanya semua hasilnya akan tetap sama. Yoongi tidak pernah berhenti untuk menunggunya. Pemuda itu selalu pergi, dan membuat jarak di antara mereka semakin melebar.

Terima kasih untuk #1 Suga kemarin pagi 💜 Happy weekend!

ㅡRin.

Continue Reading

You'll Also Like

102K 18K 187
Jimin membutuhkan biaya untuk operasi transplantasi ginjal sang bunda namun dia bingung mencari uang kemana dalam waktu kurung 2 bulan. Sementara CEO...
46.5K 9.5K 12
[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] 21+ ‼️ Apa jadinya jika si berandal Jasper Ryker yang dijuluki sebagai raja jalanan, tiap malam selalu ugal-ugalan dan babak...
98.3K 16.8K 25
Kecelakaan pesawat membuat Jennie dan Lisa harus bertahan hidup di hutan antah berantah dengan segala keterbatasan yang ada, keduanya berpikir, merek...
46.7K 6.3K 38
Cerita tentang perjodohan konyol antara christian dan chika. mereka saling mengenal tapi tidak akrab, bahkan mereka tidak saling sapa, jangankan sali...