Inayat Hati

By mawar_malka

585K 49.1K 2.6K

Aku mencintaimu tanpa henti. Bahkan Tuhan pun mungkin cemburu dengan rasa ini karenamu. Tapi sekilas waktu ka... More

Prolog
1. Kata Pisah
2. Cerita Kami
3. Yang Tak Kutahu
4. Bunga Di Luar
5. Ijinkan Aku Marah
6. Memilih Kejujuran
7. Mengikhlaskan
8. Hidupku sekarang
9. Melihat ke depan.
10. Kabar tentangnya.
11. Teman Bossy
12. Di manakah kebaikan?
13. Perempuan Yang Terluka
14. Dia lagi.
15. Wanita Hebat.
16. Kekuatan
17. Lepas Dari Sakit
18. Melepaskan Rasa
20. Tak Terduga
21. Trauma
22. Kebingunganku.
23. Musibah itu jawaban.
24. Bulan Madu Sederhana
25. Sebuah Teka-Teki
26. Membingungkanku.
27. Pencerahan
28. Sebuah Kesempatan
29. Kekuatan.
30. Wanita Berlian.
31. Bidadari Surga.
32. Cerita Akhiŕ
Epilog
Ekstra Part
Just Promote

19. Lamaran Mas Al

15.3K 1.4K 79
By mawar_malka


Aku masih di sini. Memilih sendiri dengan catatan harianku. Oh tidak, ini bukan aku yang suka menulis diary. Hanya saja tadi sewaktu mampir ke toko buku, aku tertarik dengan tampilan sebuah diary. Aku membelinya entah untuk apa.

Mungkin bila kucatat kisah rumah tanggaku, akan terasa datar. Memiliki suami yang tak setia dan ..., menyakitkan.

Kututup saja diary ini dan menyimpannya di lemari. Siapa tahu suatu saat akan berguna bagiku.

🌿🌿🌿

"Sekarang aku tahu kenapa kamu menolakku," ujar Mas Aldric.

Aku memutar bola malas dan menyapu pandangan ke sekeliling kantin. Yah, kantin adalah salah satu tempat favoritku di kantor ini. Terutama meja dekat jendela yang mengarah ke luar. Aku bisa mengamati jalanan sembari melepas penat selama istirahat.

Mas Aldric tiba-tiba duduk di depanku.

"Yah, Akbar kemaren cuma pengen curhat," sahutku datar.

"Curhat?? Bukannya dia sudah punya istri?"

"Yaa dia bilang istrinya selingkuh."

"Well, permainan yang cukup mengasikkan. Satu bagian selingkuh dan bagian lainnya diselingkuhi," cengirnya.

Aku tersenyum sarkastis.

"Dan lucunya lagi, yang selingkuh dan teman selingkuhnya itu, satu kantor denganku. Benar-benar gak asik," sindirku.

Mas Aldric terlihat bingung. Ia mengernyitkan kedua alisnya.

"Anggrek, 'kan?"

Aku mengangkat bahu. "Entahlah. Urusan kalian bukan urusanku."

"Urusan kalian?"

"Hemm."

"Sebentar. Kata 'kalian' itu juga merujuk pada lawan bicaramu, Ambar. Dan itu aku. Artinya ini ada sangkut pautnya denganku, gitu maksudmu?"

"I don't know. That's not my problem."

Sekali lagi aku memilih acuh tak acuh. Dan menyedot es lemonku.

"Oowh ..., aku sekarang paham maksudmu. Kamu nyangka aku selingkuh dengan Anggrek? Ambar, sudah aku bilang, aku ...."

"Bukan aku yang bilang, tapi Mas Akbar. A little information for you."

Mas Aldric terlihat sedikit bingung. Ia mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan.

"Akbar salah paham soal itu."

"Dan Mas Akbar bilang, kalian sering jalan berdua?"

"Sering?? What?! Demi Allah, aku bersumpah, Ambar. Aku memang pernah keluar dengan Anggrek hanya satu kali, dan itu pun perihal bisnis. Bukan dalam rangka pribadi. Siapa yang mengatakan sering? Itu jelas fitnah."

"Mas Akbar kata temennya."

"Bodoh! Pantes Akbar gak bisa bedain mana kucing sama harimau. Dia gak bisa bedain cewek baik sama kadal!" ucap Mas Aldric menggebu-gebu membuatku melongo saja.

"Dia mudah sekali tertipu. Mudah percaya sama orang lain. Untung dia cuma pegawai rendahan. Kalo dia jadi bos, pemilik perusahaan, sudah dari dulu perusahaannya bangkrut!"

Aku masih mengaduk es lemonku dengan santai melihat perilaku Mas Aldric. Itu membuatku merasa, lucu. Aku bangkit menuju kasir. Namun ucapan Mas Aldric menghentikan langkahku.

"Ambar, bersyukurnya kamu tidak memiliki jodoh seperti Akbar."

Aku yang sudah membelakanginya berhenti mematung dan akhirnya menoleh pada Mas Aldric.

"Kita tidak pernah tahu watak tiap manusia seutuhnya, Mas Aldric. Jadi jangan gampang nge-judge," tunjukku seolah membidik tepat pada ujung hidung Mas Al.

"Apa ucapanmu ini menyiratkan bahwa kamu masih bersimpati dengannya?"

"Not at all. Aku gak sebodoh itu."

"Aku harap, sekalipun bukan aku yang pada akhirnya kamu pilih, kamu tidak akan pernah kembali pada Akbar. Cuma itu pesanku. Laki-laki seperti itu udah gak faedah lagi."

"Terima kasih sarannya."

Aku kembali berbalik dan memilih berlalu.

Setelah kembalinya aku ke ruanganku dan keluar dari kantin, aku melihat Anggrek mendekati Mas Aldric. Untunglah posisiku jauh dari mereka. Jadi mereka tidak tahu, aku sedang memperhatikan.

Sebenarnya aku sudah tidak mau ikut campur urusan Akbar dan segala pernak pernik manusia yang berhubungan dengannya. Namun entah mengapa ucapan Mas Aldric seolah menyedot rasa penasaranku.

Sesuatu yang mengasikkan.

Anggrek memang terlihat mengakrabi Mas Aldric yang seolah datar padanya. Sebagai tambahan, Mas Aldric menyetop ucapan Anggrek dengan bahasa tubuhnya dan berlalu begitu saja. Wajah laki-laki itu juga terlihat lebih serius.

Well, ini pertunjukan pertama.

Tak ada salahnya sekarang aku ketularan para pegawai di sini. Sebagai penguntit. Tapi tentunya rahasia mereka takkan bocor. Aku hanya ingin mengenyangkan rasa penasaranku saja.

🌿🌿🌿

Aku meraih bunga mawar merah di atas meja dan seperti biasa, menciumnya. Syahdu sekali aroma yang semerbak dari tiap kelopaknya.

Ini pasti dari Mas Al.

Sesaat setelah itu, aku celingukan mencari si pemberi bunga. Tak ada.

Ini masih pagi. Mungkin saja Mas Aldric menyuruh seseorang meletakkannya di sini. Bisa jadi.

Andi datang dan meletakkan tasnya di atas meja kerja. Saat melihatku memegang bunga, ia terkesiap dan merecokiku dengan berbagai godaan yang membuatku memutar bola mata.

"Denger kabar katanya Pak Aldric lagi gak di sini? Kenapa bunga itu bisa ada di sini? Jangan-jangan itu bukan dari Mas Aldric, Mbar," cerocosnya.

"Siapa yang peduli. Aku suka bunga ini."

"Gimana kalo bunga itu beracun dan waktu kamu hirup tu bunga, kamu bisa keracunan. Ato itu bunga mengandung narkoba dan kamu bisa kecanduan."

Aku bangkit seketika. "Khayal!" semprotku pada Andi.

Lalu berjalan menuju ke ruangan Pak Lewis untuk menyerahkan laporan keuangan.

Setelah kembalinya dari ruangan Pak Lewis, aku baru tahu bahwa Mas Aldric memang tak akan ke kantor ini selama seminggu. Tidak, bukan ijin namanya karena dia bukan pegawai di sini. Hanya sekedar investor sekaligus sahabat si empunya perusahaan. Menurut kabar yang kudengar, Mas Aldric memiliki perusahaan sendiri yang dikelola oleh saudaranya.

Kadang aku berpikir. Alangkah enaknya jadi orang kaya. Ke sana ke mari mereka bebas berjalan dan berbuat sesuka hati tanpa memikirkan apapun. Uang sudah datang sendiri. Sekilas terlihat menyenangkan. Namun kutahu bahwa masalah juga sama rata menimpa mereka yang kehidupannya terlihat begitu sempurna.

🌿🌿🌿

Aku kini berada di sini. Di sudut kota dalam keramaian. Namun aku sendiri. Setelah beberapa purnama kulewati yang namanya kesepian.

Masalahku dengan Akbar sudah selesai. Tepatnya masalah hati. Sejak pengungkapan semua yang menyakitkan itu, rasanya seolah dicecoki ramuan. Ramuan kenyataan. Bahwa kenyataannya adalah apa yang sudah terjadi sebenarnya dan jelas ada di depan mataku.

Entah kenapa aku jadi memikirkan Mas Aldric. Entah kenapa pula pikiranku justru malah selalu mengarah keseharianku bersamanya. Tidak ada cerita istimewa. Kami hanya mengobrol ringan. Yah, walaupun di sudut lain, kadang aku selalu jengkel dengan tingkahnya yang menyebalkan.

Oh, apa yang ada di pikiranku. Jangan-jangan bunga pemberiannya setiap hari yang selalu diantarkan seorang ojek online itu disuguhi mantera pengasih. Dan aku mencium kelopak bunga itu setiap pertama menerimanya.

Kehadiran bunga ini adalah untuk mewakili ketiadaanku selama tak di dekatmu, Ambar.

Kata-kata di memo dalam buket bunga mawar merah pekat itu seolah selalu menghipnotisku.

Ingin kutampar wajahku. Apa yang tengah aku pikirkan? Mantera pengasih? Aku tersenyum sendiri. Aku tak percaya hal begituan sekalipun mungkin ada. Entahlah.

🌿🌿🌿

"Ambar, bunganya makin banyak aja," ledek Andi saat ia melihatku menata bunga-bunga pemberian Mas Al seminggu ini. Sebagian kubuang karena mulai layu.

"Apa ada masalah?" tanyaku.

Andi mengangkat bahu. "Sepertinya kamu mulai suka sama Pak Aldric."

Aku memutar bola mataku. Ayolah tolong.

"Jangan buat gosip murahan. Aku cuma suka sama bunga ini. Bukan sama yang ngasi."

"Kalo yang ngasi itu Akbar?"

Aku tertegun. Akbar? Darimana Andi tahu nama itu? Aku mengernyitkan kening sembari menatap penuh pertanyaan pada Andi.

"Wee ..., keknya Nyonya Akbar sekarang lagi galau," ledek Andi.

"Jangan sebut nama itu lagi," ucapku tegas. "Dan satu hal yang perlu kamu ingat, aku bukan lagi Nyonya Akbar," lirihku kemudian.

Benar-benar kesal mendengar namanya disebut lagi. Andi terlihat menelan saliva karena nada ucapanku.


"Maaf, Ambar."

"Dari mana kamu tahu soal Akbar?"

"Mbak Anggrek. Wanita itu yang ngasitau kalo kamu pernah menikah dengan yang namanya Akbar."

"Jangan dengarkan ucapan orang yang baru kita kenal. Karena bisa jadi ucapan itu hanya omong kosong."

"Iya, Mbar. Maaf yaa. Gimana pun juga, kamu tetep temen aku kok. Pasti belain kamu. Oiya, suer kamu gak suka, gak ada perasaan gitu sama Pak Aldric? Dia kan cinta mentrong sama kamu."

"Jangan sok tahu."

"Tahunya gimana kalo jadi tempe aja?"

Aku yang berbicara datar dari awal tambah jengah dengan obrolan ini. Tapi dalam hati, aku cukup terharu dan berterima kasih karena teman-teman kantorku ini begitu menyayangiku.

Nikmat mana lagi yang masih kuingkari, Tuhan?

"Mbar," panggil Andi.

"Hem," jawab sekenaku.

"Mbar!"

Aku yang masih sibuk menata bunga mulai terusik juga.

"Apaan, An?"

Dan aku masih sibuk menata bunga. Memutar-mutar pot berukuran besar itu dengan sesekali memasang bunga-bunga dan membuang yang sudah mulai layu.

"Ambar!"

"Andi, apa??"

"Bukan aku yang ngomong."

Benar, memang bukan suara Andi. Seperti suara ....

Aku mengangkat wajah.

Deg.

Aku membuka lebar mulutku.

Mas Aldric kini di samping meja kerjaku dengan membawa kotak beludru berwarna merah. Dan ...,

Cincin berlian berkilau.

Apa maksudnya ini?

"Will You marry me?"

Hah, apa katanya?

Dia yang seminggu menghilang dan dengan gombalnya mengirimkan bunga setiap hari dengan bantuan alias perantara abang ojol kini hadir di depanku dengan untaian kalimat mabuknya mengatakan ....

Menikah? Mengajakku menikah?

Oh, Ya Allah.

Seratus persen kuyakin. Dia tadi tersesat jalan.

"Ambar, kalo kamu ambil cincin ini, artinya kamu menerima lamaranku. Tapi kalo kamu abaikan, berarti aku masih harus bekerja lebih keras lagi untuk mendapatkan kata iya dari pertanyaanku tadi," terang Mas Aldric.

Aku tergagu memandangi lingkar kecil yang berkilau itu. Kuangkat wajah dan melihat sekitarku.

Ampun, alangkah malunya aku. Kami menjadi tontonan gratis.

"Ambar?"

Mas Aldric menatapku penuh keseriusan. Aku masih bingung dengan hal yang terjadi di depanku. Aku jadi termangu sendiri.

"Mas Al tadi lewat di depan kuburan?" tanyaku.

"Hah?"

"Mas Al gak kesambet, 'kan?"

"Ambar, demi Allah aku serius!"

Aku tercekat karena menelan salivaku kelu. Bagaimana ini?

"Maaf, Mas. Aku belum siap," ucapku kemudian.

Entah bagaimana perasaan Mas Aldric. Aku tak peduli. Saat ini yang kupedulikan adalah perasaanku sendiri. Menurutku hal ini bukanlah lelucon.

"Tapi kenapa, Ambar? Kenapa menolakku?" tanya Mas Al saat aku berbalik badan.

Aku memejamkan mataku, "Ini bukan tontonan dan tidak lucu sama sekali."

Mas Aldric menghampiriku, "Aku di sini serius. Aku suka sama kamu dari awal melihat kamu, Ambar. Apanya yang lucu? Kamu pikir lamaranku ini lelucon? Guyonan? Demi Allah, Ambar! Aku serius! Apa semua ini karena Akbar? Mantan tak tahu diri kamu itu?"

"Jangan sebut nama itu lagi. Karena dia bukan lagi cerita buat aku!" tekanku.

"Lalu apa sekarang? Bunga yang setiap hari aku kirim buat kamu adalah sebuah bentuk permohonan buat kamu, Ambar. Aku serius!"

Di satu sisi aku malu menatap sekeliling yang balik menatapku. Dan lihatlah, Anggrek di sana yang mendengus menyaksikan adegan drama ini. Apalagi yang dicari wanita itu? Bukankah dia sudah mendapatkan suamiku?

"Beri aku waktu buat ngeyakinin, Ambar," pinta Mas Al.

"Sebaiknya kita gak bicara di sini, Mas. Mas Al seolah cuma cari sensasi saja."

"Maaf."

🌿🌿🌿

"Apa karena di kantor ada Anggrek dan Mas Al ingin dia tahu soal lamaran Mas Al terhadapku?" tuduhku.

Malam ini kami memilih bicara berdua di sebuah restoran mewah. Mas Aldric yang memilihkannya. Aku setuju saja. Karena ini memang tidak terlalu penting buatku. Dan aku merasa, lelah ....

Sebenarnya aku kurang menyukai keadaan ini. Aku hanya berdua dengan laki-laki yang bukan mahramku. Memang di sekelilingku banyak orang, tapi tetap saja. Teman mengobrol hanya Mas Aldric. Oke, anggap ini yang terakhir.

"Apa maksud kamu dengan Anggrek, Mbar. Anggrek lagi Anggrek lagi. Sudah kubilang, 'kan? Aku bukan mantan suamimu itu. Ludah yang sudah kubuang gak mungkin aku jilat lagi. Kesalahanku dulu adalah pernah menyukainya."

Mas Aldric seperti menghela napas panjang.

"Aku tahu bagaimana karakter seorang wanita. Karena jujur, aku mantan player. Dan aku tahu bagaimana wanita sepertimu. Akbar yang ..., tak perlu kusebut gimana mantan suami kamu itu. Dia sudah membuang berlian demi perhiasan murahan."

"Sudah, cukup! Kita gak perlu bahas Mas Akbar."

Ngilu juga bahas mantan tak bermutu. Hanya menambah dongkol di hati.

"Kali ini aku serius, Ambar. Aku menyukaimu. Aku mencintaimu dengan sepenuh hati."

Mas Aldric mulai menatapku lekat. Aku melihatnya sekilas lalu menatap ke arah lain.

"Lihat di mataku. Apakah ada setitik kebohongan itu?"

Aku bukan peramal atau ahli penilai mimik wajah. Bukan pula seorang psikolog atau psikiater, tapi mata yang lekat menatap mataku itu menyatakan perasaannya dengan sungguh-sungguh. Bahasa perasaannya sampai pada hatiku. Sampai hatiku sendiri seolah berdetak lebih cepat dari biasanya.

Aku segera menundukkan wajah. Karena tak mau terhipnotis akan perasaannya. Walaupun kutahu, dia berkata jujur, tapi ..., entahlah. Aku bingung.

"Aku ..., aku, mi-minta maaf, Mas. Aku ...."

Kupejamkan mataku sembari menarik napas pelan.

"Aku belum bisa menerima ini. Tak mudah mengobati hati yang pernah terluka. Kumohon mengertilah," keluhku kemudian.

Mas Aldric masih menatapku lekat.

"Sampai kapan, Ambar?"

Aku menggeleng pelan. Dan hatiku mulai meluruh. Aku masih mode mengobati luka. Tak semudah itu menutup luka yang pernah menganga lebar. Ini soal hati bukan batu. Kelopak beningku mulai berkaca-kaca mengingati semua.

"Cobalah hidup di masa sekarang. Lepaskan bayangan masa lalu. Lupakan. Ikhlaskan semua yang sudah terjadi. Dia kini sudah bahagia dengan pendamping hidupnya yang baru. Sekarang pikirkan. Kamu-juga-berhak-bahagia. Dan aku, akan menjamin kebahagiaanmu." Mas Al meyakinkanku.

Kamu juga berhak bahagia.

Kamu juga berhak bahagia.

🎑🎑🎑

Bersambung
Situbondo, 1 November 2018

Follow akun wp sama IGku yapp
mawarmalka😲

Continue Reading

You'll Also Like

689K 53.4K 53
[COMPLETED] Beleaguered : Terkepung Meisya seorang jomlo menaun yang sedang dilanda kebingungan dengan perubahan hidupnya akhir-akhir ini. Dia mendap...
925K 71.1K 51
Alessia terbangun kembali sejak malam dirinya diculik oleh orang yang tidak dikenal. Dirinya bangun di tubuh perempuan yang lebih tua enambelas tahun...
209K 13.3K 58
Niat hati kabur dari perjodohan yang diatur orang tuanya dengan duda anak 1 yang sialnya masih tampan itu, Herna malah harus terjebak menikahi pria k...
2.4M 13K 26
Menceritakan kehidupan seorang lelaki yg bernama Nathan. dia dikenal sebagai anak baik yg tidak pernah neko neko dan sangat sayang pada keluarganya...